webnovel

20. Benci Atau Suka?

Briella menatap tangannya yang gemetar saat mobilnya berhenti di lampu merah. Vanessa menoleh, menatap Briella yang ketakutan.

"Kamu sudah gila!" seru Vanessa. "Apa kamu sudah bosan hidup?! Apa yang kamu lakukan tadi?!"

Briella menarik napas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya perlahan melalui mulutnya. "Entahlah. Aku pikir, aku bisa mengalahkan wanita menyebalkan itu."

"Siapa? Jihan?" Vanessa meringis sambil menatap Briella dengan tajam.

"Ya. Wanita itu selalu saja berada di samping Ben, seperti anjing penjaga." Briella memberengut sambil meremas stir mobilnya.

Ia sungguh tidak suka pada wanita itu. Sejujurnya, Briella membenci semua wanita yang ada di sekitar Ben. Mereka semua adalah wanita yang bodoh karena rela saat Ben memanfaatkan mereka.

"Memangnya apa salahnya jika Jihan selalu bersama dengannya? Itu kan bukan urusanmu, El," ucap Vanessa tajam.

"Ya, memang. Itu bukan urusanku. Aku hanya tidak menyukai semua yang berhubungan dengan pria berengsek itu. Tidakkah kamu melihatnya, Van? Ben itu pria yang menyebalkan. Dia menyuruh anjing penjaganya itu untuk menyetir mobilnya. Lucu sekali bukan?"

Vanessa memutar bola matanya. "Dari mana kamu tahu kalau itu adalah mobilnya Ben?"

"Ya, aku tahu. Dia seringkali menyetir mobil sedan merah itu ke kampus di akhir pekan. Dia pun pernah mengendarai SUV hitam sebelumnya. Namun, sudah beberapa hari ini ia selalu mengendarai sedan merah."

Vanessa melongo menatap Briella hingga bola matanya bisa keluar dari rongganya kapan saja.

"Kamu begitu hafal mobilnya Ben. Apa jangan-jangan kamu juga tahu siapa saja wanita yang pernah menjadi pacarnya?" sindir Vanessa.

"Tahu!" seru Briella. "Aku tahu beberapa nama. Saat ini, dia sedang berpacaran dengan Selena, tapi dia malah dekat dengan si Deviana itu dan bersikap seolah dia adalah seorang pahlawan. Dia akan menemani Deviana ke prom hanya untuk memanas-manasi Gani. Bukankah itu tindakan yang sangat bodoh?"

"Astaga, Briella," ujar Vanessa sambil menggelengkan kepalanya.

Lampu lalu lintas berubah hijau, Briella pun memajukan mobilnya dengan kecepatan wajar. Sebenarnya, ia agak kapok mengebut seperti orang gila. Ia hanya melakukan itu di depan Ben agar pria itu tahu bahwa ia bukan wanita penakut atau lemah hingga Ben bisa menindasnya.

Ya ampun, Briella jadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mengapa ia begitu berprasangka buruk pada Ben?

Perkataan pria itu di café tadi membuat Briella jadi waswas. Hal apa yang Ben sebenarnya rencanakan padanya. Jika Ben hanya menyuruhnya untuk mengganti ponselnya yang rusak, Briella tidak akan keberatan sama sekali.

Ben menyuruhnya untuk merenungkan kesalahan dan akan menghubunginya dalam beberapa hari.

"Sial!" umpat Briella sambil memukul stir mobil.

"Apa yang kamu pikirkan, El?" tanya Vanessa yang terkejut dengan seruan Briella yang tiba-tiba. "Kamu masih kesal pada si Ben? Aku jadi khawatir kalau kamu sebenarnya sangat menyukai Ben, tapi kamu terlalu gengsi untuk mengatakannya."

"Apa?!" Briella menautkan alisnya sambil menoleh pada Vanessa. "Kamu tidak bisa melihat kalau aku sangat membenci pria itu?"

"Ya, tapi rasa bencimu itu agak aneh. Ayolah, mengakulah padaku. Kamu memang menyukai Ben kan?"

"Tidak! Aku tidak menyukainya, Van!" geram Briella. "Harus berapa kali aku memberitahumu?!"

Vanessa mengangkat sebelah alisnya dan kemudian melipat tangannya di dada. "Begini saja, kalau kamu memang membencinya, kamu tidak perlu terlalu menunjukkannya. Biasa saja. Santai saja, El. Anggap saja kalau pria itu tidak ada. Kamu tidak perlu peduli dengan kehidupan pribadinya."

Briella mendecak. "Kamu malah membelanya."

"Bukan begitu," tukas Vanessa. "Aku serius, El. Apa pun yang Ben lakukan dengan para wanita, meskipun ia memiliki pacar yang banyak atau ia bahkan menghamili seorang wanita sekalipun, itu semua bukan urusan kita. Ya kan, El? Kita bukan wanita para pembela kebenaran dan keadilan. Omong-omong, kamu tidak berniat untuk membuat partai para pembela wanita kan? Atau kakekmu …?"

"Tidak," ujar Briella sambil meringis. "Kenapa kamu malah berpikiran untuk membuat partai?"

"Bukan aku, tapi kamu, El," ucap Vanessa yang kemudian terkikik dengan perkataannya sendiri.

"Aku tidak ingin ikut terjun dalam dunia politik. Aku tidak suka ikut-ikutan. Kamu tahu kan. Aku lebih suka menjadi seseorang yang berbeda."

Vanessa mengangguk perlahan. "Ya, kamu memang selalu menjadi yang berbeda di antara semuanya."

"Berbeda ke arah yang lebih baik," imbuh Briella. "Meski ayahku seorang dokter, tapi aku tidak ingin menjadi seperti dia. Aku juga tidak ingin berurusan dengan bisnis kakekku."

"Oh ya, biasanya pamanmu akan menelepon," kata Vanessa yang membuat Briella teringat untuk mengabari Jack.

"Kamu benar!"

Briella menekan tombol di layar yang menempel di dasbor, lalu ia menelepon Jack.

"Halo, Briella! Kenapa kamu tidak mengangkat telepon dariku?" cecar Jack bahkan sebelum Briella sempat berkata apa pun.

"Halo, Om. Maaf, aku sedang menyetir," ucap Briella agak berbohong sedikit. Ia tahu jika Jack menelepon sejak tadi, tapi ia mengabaikannya.

"Ada di mana kamu?" tanya Jack.

"Aku ada di Jalan Kemiri. Aku akan mengantarkan Vanessa pulang, setelah itu aku baru pulang."

"Baiklah. Aku akan mengikutimu dari belakang," ujar Jack tanpa basa-basi.

Briella mendesah sambil memutar bola matanya. "Oke."

Lalu telepon pun terputus. Mobil Briella sudah disambungkan dengan GPS hingga Jack pasti tahu keberadaannya. Pria itu tidak perlu menanyakan posisinya karena ia hanya tinggal menekan tombol di ponselnya.

Briella tidak suka jika ia diperlakukan seperti anak kecil. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan untuk menolak perlindungan dari Jack. Pria itu sudah seperti pengganti ayahnya.

Ia tidak perlu merengek pada ayahnya lagi karena sudah ada Jack yang lebih perhatian padanya, lebih dari siapa pun di dunia ini.

"El, apa kamu merasa risih jika Om Jack selalu mengawalmu?" tanya Vanessa sambil matanya lurus menatap jalanan.

"Tidak apa-apa. Itu memang sudah menjadi tugasnya. Dia sengaja menanyakan posisiku hanya untuk mengetesku apakah aku jujur atau tidak."

Vanessa tersenyum. "Ya, benar. Dia kan tinggal mengecek posisimu melalui GPS. Ah, aku justru ingin sekali memiliki bodyguard sepertimu."

"Jangan pernah menginginkannya. Kamu akan menyesalinya. Jack memang baik, tapi alangkah lebih baik jika aku memiliki kehidupan dan orang tua yang normal," ucap Briella dengan wajah tanpa ekspresi.

"Hmmm, setidaknya kamu memiliki segalanya, El."

Briella mengangguk. "Ya. Aku memang sudah memiliki segalanya, terutama kamu. Kita adalah sahabat selamanya."

Vanessa terkekeh pelan. "Ya, kamu benar. Kita adalah sahabat selamanya."

Sahabatnya itu menepuk bahu Briella sambil tersenyum manis. Ya benar, hanya Vanessa yang Briella miliki di dunia ini, sebagai seseorang yang bisa berbicara dengan normal dan seru. Tidak seperti saat ia berada di rumah.

Jika ia pulang ke rumah, maka ia akan menghadapi suasana yang tegang. Briella tidak suka suasana seperti itu.

Ia melirik spion kanan dan melihat sebuah mobil sedan hitam dengan plat nomor yang ia kenali sedang mengikutinya dalam jarak yang cukup dekat. Itu adalah Jack.