webnovel

15. Teguran Jihan

Ben tertawa puas. Ia tidak pernah merasa sepuas ini dalam hidupnya. Selama ini ia selalu mendapatkan segala sesuatu dalam hidupnya dengan cara yang mudah. Baru kali ini, Ben menghadapi seorang wanita yang berani menantangnya.

Ben akan dengan senang hati menghadapi wanita itu. Jika Briella tidak suka dengan permainan yang lembut, maka Ben pun akan bermain kasar seperti yang wanita itu suka.

Jihan menatap Ben sambil menyipitkan matanya. Lalu ia melipat tangannya di dada seperti yang hendak menegur Ben.

"Apa? Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Ben sambil mengambil gelas minumnya di atas meja. Lalu ia menyeruput teh lemon hangatnya.

"Kenapa kamu menghampiri Briella?"

"Bukankah sudah jelas? Aku sedang memberinya pelajaran. Aku ingin mengancamnya dan memberikannya peringatan supaya dia jangan macam-macam padaku," ucap Ben sambil mengangkat alisnya sebelah.

Jihan mendecak sambil melepaskan tangannya di dada lalu mencondongkan tubuhnya sambil mengambil minumannya. "Ah, kamu ini kapan berubah menjadi lebih dewasa?"

"Memangnya apa salahku?" Ben menautkan alisnya, tidak setuju. "Kamu tidak mendengarku berbicara apa pun padanya tadi."

"Memangnya kamu bicara apa padanya? Kamu menyuruhnya untuk mengganti ponselmu yang baru?"

"Tidak," ucap Ben sambil menggelengkan kepalanya. "Itu bukanlah sesuatu yang sulit baginya. Kamu tahu, ayahnya Briella itu adalah seorang dokter dan lagi, saat aku melihat tas tangannya, aku langsung tahu kalau itu adalah tas yang super mahal. Dia itu anak orang kaya raya. Dia bahkan menyebut ponselku itu murahan, jadi bukan salahnya jika ponselku gampang rusak."

Ben mendecak sambil menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana bisa ada wanita seangkuh itu? Dia sudah jelas-jelas bersalah, tapi masih menyalahkan ponselku. Jadi, aku menyuruhnya untuk bertanggung jawab dengan cara yang lain. Aku akan menghubunginya lagi nanti saat aku tahu harus melakukan apa untuk membalas perbuatannya."

"Oh iya, sekarang kamu sudah memegang nomor ponselnya, ya kan," ujar Jihan.

"Yes!" seru Ben. "Betul sekali. Saat aku berkata seperti itu, kamu tahu apa jawabannya?"

"Apa?"

"Dia bilang kalau aku akan menggodanya." Ben langsung tertawa lagi, tapi Jihan tidak ikut tertawa bersamanya.

Ia menoleh ke arah Briella yang sedang menaburkan keju ke atas makanannya. Wanita itu meliriknya sedikit dengan tatapan setajam silet. Ben langsung mengalihkan wajahnya ke arah Jihan lagi. Ia khawatir jika selera humornya jadi payah jika melihat wajah wanita itu terus menerus.

"Kamu kan memang sedang menggodanya, sama seperti kamu menggoda Deviana, Karen, Bunga, Layla, Selena."

"Selena itu pacarku, Han. Aku tentu saja akan menggodanya," ucap Ben dengan wajah yang lebih serius.

"Lalu bagaimana kamu memperlakukan Selena? Bukankah kalian baru saja jadian, tapi kamu malah menggoda wanita lain?"

"A-aku tidak tahu. Intinya, aku tidak bermaksud untuk menggoda Briella. Wanita itu sangat menyebalkan, kamu tahu. Aku tidak akan pernah menyukai wanita kasar seperti Briella. Aku hanya ingin memberinya waktu untuk merenungkan perbuatannya karena aku akan membalasnya."

"Hmmm, berkilah," gumam Jihan.

"Apa?!"

"Tidak, tidak. Lanjutkan ceritamu," ucap Jihan sambil menggerakkan tangannya.

"Aku bilang: 'Tidak usah mengganti nomormu karena aku akan mencarimu ke mana pun kamu pergi.' Ya, kurang lebih begitu," ucap Ben sambil mengkhayati perannya. Jihan mendengus sambil terkekeh.

"Ya, ya. Terserah," ucap Jihan dengan nada bosan.

Lalu tiba-tiba, sang pelayan restoran menghidangkan makanan pesanan mereka. Ben memesan pasta creamy kesukaannya. Lalu Ben kembali menoleh ke arah Briella yang sepertinya masih memiliki selera makan.

Cara Briella memutar-mutar pastanya dengan garpu tampak begitu anggun. Hidungnya mancung sekali seperti yang habis melakukan operasi. Ya, bagaimanapun juga wanita itu adalah seorang konglomerat. Tak sulit baginya untuk melakukan perawatan pada wajahnya yang mulus.

Ben berhenti menatap Briella dan berusaha fokus pada makanannya. Tampaknya makanan yang ia pesan sama persis seperti makanan Briella. Ah, ini adalah suatu kebetulan.

"Ben, apa kamu sudah menghubungi Selena?" tanya Jihan.

"Sudah. Aku tadi mengiriminya pesan singkat saat di kelas. Dia bilang kalau hari ini, dia tidak masuk kuliah karena sedang sakit," ucap Ben sambil mengedikkan bahunya.

"Oh ya? Dia sakit apa?"

"Katanya dia flu."

"Lalu? Apa kamu akan menjenguknya?"

Ben berpikir untuk membawakannya sekeranjang buah-buahan, tapi tiba-tiba ia merasa malas untuk melakukannya. Ia masih memikirkan cara untuk balas dendam pada Briella. Sejenak ia melupakan wajah Selena seperti apa.

"Entahlah, Han. Rumahnya Selena cukup jauh. Aku malas mengunjunginya," ucap Ben jujur.

"Yang benar saja? Selena itu kan pacarmu sendiri. Apa kamu selalu seperti itu memperlakukan wanita setelah kamu berhasil menjadi kekasihnya?" tegur Jihan.

"Ah, ayolah Jihan. Aku tidak benar-benar menyukai wanita itu. Selana itu … dia … Ah, sudahlah. Aku tidak tahu harus berkata apa."

Jihan mengernyitkan wajahnya. "Makin sekarang, kamu jadi makin banyak pacarnya. Apa kamu tidak merasa kasihan pada Selena?"

"Jihan, kamu sepertinya menegurku terus sejak tadi. Menurutmu, apa yang harusnya aku lakukan?"

Jihan menghela napas. "Aku adalah sahabatmu, Ben, dan aku tidak akan mendukungmu untuk melakukan berbagai macam perselingkuhan dan menggoda para wanita. Aku lebih suka kamu menjadi jomlo dan menikmati masa mudamu dengan cara lain yang lebih baik."

Ben hendak membuka mulut untuk berbicara, tapi Jihan menghentikannya.

"Aku tahu kalau kamu melakukan semua ini karena kamu pernah mendapat perundungan sewaktu SMP. Namun, tak ada salahnya untuk menjadi pria baik-baik sesekali. Sekarang kan kamu sedang berpacaran dengan Selena. Perlakukan dia dengan sebaik mungkin."

Ben melirik ponselnya dengan layar yang retak. Ada sebuah pesan masuk. Ia membuka ponselnya itu dan membuka kuncinya.

Ada beberapa pesan singkat dari Lisa, Deviana, Natasha, dan Selena. Ben membukanya satu per satu.

Deviana: "Ben, kamu sedang apa? Aku tidak sabar menunggu besok untuk pergi ke butik bersamamu. Sekali lagi, terima kasih ya, Ben."

Natasha. Ah, Ben tidak akan membuka pesan darinya. Isinya pasti tentang perasaannya yang sedih dan kecewa karena Ben meninggalkannya.

Selena: "Hai, Babe. Kamu sedang apa? Apa kamu sudah pulang? Aku merindukanmu. Aku baru saja pulang dari dokter."

Ben membalas pesan Selena. "Hai juga, Babe. Aku sedang makan pasta di café bersama Jihan, sebentar lagi aku akan pulang. Aku juga merindukanmu, Babe. Oh ya, apa kamu baik-baik saja? Semoga lekas sembuh ya, Sayang."

Lalu ada pesan dari Lisa. "Ben, kapan kamu akan pulang? Aku akan menginap di rumahmu malam ini."

Seketika, jantung Ben berdebar-debar dengan kencang. Oh tidak. Di antara semua kekasihnya, Lisa adalah yang paling spesial.

Ben membalas pesan Lisa. "Segera. Tunggu aku ya."

"Memangnya apa rencanamu, Ben?" tanya Jihan membuat Ben terkejut.

"Rencana?"

"Ya, katanya kamu akan membalas perbuatan Briella. Apa kamu akan merusak ponselnya juga?" tanya Jihan sambil meniup Raviolli-nya.

"Tidak. Aku tidak akan melakukan hal keji seperti itu."

"Jadi?"

Ben tersenyum. "Kita lihat saja nanti."