webnovel

11. Ben, Si Penggoda Wanita

"Ya sudah, Mbak. Tidak apa-apa. Semoga ponsel saya bisa hidup lagi."

Wanita itu tersenyum. "Boleh, Pak. Saya print dulu kertas persetujuannya ya."

Tak lama kemudian, sang wanita menyerahkan selembar kertas rangkap tiga mengenai persetujuan yang telah dijelaskan tadi, dan kemudian Ben menandatanganinya.

Ben dan Jihan kembali duduk di kursi ruang tunggu sambil menanti ponselnya selesai diperbaiki. Ben merasa semakin kesal karena hal sepele menyebabkan ia harus kehilangan ponselnya. Ia tidak bisa berharap banyak pada ponselnya itu.

Jika memang jodohnya, maka ponsel itu akan bertahan dan kembali menyala. Namun, jika memang sudah waktunya untuk mati, maka ia harus membeli ponsel yang baru.

Ben jadi berpikir, apakah ia akan meminta Briella untuk bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi pada ponselnya? Wanita itu adalah seorang yang kaya raya. Briella tidak akan kesulitan untuk membayar sebuah ponsel baru untuk Ben.

Terlebih dari itu, Ben masih mempunyai gengsi yang tinggi dan tidak ingin terlihat lemah dan miskin di hadapan Briella. Ben masih ragu memikirkan hal tersebut.

"Ah, Ben. Ini sudah hampir jam enam sore. Aku jadi lapar," ujar Jihan sambil mendesah.

"Sama. Aku pun lapar. Pulang dari sini, kita makan yuk. Apa kamu ada ide?" tanya Ben.

Jihan tampak seperti yang sedang berpikir. "Apa ya? Bagaimana jika kita makan pasta di dekat kebun binatang?"

"Ah, pasta itu ya. Boleh. Sudah lama kita tidak pernah makan ke sana."

Ben jadi membayangkan pasta kesukaannya dengan saus creamy yang lezat. Perutnya semakin meronta-ronta.

Akhirnya, sang petugas servis itu pun memanggil Ben dan menyerahkan ponselnya yang sudah bisa hidup kembali meski layarnya retak.

"Wah! Jadi ponsel saya sudah bisa hidup lagi, Mbak?"

"Sudah, Pak. Syukurlah, tidak ada data yang hilang. Namun, jika ada kendala selama dua puluh empat jam, boleh garansi kembali lagi ke sini ya, Pak," ucap sang wanita.

"Baiklah. Terima kasih banyak ya, Mbak."

"Sama-sama, Pak. Ini untuk bonnya, silakan melakukan pembayaran di kasir. Dan ini satu lagi," imbuh sang wanita.

Ben sudah bangkit berdiri, lalu kembali menoleh pada sang wanita yang menyerahkan sebuah kertas kecil.

"Ada sedikit catatan kecil. Siapa tahu Bapak butuh bantuan, ada jawabannya di kertas kecil itu ya," ucapnya sambil menggigit bibirnya dengan cara yang seksi.

"Ah," ujar Ben sambil mengangguk perlahan. "Oke. Aku akan menyimpannya ya. Terima kasih banyak … uhm …" Ben melihat papan nama yang tersemat di dada kanan si wanita. "Tesa. Trims ya, Tesa."

"Sa-sama-sama," jawab wanita itu yang tiba-tiba gugup.

Jihan memutar bola matanya dan segera menarik Ben menuju ke kasir. Jika wanita itu melihatnya, ia pasti menyangka jika Jihan adalah kekasihnya dan cemburu padanya. Ingin sekali Ben tertawa keras dan memberitahu wanita tukang servis itu kalau Jihan hanyalah sahabatnya.

Selesai membayar, Ben dan Jihan pun pergi menuju ke café yang letaknya dekat dengan kebun binatang. Tempat itu cukup ramai pengunjung. Ben dan Jihan harus mengisi daftar tunggu sambil menunggu giliran untuk masuk.

"Ben, kalau seperti ini, aku bisa mati kelaparan," keluh Jihan.

"Baiklah. Tunggu sebentar."

Ben pun mendekati sang petugas waiting list yang sedang berbicara di walkie talkie. Lalu wanita itu terkejut saat melihat Ben yang tiba-tiba muncul di sebelahnya.

"Astaga! Kaget!" seru wanita itu. "Hmmm, can I help you, Sir?"

"Panggil saja aku, Ben," ucap Ben dengan nada menggoda. "Mbak, apakah aku masih lama menunggu untuk giliran masuk?"

"Masuk?"

"Ya, masuk ke hatimu," ucap Ben sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Oh. Ya ampun." Dalam sekejap, wajah wanita itu langsung merah padam. Ia memegangi pipinya yang panas sambil tersenyum malu-malu.

"Maafkan aku. Aku hanya bercanda. Maksudku, tentu saja giliran untuk masuk ke dalam. Apakah sudah ada meja yang kosong?"

"Hmmm, tu-tunggu sebentar. Atas nama siapa, Sir?" tanya wanita itu yang gemetaran.

"Ah, Mbak pasti gugup. Aku kan tadi sudah menyebutkan namaku. Aku Ben. Dan jangan panggil aku sir. Oke?"

Wanita itu mengangguk cepat. "Tunggu sebentar ya, Ben."

Ia tampak seperti yang kejang-kejang saat menyebut nama Ben dengan mulutnya sendiri. Lalu ia menghilang ke dalam café dan tak lama kemudian, ia kembali lagi.

"Sudah ada yang kosong, Ben. Mari saya antar."

Lalu Ben mengajak Jihan untuk masuk. Segera saja Jihan merangkul leher Ben dengan gaya premannya. Wanita petugas café itu jadi tampak sedikit cemberut. Ben tahu jika Jihan sengaja merangkulnya supaya wanita itu menganggap Jihan adalah kekasihnya.

Akhirnya, Ben dan Jihan pun duduk di kursi yang nyaman.

"Kenapa kamu melakukannya?" tanya Ben.

"Apa? Merangkulmu?" Jihan mengangkat sebelah alisnya.

"Ya. Kamu tidak rela jika wanita itu menyukaiku? Aku kan seorang playboy, Han," ucap Ben bangga.

Jihan mendesah. "Kalau kamu sudah terlibat masalah dengan orang lain, jangan sampai kamu meminta pertolonganku ya. Aku tadi baru saja menyelamatkanmu dari wanita itu. Kamu pasti tidak bermaksud untuk memacarinya juga kan? Yang benar saja. Murahan sekali kamu, Ben."

Ben mendecak. "Tega sekali kamu menyebutku murahan."

"Karena kamu memang pria yang seperti itu. Sekarang, apa kamu akan menjadi pria penggoda seumur hidupmu?"

Ben menyipitkan matanya, tidak setuju dengan ucapan Jihan. "Kalau bukan karena aku menggoda wanita itu, kita tidak akan segera mendapatkan tempat duduk di sini."

"Ah, yang benar saja. Kamu selalu mendapatkan hak istimewa karena caramu bicara dan menggoda para wanita," ucap Jihan seperti yang tidak suka.

"Aku tidak selalu menggoda. Kamu bisa melihatku saat di tempat servis ponsel, aku tidak menggoda wanita itu, tapi wanita itu sendiri yang menyerahkan nomor ponselnya padaku."

Ben menyerahkan kertas kecil dari Tesa, sang petugas servis. Di sana tertera tak hanya sekedar nomor ponsel saja, tapi ada sebuah surat kecil.

"Halo, Ben. Aku Tesa. Salam kenal ya. Kalau kamu butuh bantuan untuk urusan ponselmu, kamu boleh menghubungiku di nomor ini ya."

Jihan tertawa membaca tulisan di kertas kecil itu. "Astaga, Ben. Kapan aku bisa hidup tenang melihatmu jadi manusia normal?"

"Aku ini seratus persen normal, Han," ucap Ben sambil menautkan alisnya.

"Tidak ada manusia normal sepertimu, Ben. Kamu pasti memakai jimat atau mantra khusus untuk mendapatkan perhatian para wanita."

"Oh ya? Kamu misalnya?" tanya Ben.

"Tidak, tidak." Jihan menggerakkan tangannya. "Kecuali aku! Aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu, Ben. Aku tahu seberengsek apa kamu."

Ben pun tertawa. "Meski kamu tahu aku berengsek, tapi kamu masih mau berteman denganku."

"Tentu saja. Aku berteman denganmu untuk sebuah tujuan mulia. Aku bisa mengarahkanmu ke tempat yang benar."

"Dengan menyuruhku menggoda wanita di depan itu supaya kita bisa dapat meja lebih cepat? Begitu maksudmu?" sindir Ben.

Kali ini giliran Jihan yang tertawa keras. Senang rasanya bisa tertawa bersama Jihan tanpa ada rasa beban sama sekali.

Lalu seorang pelayan restoran mendekati mereka untuk mencatat pesanan mereka. Ben tidak akan menggoda pelayan itu karena ia adalah seorang pria. Selesai memesan, Ben mengedarkan pandangannya ke sekeliling café yang ramai pengunjung itu.

Lalu sudut matanya melihat seseorang yang ia kenal. Ben langsung menoleh dan melebarkan matanya tatkala melihat seorang Briella sedang duduk manis bersama temannya di sudut ruangan. Wajahnya tampak begitu cantik dan manis seperti bidadari, tapi hal itu tidak akan menyurutkan rasa kesal Ben pada wanita itu.