Aku tidak tahu untuk memulai cerita ini darimana. Jadi kuputuskan untuk menceritakan keluarga dulu.
Keluargaku bukan penduduk lokal NTB. Kami merantau ke NTB saat umurku dua tahun. Ayahku seorang guru SD lulusan ITB, Mama hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Aku anak keempat dari lima bersaudara, sebenarnya, enam jika ditambah yang telah tiada. Aku punya dua kakak perempuan, satu kakak laki-laki dan satu adik perempuan yang belum lahir waktu itu.
Aku lupa tepatnya kapan kami merantau kesana, kalau tidak salah ada tahun kedatangan kami disumur halaman rumah. Tapi aku tidak ingat menunjukan angka berapa.
Kami tinggal di desa Calabai, yang artinya banci. Entah siapa yang memberi nama seperti itu. Rumahku terletak dibelakang rumah kosong sebelum digusur. Ada pohon kedondong juga yang sangat tinggi menjulang didepan rumah kami.
Orang bilang, ada hantu dirumah kosong itu. Mungkin benar, karena aku sering melihat beberapa penampakan hantu wanita tanpa kaki.
Dirumah ku, kami sering makan rujak bersama. Siapa yang duluan meminum air, maka dia kalah karena lidahnya kepedasan.
Didepan jalan raya, tidak jauh dari rumahku, ada sebuah lapangan serba guna. Sering dipakai untuk acara perayaan ulang tahun desa kami, pertandingan 17 Agustus, upacara, sampai tempat mengadakan pesta pernikahan.
Jauh diujung lapangan, ada sebuah bolongan besar yang menghubungkan dengan sungai kami. Jika dilihat dari jembatan, sungai itu begitu deras dan jernih. Sehingga ibu-ibu sering menggunakannya untuk mencuci baju. Kami, para anak-anak nakal sering ikut ibu kami untuk mandi kesana, dan sengaja menyembunyikan baju teman kami.
Hari Minggu adalah hari istimewa bagiku. Aku dan saudaraku bebas tugas, maksudku kami libur belajar dirumah. Ayah kami yang jenius membuat kami harus belajar setiap hari kecuali hari Minggu. Dan sialnya, kami harus menelan bulat-bulat digit-digit angka matematika.
Saudara perempuanku bernama Islah, kakak pertama kami membawa bakul cucian dengan menggunakan motor. Baju kotor kami sekeluarga dibuntel dengan kerudung persegi empat.
Kami bersama warga desa lain, akan pergi mencuci baju kami disungai. Jika aku deskripsikan bagaimana keadaan sungai kami. Maka itu sangat-sangat jernih. Airnya dingin sekali seperti masuk kedalam kulkas, kakimu akan terlihat jelas saat masuk kedalam air. Arus deras hanya ada di bagian atas saja yang lumayan dalam.
Saat itu, mainan kami disungai adalah botol bekas air mineral yang kami gunting, lalu kami sulap menjadi kapal mainan. Atau, kami biasa menggunakan tapas kelapa, sebagai perahu layar kami yang diatasnya ditancapkan daun sebagai bendera.
Aku dan saudara laki-lakiku membuat kapal kami dari botol bekas air mineral. Kami menggunting bagian tengah, lalu memasukan lidi sebagai nahkoda kapal atau orang kami.
Saat itu, kami belum merasa canggung karena pertambahan usia kami. Kami masih sering bermain sepeda bersama, membuat layang-layang lalu menerbangkannya di lapangan kami.
Saudara Perempuanku dan Mama, mencuci baju, sedangkan aku dan saudara laki-lakiku memilih untuk melayarkan kapal kami sambil mandi di bagian sungai yang dalam.
Aku hampir saja tenggelam saat masuk kedalam sungai yang dalam, kakiku terpeleset jadi mudah saja bagi tubuh mungilku terendam semua.
Aku menangis, sambil bergetar ketakutan. Saudara laki-lakiku membawa aku ke Mama.
"Aina nangi, waur enggahiku nahu, Aina ndeu taaka," ucap mamaku yang masih belajar bahasa NTB.
Sedangkan aku masih terus menangis dan menggigil kedinginan. "Ti'badeku mada. keceku wa'ti deina."
"Irae, ti'bademu wara henca re," ucap Mama menakutiku. "Wara henca re taaka, au siluman ular ma ntau tuta lima re," ucap kakaku melanjutkan.
Karena ditakuti seperti itu, aku memilih untuk bermain kapal saja.
"Ta mpa'a ake mai" ajaku sambil menunjuk kapal botol kami.
"Maira, aina nangi wali," jawab kakakku.
Kami bertaruh, siapa yang menang, harus diberi hadiah oleh yang kalah.
Kamipun mulai meluncurkan kapal kami masing-masing, sambil terus berteriak menyuruh kapal kami untuk melacu cepat.
Oh tidak! kapal milikku tersangkut batu besar sehingga berhenti melayar. Aku berinisiatif untuk curang. Kuraih kayu panjang lalu menyelamatkan kapalku yang tersangkut.
Tapi tetap saja, aku kalah telak dan harus memberi kakaku hadiah berupa pisang nona 3 buah.
Kami pulang, sambil membawa bakul berisi cucian baju bersih yang masih basah. Karena tidak ikut membantu, aku diharuskan untuk menjemur baju dihalaman rumah kami yang luas sekali meski rumah kami kecil.
Dibelakang rumah kami, halaman terhampar cukup luas. Ada pohon jambu air yang setiap musimnya berbuah banyak dan manis. Ayahku membuatkan ayunan disana saat adikku lahir nanti.
Pohon jambu kami sering dicuri oleh anak-anak nakal yang kurang punya etika. Aku sampai menggerutu karena hanya mendapat jambu air yang penuh dengan ulat. Itu artinya jambu itu sudah busuk.
Saat menaikpun, kau harus rela badanmu digigiti serangga. Keranggo yang pernah aku jelaskan di chapter sebelumnya.
Jambu merah merekah, manis dan besar sering kali diambil tanpa meminta ijin dahulu. Tapi, anak-anak nakal itu punya ide yang cukup briliant menurutku.
"Hei, jangan nyuri. Turun!" Ayah datang dengan marah sambil menyuruh mereka turun.
"Eh, mas Jawa. minta mas," ucap salah satu dari mereka.
Pintar bukan? setelah ketahuan mencuri, mereka malah minta ijin untuk mengambil. Bukannya lari tunggang langgang.
NA: Hei! perlu kutranslate tidak? Hahaha