Aku ingat dulu, kami berencana untuk membuat acara makan kecil-kecilan. Harga beras dan makanan pokok lainnya belum terlalu mahal masa itu.
Kami diberi waktu seminggu untuk mengumpulkan uang 5 ribu rupiah, untuk membeli bahan masakan, oleh ketua kami Kak Devina yang biasa kami panggil Kak Pina.
Jujur saja, akulah yang paling lama mengumpulkan, karena aku lebih suka memakai uang itu untuk membeli permen karet yang biasa disebut permen orang kaya karena harganya mahal.
Kami berencana memasaknya dirumah Kak Pina, dibawah pohon mangga yang sesekali kami petik untuk rujak. Di pohon mangga itu, kami menandai setiap dahan, sebagai wilayah kami, tempat biasa kami bertengger sambil memainkan imajinasi bahwa kami sedang banjir lalu ribut naik keatas pohon mangga.
Kak Pina mengusulkan kami agar membawa satu cangkir beras, agar hemat tidak terlalu membuang uang, karena rencananya kami akan memakai uang itu untuk membeli ikan besar lalu membakarnya.
Dihari Minggu, kami berjanji akan kumpul sekitar jam 7 pagi dirumah Kak Pina. Kami berempat, aku, Kak Pina, Mbak Anjas dan Epi akan pergi kepasar Minggu yang letaknya sangat jauh.
Demi menghemat, kami rela berjalan kaki daripada naik ojek. Aku yang hanya membawa bekal 5000 rupiah hanya bisa membeli Gado-gado seharga 3000 rupiah dan minuman semacam teh gelas. Lalu sisanya untuk membayar ojek pulang karena kami lelah.
Lari pagi kami berlangsung dengan damai, kami sesekali mampir kewarung untuk membeli minum. Sampai dipasar Minggu, kami mencari ikan yang dijual dengan harga paling murah tapi besar.
Kak Pina, kelompok kami yang paling tua mencoba untuk menawar harga kepada sang penjual.
Aku lupa harganya, tapi yang pasti kami pulang dengan membawa ikan besar dengan bentuk pipih.
Karena lelah, Kak Pina terpaksa mencari ojek kesana-kemari. Dia sosok yang sangat bertanggung jawab, terhadap kami yang masih ingusan. Dia bahkan rela mempersilahkan kami duluan untuk pulang karena hanya mendapat satu ojek.
Kalau tidak salah, kami berdesak-desakan menaiki satu ojek untuk pulang. Kak Pina dan Mbak Anjas pulang terakhir entah naik ojek atau berjalan kaki.
Akhirnya aku menunggu dirumah Kak Pina bersama Epi. Oh iya, aku lupa menceritakan, bahwa sebelum aku kerumah Kak Pina, aku sempat terjatuh di selokan sambil membawa secangkir beras di wadah minuman Montea. Aku menangis dan tidak sengaja ingus masuk kedalam mulutku. Aku berlari pulang kerumah, lalu Bapak memarahiku karena terlalu cengeng.
Mamaku mengisikan kembali beras kedalam gelas kaca, sambil menyuruhku untuk berhenti menangis. Aku langsung berlari kerumah Kak Pina, takut semuanya sudah menunggu.
Dikelompok kami, akulah yang paling cengeng, dan sama sekali tidak dewasa. Aku sering pulang kerumah karena dijaili sedikit saja.
***
Kak Pina dan Mbak Anjas pulang, cukup lama. Sambil membawa sayur. Aku lupa sayur apa tepatnya.
Kami memulai acara masak kami, menggunakan kayu bakar. Aku lebih suka mencomot hasil masakan daripada membantu haha. Ikan bakar yang terus dikupas oleh Evi, tercium baunya oleh hidung kami. Juga sambal kecap manis yang dibuat Mbak Anjas kalau aku tidak salah.
Untung saja, nasi yang kami masak secara manual matang dengan sempurna meski gosong di bagian bawah.
Jadilah kami makan bersama, layaknya sebuah keluarga. Kami tertawa riang, seolah tidak ada beban. Ikan bakar tandas bersama sambalnya.
Ditengah-tengah acara makan kami, Ferdi anak yang diasuh oleh Ibu Kak Pina datang. Dia melihat kami makan, lalu meminta. karena nasi habis, kami hanya hanya memberinya ikan bakar. Dia marah lalu menangis, terpaksa makan dengan nasi dari Magickom_Aku tidak tau cara tulisnya.
Setelah itu, kami naik ke dahan pohon mangga di wilayah kami masing-masing. Kami berteriak seakan ada banjir dibawah. Kadangkala, kami berperan menjadi putri dalam negeri dongeng. Kami saling berebut peran yang kami suka, dan berakhir dengan bertengkar.
Kami benci jika dahan yang kami tempati, terdapat serangga pohon. Semut merah besar yang punya cairan bau. Disana, kami menyebutnya Keranggo (Bahasa Kami, NTB)
Saat kami bermain boneka Barbie, anak laki-laki sering memberikan tatapan jijik seakan dirinya begitu macho. Lebih memilih untuk bermain kelereng dan mengejek kami.
Adakalanya kami bertujuh, bermain bersama dengan damai pada awalnya karena selalu berakhir dengan pertikaian. Kami bermain tapa gala (Permainan jaga digaris-garis tertentu untuk menghalang lawan masuk lalu mengambil skor)
Jarang sekali ada yang mau satu tim denganku, dilihat dari kemampuan lariku yang sangat-sangat lambat seperti siput sawah. Jadi aku lebih sering tidak ikut.
NA: Kisah selanjutnya, aku akan menceritakan tentang sungai kami yang punya legenda. Tolong sapa aku hem, 🤓.