langkah kaki Reista terasa berat saat menapaki jalan masuk kedalam mansion mewahnya, belanjaan yang dibawanya di lempar begitu saja diatas sofa ruang tamu.
Renandra duduk dengan tenang melihat Mommnya yang seperti sangat lelah.
"Mommy mau renand bawain air?"
"gak usah sayang, Mommy gak haus. hanya sedikit lelah". memijit keningnya yang terasa sangat sakit. tubuhnya seperti kekurangan vitamin.
"bisa kau panggil Irene saja nak? Mommy butuh pijatan sepertinya".
"baik mom". Renandra bangun dari duduknya, dan berjalan kearah belakang. dimana para maid dan Irene berada.
hentakan suara sepatu tidak menjauh, Reista pikir Renandra kembali lagi. namun saat Reista melihat kedepan. disana sudah ada Ramel yang memandangnya dengan wajah yang sama, wajah tanpa rasa bersalah.
"kau sudah pulang?" pertanyaan Reista bukan seperti pertanyaan, namun kalimat basa basi yang memang harus di ucapkan.
"kau terlihat lelah, kau sudah periksakan dirimu ke dokter?" mengacuhkan kalimat Reista, Ramel lebih terlihat khawatir dengan wajah pucat istrinya.
"aku hanya butuh istirahat sebentar" ucap Reista pelan.
"kau tidak usah bekerja lagi, fisikmu tidak bagus lagi untuk membantuku. kau sudah direpotkan dengan urusan Renandra dan Mansion ini". Reista hanya tertawa dengan ucapan suaminya itu.
"dan kau bisa bebas berdekatan dengan perempuan yang mirip dengan andine itu?".
"ini tidak ada hubungannya dengan perempuan itu, aku mencemaskan dirimu".
"aku baik-baik saja, kau tidak usah berbasa-basi mencemaskan diriku". kepala Reista semakin terasa sakit, memulai perdebatan dengan Ramel di waktu tak tepat seperti ini menyebabkan dirinya semakin lemas.
"aku sedang tidak ingin dibantah, turuti ucapanku dan semuanya akan baik-baik saja".
"aku tidak ingin kau perintah, aku bukan bawahanmu. aku istrimu, dan aku punya hak untuk melakukan apapun yang aku mau".
"karena kau istriku, maka kau harus menuruti ucapanku sebagai suamimu!". penekanan diakhir kalimat Ramel membuat tubuh Reista menggigil.
"kau menganggap ku istrimu disaat seperti ini? kau menganggap aku ada saat kau mengharuskan aku menuruti semua ucapanmu? kau benar-benar bajingan".
"begitu caramu berbicara dengan Suamimu? apakah ini yang diajarkan orangtuamu? perempuan tidak berpendidikan".
"ini masalah diriku dan dirimu, tidak usah membawa orangtuaku dalam hal ini!". Reista meledak saat ini juga, rasa sakit tubuhnya membuatnya ingin berteriak melampiaskan semua isi hati dan pikirannya.
"dan kau sudah berani berteriak di depan wajahku, apakah kau benar-benar bosan hidup, hah!?". Ramel mencengkram pergelangan Reista. membuat sang punya tangan meringis kesakitan. keringat dingin sudah berjatuhan dari pelipis Reista. tubuhnya dibuat sadar sekuat mungkin, dia tidak ingin terlihat lemah didepan Ramelson.
"aku berani karena kau yang membuat kesabaran diriku habis Ramelson, apakah kau pernah menganggap diriku ada? kau berjanji aku berubah! kau berjanji! tapi pada kenyataannya kau kembali sebagai Ramelson yang naif! kau terbangkan aku dengan sangat tinggi, lalu detik kemudian kau jatuhkan aku, hatiku tidak sekuat baja Ramel, hatiku hanya ranting pohon tua yang jika kau genggam dengan sedikit tenaga akan hancur berkeping-keping". tangis Reista pecah saat melihat mata suaminya, mata indah yang tak pernah ada cinta didalamnya untuk Reista.
genggaman tangan Ramelson tak lagi hangat, hanya ada kesakitan disana. Reista mempunyai firasat jalan hidupnya akan sangat berliku setelah ini. jalan hidupnya akan diterpa banyak gelombang yang kapan saja bisa menenggelamkan dirinya dan semua kebahagiaannya.
" kau terlalu banyak meminta Reista, kau terlalu banyak berharap! dan kau terlalu banyak menginginkan kata cinta! kau yang naif, kau sudah tau dari awal bahwa tak akan ada cinta dalam diriku untukmu, tapi kenapa kau berdrama seolah-olah kau akan mendapatkan itu semua? mengapa kau beranggapan bahwa kau akan bisa menggantikan posisi andine? kau yang bodoh, dan sekarang kau bertingkah seolah kau orang yang paling tersakiti".
Ramel menghempaskan tangan Reista dengan kasar, tubuh Reista liruh begitu saja diatas lantai marmer dingin yang membekukan seluruh persendian tubuh Reista.
telinganya berdengung saat ucapan kasar Ramel sudah masuk kedalam telinganya dan tertahan di pikiran Reista. tertahan dan menghancurkan hatinya, seperti racun ular yang berbisa, bahkan Reista yakin sebentar lagi ia akan mati. kata kata selanjutnya akan membuatnya mati dalam kehampaan.
"kau harus sadar Reista anyelir wiltson! kau tidak lebih dari ibu pengganti bagi anakku, kau tidak lebih dari seorang perempuan untuk menjadi sampul untuk memperlihatkan kebahagiaan hidupku di depan khalayak luas. kau dengar! kau hanya sampul, dan jangan pernah berharap apapun padaku! aku memperingatkan dirimu untuk terakhir kalinya. kau bisa bertingkah layaknya Ratu keluarga ettrama didepan banyak orang, tapi kau tidak akan pernah menggantikan posisi andine dihidupku!".
Tangis Reista berhenti, jantungnya berdetak cepat. berkali-kali lipat lebih kencang, Reista rasa itu akan hancur dengan jalannya waktu. matanya sudah tak sanggup mengeluarkan airmata, matanya hanya memandang tubuh Ramel yang berjalan menjauh darinya. tanganya tak bisa menggapai Ramel dan memintanya untuk disini membantu Reista bangkit.
bagaimana bisa Reista meminta Ramel membantu Reista bangkit? padahal Reista tau penyebab dirinya terjatuh adalah Ramel.
sebuah pelukan hangat dari tangan kecil, menghangatkan tubuh Reista yang sudah menggigil sejak tadi, Reista tau itu anaknya Renandra. namun mulut Reista terkatup untuk mengucapkan pada anaknya bahwa dirinya baik baik saja.
air matanya jatuh lagi, saat Reista mendengar kata yang sangat menyayat hatinya 'Aku disini Mom, kau segalanya untukku. jangan tinggalkan aku'.
apakah Reista harus menyerah dari semua peperangan ini? apakah dirinya harus pergi dan meninggalkan semuanya begitu saja? ataukah dia harus bertahan demi anaknya yang menginginkan dirinya selalu ada disini.
suara disekitar Reista seperti berdengung, pandangannya kabur dan Reista yakin. banyak suara-suara yang memanggil namanya, namun rasa sakit seperti menyayat di setiap persendian tubuhnya. rasanya ia ingin menghilang dari semua rasa sakit ini, untuk sebentar atau untuk selamanya?
didetik keduabelas, Reista tak yakin. matanya tertutup dan hanya ada kegelapan menghampiri dirinya. guncangan dan suara suara itu tak terdengar lagi. hanya ada kekosongan dan kehampaan yang Reista rasa.
Namun rasa sakit itu hilang, rasa yang menyayat hati dan tubuhnya hilang, tenggelam dalam kegelapan dan menarik seluruh raga dari tubuh Reista.