webnovel
#COMEDY
#CAMPUS
#TEEN
#FUTURE

School of Persona

Bagaimana rasanya hidup sebagai remaja di tahun 2042-2043? Ditengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan kompetitif? Mereka itulah yang disebut sebagai ‘Generasi Emas Indonesia 2045’. Berdirilah School of Persona (SP). Sebuah asrama yang dibangun sebagai tempat pembinaan kompetensi dan kepribadian para remaja SMA penerima Haikal Scholarship in Leadership (HSL). Penghuni asrama elit itu sangat heterogen, mereka dituntut untuk memahami berbagai perbedaan persona di dalamnya. Mereka memiliki sisi yang membanggakan, normal, hingga 'liar' secara bersamaan. Bukan kamuflase, itu hanya ukum tiga wajah; pribadi; keluarga; publik. Banyak persoalan, rahasia dan masalah muncul diantara mereka, lama kelamaan membesar, lalu meledak sebagai bom waktu. Lalu, mampukah mereka membangun diri sekaligus menghadapi tantangan besar generasi mereka itu? Unlock the answer by reading this story! ------ Halo, Readers! Selamat datang di novel keempat Aleyshia Wein. Konsep novel ini adalah Fiksi Realistik dengan sentuhan Literary Fiction. Meskipun demikian, sisi romantis akan tetap ada tipis-tipis, baik diantara para penghuni School of Persona, atau Adriana dan Haikal. Author menyarankan untuk terlebih dahulu membaca karya kedua Author yang berjudul 'Laboratory Doctor and Activist' untuk lebih dekat dengan karakter dan kisah Adriana Gerrie dan M. Faqih Haikal yang terbilang cukup filosofis mendasari berdirinya The School of Persona. Seperti biasa gaya bahasa akan cenderung teknis, dan beberapa istilah advanced akan dijelaskan dalam notes Author. Happy reading! Regards, Aleyshia Wein.

aleyshiawein · Adolescente
Classificações insuficientes
268 Chs
#COMEDY
#CAMPUS
#TEEN
#FUTURE

Pekerjaan di Helsinki

Nalesha hanya diam di kamarnya seharian libur ini. Tak ada yang Ia lakukan selaim duduk di lantai bersandar pada tempat tidur. Pandangan matanya kosong, tangannya lemas terkulai bertopang pada lutut yang Ia lipat ke atas. Ekspresi wajahnya tak menunjukkan energinya seperti biasa. Surut dan suram, ditambah kamarnya yang selalu gelap dari cahaya matahari yang luput tertutup gorden hitam legam.

DRRT!

DRRT!

DRRT!

DRRT!

Ponselnya bergetar, menari-nari di meja dengan ritme teratur. Sejak tadi seperti itu, membuat Nalesha marah dan kasar mematikan sambungan penelepon yang bersaut-sautan dengan alarm yang sudah tiba waktunya mengusik ketenangan.

Oh? Apakah benar Ia tenang?

Rasanya tidak.

Ketakutannya yang sudah lama tak muncul itu kembali menyambangi. Ketakutan yang dirangsang oleh sesuatu yang aslinya memang menakutkan. Karena itu, Nalesha terduduk berjam-jam memeluk kaki, berusaha menenangkan diri sendiri sekaligus meredam tangannya yang terus gemetaran tanpa henti.

TOK

TOK