webnovel

Mie Instan

Wardana's House

Setelah acara panjang malam ini, akhirnya Gwen bisa meregangkan badan sedikit, ulang tahun nenek Emily Wardana cukup menguras tenaganya.

Ketika Gwen memasuki dapur pada tengah malam, ia terkejut menatap Rangga yang juga tengah berada disana, pria itu tengah mengoles selai pada rotinya.

Selama acara makan malam berlangsung, Gwen memang tidak melihat Rangga sama sekali berkumpul bersama keluarganya.

Gwen memberanikan diri memasuki dapur, ia melirik Rangga yang duduk di meja makan dalam diam, mengunyah roti.

"Aku ingin membuat mie instan," ujar Gwen pelan sambil membuka laci dimana mie instan tersimpan. "Kalau Mas masih lapar, mau kubuatkan sekalian?"

Rangga mengangkat kepalanya, tidak menyangka Gwen akan mengajaknya bicara seperti ini. "Kamu tidak keberatan?" ia bertanya serak.

Gwen menggeleng. "Kulihat Mas melewatkan acara makan malam hari ini, pasti Mas sangat lapar sekarang." karena saat makan malam tadi, Gwen juga menyuruh Bi Yuni mengantarkan makanan Rangga di kamarnya. Memikirkan Rangga makan seorang diri dalam dua bulan ini membuat hati Gwen di liputi oleh perasaan gelisah dan juga sedih. Hanya karena ingin membuat Gwen nyaman, Rangga sampai tidak menghadiri acara makan malam besar keluarganya.

"Kalau kamu tidak keberatan, tolong buatkan satu untukku."

"Telurnya mau yang matang atau tidak?"

"Setengah matang."

"Oke." Gwen membuat dua bungkus mie sedangkan Rangga duduk disana, memerhatikan istrinya. Dulu, ia tidak suka menyebut Gwen sebagai istrinya, tapi sekarang, ia suka sekali memanggil Gwen dengan sebutan istri. Jantungnya berdebar setiap kali menyebut Gwen dengan kata istri. Debar yang terasa hangat dan juga menyenangkan, membuat bibirnya tanpa sadar membentuk sebuah senyuman.

"Aku menambahkan potongan cabai, kuharap Mas tidak keberatan," Gwen meletakkan mangkuk sedikit jauh dari tempat Rangga duduk, ia belum mampu berdiri lebih dekat, dan Rangga juga menyadari itu, jadi ia menjangkau mangkuk itu dan menariknya mendekat.

"Terima kasih."

Gwen hanya mengangguk dan mulai makan, sesekali ia mencuri pandang pada Rangga yang juga makan di seberangnya. Pria itu menghabiskan isi mangkuk hanya dalam waktu beberapa menit, membuat Gwen diam-diam tersenyum.

"Ini enak, sekali lagi terima kasih."

Gwen nyaris tidak pernah mendengar Rangga mengatakan kalimat itu padanya, dan kalimat sederhana itu mampu membuatnya tersenyum. "Sama-sama." ujarnya memalingkan wajah agar Rangga tidak melihat senyum yang terbit di bibirnya.

Bukan berarti Rangga tidak melihat, senyuman manis itu membuat detak jantungnya nyaris berhenti sepersekian detik, keinginan yang kuat untuk memeluk Gwen menguasainya, namun ia menahannya sekuat tenaga. Ia tidak ingin membuat wanita itu berlari ketakutan menjauh darinya. Sudah kemajuan yang besar mereka bisa duduk di satu meja makan seperti ini setelah apa yang sudah Rangga lakukan pada Gwen. Dan Rangga tidak akan menghancurkan semua ini hanya karena tidak bisa menahan dirinya terhadap Gwen.

"Letakkan saja mangkuknya disana, biar aku yang mencucinya. Kamu sudah memasak untukku."

"Tidak apa-apa." Gwen bergumam sambil mulai memutar keran. "Bisa antarkan mangkuk Mas kesini?"

Rangga meletakkan mangkuk sedikit jauh dari tempat Gwen berdiri lalu melangkah mundur, membiarkan Gwen yang menjangkaunya.

"Tidurlah. Aku bisa mengerjakan ini sendiri." ujar Gwen sambil membilas peralatan memasak yang tadi ia gunakan.

Rangga bersandar pada kulkas, memerhatikan Gwen yang mencuci mangkuk. Ia mengepalkan kedua tangan sambil bersidekap. Betapa inginya ia memeluk tubuh itu, menyusupkan kepalanya di leher jenjang Gwen.

Sialan!

Rangga memalingkan wajah. Kurang brengsek apa dirinya? Setelah pernah memperkosa Gwen secara brutal, bisa-bisanya ia memikirkan tubuh itu dalam benaknya.

Tapi ia tidak bisa menghentikan pikirannya. Ia masih sangat hafal harum tubuh Gwen.

"Aku tidur lebih dulu." ujar Rangga lalu tergesa-gesa meninggalkan dapur saat keinginan itu semakin kuat menariknya. Ia takut tidak mampu menahan diri lebih lama dan ia tidak bisa menyakiti Gwen sekali lagi seperti dulu.

Rangga tidak menyangka bahwa ternyata dirinya sebiadap ini.

Seharusnya ia tidak menerima tawaran Gwen tadi. Tapi ia juga tidak bisa menolak kesempatan dimana ia bisa menatap Gwen lekat-lekat. Bahkan wanita itu masih berbaik hati padanya meski dalam keadaan takut.

Apa ia harus menjaga jarak seperti dulu? Tapi ia tidak akan sanggup seperti itu lagi. Tidak melihat Gwen sebentar saja ia sudah merasa gelisah, lalu bagaimana caranya ia untuk kembali menghindari wanita itu? Tidak. Rangga tidak akan sanggup melakukannya.

Rangga yakin dirinya akan gila jika hal itu sampai terjadi.

To Be Continued