webnovel

Aku Ingin Muntah Melihat Diriku Sendiri

Aku bisa langsung menebak aroma itu karena tea time setiap hari di keluargaku jam lima sore. Apalagi Jacob bekerja di kafe yang juga menyediakan teh dan kue, ia banyak ngobrol padaku seputar hal tersebut.

Lewat ujung mata aku mencuri pandang ke arah cowok yang baru saja duduk di sebelahku. Ia sedang mengusap rambutnya yang dibiarkan sedikit memanjang. Tiba-tiba ia tertawa kecil, memperlihatkan gigi-giginya yang rapi.

"Aku tahu kau sedang kau menatapku," cowok itu berkata padaku.

Aku tersentak kaget bercampur malu. "Maaf, aku cuma bermaksud memastikan." Aku memegangi ujung-ujung rokku saking gugupnya. "Maafkan aku kalau itu mengganggumu."

Cowok itu tersenyum ramah. "Tak apa. Orang menatapku itu sudah biasa." Ia mengangkat bahu. "Sergei Ivanov, Rusia." Ia mengulurkan tangannya padaku.

Aku tercekat. Sergei Ivanov?

"Yang di Roxy Café semalam?" tanyaku kikuk.

"Yeah." Ivanov mengangguk dan mengulurkan tangannya lebih dekat lagi padaku. Dengan linglung seperti sedang bertemu artis aku membalas uluran tangannya. Oh, bagus sekali. Aku telah membuat kesalahan memalukan pada orang yang kukagumi. Kesan pertama yang kurang menyenangkan.

Hudwake tertawa mendengus di sebelah kiriku, melirik dengan tatapan 'memalukan sekali'.

"Huddwake?" Ivanov menelengkan kepalanya.

"Hai, Sergei," balas Huddwake pendek.

"Jadi kau masih disini?"

"Seperti yang kau lihat." Huddwake tersenyum.

"Baguslah. Jadi Martinez tidak berulah terlalu gila padaku."

"Aku tidak melarangnya."

"Kau harus."

"Tidak."

Ivanov tertawa. "Setidaknya Martinez tidak memintaku jadi cowoknya."

Huddwake ikut-ikutan tertawa. Suaranya sopran, sedang Ivanov bass. Sungguh berkebalikan dengan penampilan mereka masing-masing. Huddwake terlihat sangar namun suaranya ringan, sedangkan Ivanov tidak semacho Huddwake namun suaranya serak basah dan berat. Aku teringat semalam ia bisa mencapai nada tinggi dengan suaranya yang ternyata berat, sungguh hebat.

Ivanov kembali mengalihkan mata birunya padaku. Aku menegang di kursiku.

"Jadi kau juniorku tahun ini?"

"Uh, yah."

"Siapa namamu?"

"Serina Gray," aku agak susah berbicara karena terlalu gugup.

Ivanov tersenyum. "Huddwake adalah pembimbingku tahun lalu," ia memberitahu. "Jadi, Serina. Kau bisa belajar padaku bagaimana cara menghadapi orang ini." Ivanov menatap Huddwake dengan pandangan usil. Huddwake hanya berdecak.

"Jangan takut padanya dan jangan merasa was-was, itu hanya akan menambah minatnya untuk membajak pikiranmu," Ivanov berbisik di telingaku. Refleks aku menjauhkan telinga darinya. Ivanov terlalu dekat, aku belum terbiasa dengan jarak sedekat itu. Ivanov menatapku sedikit keheranan.

"Dia lucu, Huddwake." Ivanov tertawa kecil.

Aku nyengir mendengar kata-kata Ivanov, sementara Huddwake mengangkat satu alisnya sambil menatapku.

"Apa yang lucu dari si rambut blackwood ini?" Huddwake tertawa. "Aku sedang menertawakanmu, Sergei."

"Terserah." Ivanov mengangkat bahu. "Oh, si Buenso sudah naik panggung." Ivanov memberi isyarat untuk menatap ke arah panggung.

Mendadak suasana menjadi sunyi. Seorang pria paruh baya berkulit sawo matang menaiki panggung dan berjalan ke podium. Setelan jas abu-abunya terlihat sangat pas di tubuhnya yang tinggi dan berisi. Rambutnya hitam dibelah tengah dan diberi minyak rambut hingga klimis, terlewat klimis sampai-sampai aku bisa melihat kilauannya yang diterpa sinar matahari dari kejauhan. Pria itu berkumis lebih tebal daripada Prof. Pean Driey.

Pria itu memandang berkeliling auditorium sebelum memulai berbicara.

"Selamat pagi para murid spesial," suara pria itu membahana di seluruh auditorium, besar dan mantap. "Saya Prof. Farfetch Buenso selaku wakil kepala Roxalen High School mengucapkan selamat datang kepada murid baru dan selamat datang kembali bagi para senior yang melanjutkan tahun belajarnya di Roxalen High tercinta."

Ivanov mengetuk-ngetukkan sepatu kets putihnya, terlihat bosan kemudian merogoh saku celana—mengeluarkan sekotak permen mint. Ia memasukkan tiga butir permen biru itu langsung ke dalam mulut, kemudian menyodorkan kotak permennya padaku. Aku hanya menggeleng untuk menolaknya, aku tidak begitu suka permen mint—err, kecuali campuran mint dengan rasa buah. Tapi Ivanov memaksa, ia meletakkan kotak permen itu di pangkuanku.

"Kuberikan untukmu. Itu akan melegakan tenggorokan dan membuat suaramu jernih," cerocos Ivanov. Aku hanya mengangguk lemah, tidak menemukan cara lagi untuk menolak. Ivanov tersenyum puas. Aku melengos seperti orang yang kalah perang—menatap senyum Ivanov yang sangat manis, kemudian kembali fokus pada Prof. Buenso.

"Kalian bukanlah diciptakan menjadi keanehan, bukan menjadi perusak keturunan manusia. Tidak! Kalian adalah penyeimbang kehidupan di bumi. Kalian diciptakan dengan tujuan, bukan untuk menjadi orang yang tak berdaya dan tersingkirkan diluar sana. Kekuatan yang kalian miliki adalah untuk melindungi, menyelamatkan, menyeimbangkan kehidupan. Kalian bisa membantu orang lain, tanpa harus diketahui. Demi eksistensi kita, kita harus menjaga kerahasiaan komunitas dan diri kita. Kita harus menerima bahwa memang hanya sebagian kecil, hingga penting bagi kita untuk…"

Tiba-tiba konsentrasiku buyar. Aku memang kurang suka mendengarkan pidato. Terus terang, sangat membosankan. Aku menghela napas panjang, jadi merasa agak mengantuk. Mataku jadi terasa berat, mendadak rasanya jadi agak tersiksa menahan berat tubuhku sendiri.

Prof.Buenso masih terus berbicara, tapi aku sudah tak tahu lagi apa yang ia bicarakan. Aku bisa merasakan kepalaku yang sedikit terangguk-angguk karena menahan kantuk.

"Serina," suara Ivanov terdengar menggema di kepalaku. Aku bersusah payah ingin membuka mata. "Serina, lihatlah aku," panggil Ivanov lagi sambil menepuk pundakku.

Antara sadar dan tidak sadar, aku mendengar suara Ivanov berubah menjadi suara perempuan. Aku mengernyit aneh kemudian menatap ke arah Ivanov. Tetapi aku tidak menemukan Ivanov, cowok berambut coklat kemerahan dangan mata biru dan senyum manis.

Aku mendapati cewek sebayaku, tersenyum dengan bibir merekah. Matanya hijau emerald. Rambut ikalnya coklat kehitaman seperti blackwood terurai sampai punggung, dan terlihat sedikit berantakan.

Tunggu, apa aku sedang bercermin? Aku membelalak, kesadaranku sudah sepenuhnya kembali. Aku yakin sedang melihat diriku sendiri, seperti sedang bercermin. Tetapi bayangan diriku tersenyum padaku, sementara aku yakin tidak sedang tersenyum. Ia mengedip-ngedipkan matanya, menggodaku. Oh, aku ingin muntah, memalukan sekali melihatnya.

Mendadak Huddwake membungkuk, tertawa tertahan sambil memegangi perutnya. Kembaranku juga ikut tertawa. Aku baru sadar, kembaranku memakai seragam cowok yang terlihat sangat kedodoran di tubuhnya. Dan aku mendapati ia mengenakan sepatu kets putih Ivanov. Aku membelalak, berpikir seperti orang linglung.

"Sergei. Kau tahu apa yang ada di pikirannya?" Huddwake nyerocos sambil tertawa.

"Apa?" Kembaranku mendekatkan telinganya.

"Dia bukannya terkejut, tapi malah ingin muntah melihat sosoknya yang sedang mengedip genit tadi."

"Aku sedang menggodanya." Kembaranku cemberut.

"Ya, Tuhan..." Huddwake masih menekuk perutnya, menahan tawa.

"Benar, kan? Dia lucu." Mendadak kembaranku berubah perlahan.

Rambutnya memendek dan berubah agak kemerahan sedikit demi sedikit. Tulangnya membesar, diikuti dengan otot-otot yang sedikit menonjol—membentuk tubuh cowok. Bahkan aku bisa melihat jakun yang perlahan tumbuh di lehernya. Aku menganga, Ivanov kembali.