webnovel

Kelas A

"Apa aku bermimpi?" tanyaku linglung.

Ivanov tertawa menyembur sambil memukul-mukul pahanya. "Sama sekali tidak." Ia menyungging senyum. "Itu kelebihanku."

Aku tertegun.

"Sergei bisa mengkopi DNA seseorang hanya dengan sekali menyentuhnya." Huddwake memberikan tambahan. "Ia mengkopi milikmu saat bersalaman tadi."

"Apa?" tanyaku sengit. "Bukankah itu terdengar seperti pembajakan?"

"Marahlah pada Huddwake, ia bahkan membajakmu lebih banyak." Ivanov menyentuh bahuku untuk menenangkan. Ah, benar juga dia. "Hei, kau sudah tidak mengantuk lagi, kan?" Ivanov menatapku usil.

Aku hanya tertawa pahit, malu ketahuan mengantuk oleh dua seniorku. Hari yang agak sial, aku sudah banyak melakukan hal yang memalukan.

"Ah, ya. Jangan berbuat yang aneh-aneh jika sedang membuat kopianku," aku berpesan pada Ivanov.

"Oh, tentu…" Ivanov terdengar membuat-buat jawabannya. Aku mendengus. "Tenanglah, kau bisa percaya padaku." Ia tertawa.

Tepat ketika Ivanov menyelesaikan kalimatnya, Prof. Buenso menutup pidato. Suara tepuk tangan bergemuruh memenuhi auditorium. Prof. Buenso hanya menanggapi dengan satu anggukan kepala, kemudian turun dari podium.

Tak berselang lama, seorang wanita tua yang duduk di kursi sebelah Prof. Buenso di barisan depan berdiri dan berjalan menuju podium. Wanita tua itu mengenakan gaun terusan selutut dengan kerah sabrina berkancing. Kainnya terlihat halus mengilat dan ringan, dengan warna beige yang memberi kesan simpel nan elegan.

Rambutnya yang sudah memutih dipotong pendek di bawah telinga, kelihatannya diroll dengan sangat hati-hati. Topi mungil berenda dengan aksen bunga carnation menghiasi kepalanya. Oh, penampilannya sungguh bergaya bangsawan Inggris. Wanita itu tersenyum tipis setiba di podium.

"Itu Prof. Trassie Muitimk, ratunya Roxalen High," Ivanov menjelaskan.

Aku mengangguk-angguk, jadi wanita ini.

"Selamat datang anak-anakku," Prof. Muitimk mulai berpidato. Ternyata suaranya sangat cempreng, khas suara nenek-nenek. "Saya Prof. Trassie Muitimk, mengucapkan selamat datang di Roxalen High School. Asahlah bakat spesial kalian disini. Nikmatilah harimu-harimu dan jadilah siswa yang baik. Sekian dan terima kasih."

Aku membelalak. Itu pidato tersingkat yang pernah kudengar seumur hidupku. Andai semua orang berpidato seperti Prof. Muitimk pasti aku tidak pernah mengantuk.

"Apa dia selalu seperti itu?" tanyaku pada Huddwake.

Huddwake mengangguk. "Prof. Muitimk selalu lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di kantor, atau minum teh bersama koleganya, atau ke salon, atau mengurusi anjing pudelnya yang aneh." Mata Huddwake menerawang ke atas, membayangkan atau sedang apa aku tak tahu. "Setelah ini aku harus mengantarmu ke kelas perdana."

"Apa pelajaran sudah dimulai?"

"Tidak. Kau hanya perlu mengenal kelas dan teman-temanmu."

Aku mengangguk-angguk. Murid-murid mulai beranjak dari tempat duduk dan membuat suara berdengung seperti lebah. Huddwake memberiku isyarat untuk segera meninggalkan auditorium bersamanya.

"Aku duluan," Huddwake berkata pada Ivanov.

"Oke, aku akan kembali ke kamarku untuk memasang senar gitar yang baru," Ivanov mengoceh. "Jangan lewatkan penampilanku nanti malam, Serina. Aku selalu membawakan lagu yang berbeda tiap harinya."

Aku mengangguk sambil berharap hari ini tidak mendapatkan tugas orientasi agar bisa menonton Ivanov di Roxy Café nanti malam.

***

"Ini kelasmu."

Huddwake mengantarku ke salah satu kelas kamuflase Roxalen High—yang dikenal para penduduk Inggris dan para pengawas sekolah sebagai International High School of Birmingham. Kelasnya cukup lebar dibanding dengan jumlah muridnya. Angkatan tahun ini berjumlah seratus orang, dibagi ke dalam empat kelas. Itu berarti setiap kelas beranggotakan dua puluh lima orang. Aku di kelas A.

Aku menghirup aroma cat ketika memasuki kelas. Kudapati Dara duduk di baris ketiga, ia melambaikan tangan padaku dan memberiku isyarat untuk duduk di bangku sebelahnya. Aku tidak mendapati Clark diantara murid-murid yang sudah datang.

"Jadi, boleh aku meninggalkanmu sekarang?" Huddwake mengingatkanku akan keberadaannya. "Aku sedikit merasa seperti ibu-ibu yang mengantar anaknya ke hari pertama sekolah. Aku harus cepat agar tidak tertinggal orientasi universitas."

Aku bersungut-sungut mendengar perkataan Huddwake. Oh, Tuhan... apa yang dimakan orang ini tiap harinya? Mulutnya selalu mengeluarkan kata-kata yang menyebalkan.

"Silahkan, Mr. Huddwake," kataku setengah meledek. "Semoga pembimbingmu menyenangkan, setidaknya tidak menyebalkan."

"Baiklah." Huddwake terlihat mengerti apa maksud kata-kataku. Ia terlihat sedikit mendongkol, terlihat dari alisnya yang mengkerut dan bibirnya yang ia gigit sedikit. Huddwake meninggalkanku tanpa berpamitan sedikitpun, dasar tidak sopan.

"Yang tadi itu Huddwake?" Dara langsung menyambutku dengan pertanyaan yang penuh antusiasme ketika aku menghampiri bangku di sebelahnya.

Kusundarkan punggungku kursi sambil melengos panjang. "Yeah..."

"Ya, ampun... dia tampan." Dara membelalakkan mata dan mengucapkan kalimatnya dengan gerakan mulut yang berlebihan. "Kau sungguh beruntung."

Ganti aku yang membelalakkan mata. Oh, Tuhan... dia bilang aku beruntung.

"Dia menyebalkan," kataku setengah berbisik. "Dan dia sudah punya cewek."

Dalam sekejap antusiasme di wajah Dara menghilang. Aku ingin tertawa melihatnya.

"Serina?"

Aku menoleh. Daisuke tersenyum lebar di depan kelas. Refleks aku segera melambaikan tangan padanya. Daisuke berjalan cepat ke arahku.

"Oh, sudah kuduga kau masuk kelas A." Daisuke terlihat sangat senang. "Boleh aku duduk disini?" Ia menunjuk bangku di depanku. Aku mengangguk mengiyakan.

"Dara, ini Rinwa Daisuke. Aku mengenalnya ketika mengurus administrasi siswa kemarin," aku memperkenalkan Daisuke pada Dara.

"Aku Dara Fiwtriny, kau bisa memanggilku Dara." Dara menyalami Daisuke.

"Apa kau dari Amerika?"

"Tidak. Kanada tepatnya."

"Rambutmu sungguh mirip Barbie. Kupikir kau dari Amerika," balas Daisuke polos.

Aku dan Dara langsung tertawa bersamaan.

Kuedarkan kembali pandanganku ke seluruh ruangan. Semua bangku sudah terisi penuh, namun aku tetap tidak menemukan Clark.

"Kau mencari seseorang, Serina?" Dara menyadari gelagatku.

"Uhm." Aku mengangguk. "Dia kenalanku sewaktu berangkat ke Roxalen High. Aku bersamanya sedari stasiun kereta bawah tanah London."

"Dia ada disini?"

Aku menggeleng lemas.

"Sayang sekali, Serina. Kelihatannya ia masuk kelas yang lain." Dara mengambil kesimpulan yang sama denganku.

"Kau bisa menemuinya di asrama, bukan?" Daisuke memberikan usul.

"Dia cowok." Aku meringis. Daisuke ikut meringis menyusulku.

"Kalau begitu kau bisa mencarinya di kelas yang lain nanti. Aku akan menemanimu kalau kau mau," Dara menawari.

"Oke."

Mendadak kelas menjadi sunyi. Seorang wanita berumur empat puluh tahunan masuk ke dalam kelas, membawa map berwarna merah dan sebuah netbook yang berwarna merah pula. Suara hak sepatunya menjelajah ke seluruh ruangan. Ia mengenakan pakaian dan aksesoris serba merah—mulai dari blouse, rok, sepatu, dan kalung berliontin batu ruby yang kelihatannya dibeli sepaket dengan anting-antingnya. Rambutnya yang hitam keriting dibiarkan terurai, terlihat sangat kontras dengan pakaian yang dikenakannya. Dan yang terakhir, bibirnya yang sangat tebal dipoles dengan lipstik merah merona.

Wow.

Aku bisa mendengar murid-murid saling berbisik, mengomentari wanita itu sebagai Lady Red, Countess Elizabeth, atau Bloody Mary. Yang jelas ketiganya memang serba merah dan menakutkan.

Aku sendiri memikirkan Countess Elizabeth.

Wanita itu terlihat tidak peduli dengan para murid yang berbisik-bisik. Ia meletakkan map dan netbook di mejanya. Menyibakkan rambutnya dengan kuku-kukunya yang panjang dan dicat dengan kuteks berwarna merah.