Keesokan paginya Liona bangun di ruangan berwarna putih gading dengan terai berwarna putih yang tampak bercahaya oleh sinar matahari pagi tanpa siapapun berada di sampingnya.
Liona mendengus, berusaha bangkit, duduk bersandar pada punggung ranjang, menghirup udara dalam-dalam sebelum akhirnya kembali menghembuskannya lemah.
"Lagi dan lagi," gumamnya.
Lima menit lenggang, setelah seorang perawat wanita datang dengan mendorong troli berisikan menu sarapan Liona pagi ini.
Tangan kanan yang terpasang cairan infus membuat Liona tidak leluasa bergerak. Rasa nyeri jarum suntik yang menusuk kulit bagian punggung tangannya yang tipis masih terasa.
"Bisa?" tanya suster itu memastikan dengan raut iba.
"Bisa kok sus," balas Liona yakin.
Menu sarapannya kini telah berpindah tempat di nakas panjang yang khusus untuk pasien. Suster itu pun kembali melanjutkan tugasnya dan membiarkan Liona menghabiskan sarapannya setelah tadi memeriksa suhu tubuh Liona dan denyut jantungnya.
Liona malas-malasan melahap beberapa bulir nasi dengan sayur bening yang rasanya benar-benar hambar ditambah tahu goreng, telur rebus dan jeruk. Menu tanpa rasa yang sama sekali tidak menggugah selera makannya.
Drett
Suara dering ponsel yang berbunyi membuat Liona menghentikan suapannya. Susah payah tangan kirinya meraih ponsel yang ada di nakas meja bagian kiri. Mengangkat panggilan masuk itu.
"Hallo, kenapa Lion?" tanya Liona to the point.
"Kamu sakit? Sekarang masih di rumah sakit kan? Share lock, aku sama Bunda mau ke sana," ucap Lion tanpa memberi jeda bagi Liona untuk menjawabnya.
"Astagfirullah! Satu-satu dong! Iya aku masih di rumah sakit, okey siap. Bawa masakan Bunda ya. Masakan rumah sakit gak enak!" balas Liona yang justru berkeluh kesah tentang masakan yang ia makan untuk sarapan pagi ini.
Lion terdengar menghela napasnya panjang, lalu berdehem keras tanda setuju. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Liona bergegas mematikan sambungan telepon itu dan bergegas mengirimkan lokasi rumah sakit dimana ia dirawat sekarang.
Sembari menunggu kedatangan Lion, Liona asik bermain sosial media, mengecek beberapa tempat wisata yang ramai dikunjungi wisatawan saat libur panjang, juga mengecek trend lainnya.
Satu postingan tanpa sengaja mampir di berada akun media sosial Liona, postingan Mami saat makan siang kemarin yang baru diunggahnya hari ini dengan caption yang memuakan bagi Liona.
"Pencitraan! Bulshit! Anak lagi sakit juga. Posting di medsos bisa, jenguk anak gak bisa!" gerutu Liona dengan tangan kiri yang mencengkram erat seprai berwarna putih bersih itu. Membuat sisi-sisinya kusut.
Liona kembali dibuat tak habis pikir dengan kelakuan Papi yang sama seperti Mami. Pamer keluarga bahagia padahal pada kenyataannya jauh dari keluarga bahagia. Hanya mereka yang tampak bahagia tidak dengan Liona.
Tiga puluh menit berlalu Lion, Bunda dan Bagas datang bersamaan.
"Gimana kondisi kamu, sayang?" tanya Bunda sambil duduk di samping Liona. Mengelus lembut kepala gadis berkerudung hitam itu.
"Mendingan Bun. Cuma lemas aja," balas Liona.
"Sejak kapan lo sakit? Kemaren lo gak papa tuh?" celetuk Bagas yang membuat Lion menatapnya tajam penuh selidik.
"Ehhh sorry, gue belum cerita. Kemarin gue makan siang bareng keluarga Liona. Ya, you know lah! Bisnis keluarga," ucap Bagas sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Lion tidak membalas apapun, dia kembali fokus dengan ponselnya.
"Semalem," balas Liona singkat.
Bunda sendiri bergegas menyiapkan menu sarapan yang dia bawa.
"Lo hujan-hujanan?" tanya Lion.
"Maybe," balas Liona acuh.
"Makan dulu ya," lerai Bunda sambil menyuapi Liona.
Liona dengan senang hati menerima suapan demi suapan nasi yang Bunda berikan. Ia benar-benar mendapatkan kasih sayang yang utuh dari Bunda, walaupun bada kenyataan Bunda hanya teman baik Mami.
"Udah Bun," tolak Liona saat Bunda memberikan satu sendok nasi lagi.
"Loh! Baru juga lima suap, lagi ya. Supaya bisa cepet pulang nanti kita cepet pergi liburan," bujuk Bunda yang dibalas gelengan kepala.
"Perut Liona rasanya mau meledak Bunda. Tadi Liona sempet makan makanan rumah sakit juga, mual juga Bun," jelas Liona.
Bunda akhirnya menyerahkan. Membereskan bekas sarapan Liona dan membiarkan Liona beristirahat setelah memberikan obat yang ada di nakas dekat ranjang Liona.
Lima menit lenggang, dokter datang kembali dengan beberapa alat medis, memeriksa sebentar suhu tubuh Liona.
"Alhamdulillah demamnya turun, Liona bisa pulang siang ini juga," jelas suster itu.
Bunda balas mengucapkan terima kasih, setelah dokter itu pergi kini ketiganya diam menunggu Liona bangun dari tidurnya.
"Liona kok bisa ujan-ujanan ya? Emang dia sering gitu?" tanya Bagas yang ditujukan pada Lion.
Lion sendiri tengah asik menatap wajah damai Liona. Wajah pucat pasi itu tertidur dengan lelap seolah tidak memiliki beban apapun. Selain itu, Liona seolah putri tidur yang tengah menunggu kedatangan pangeran untuk memberikannya kecupan supaya ia bisa bangun kembali.
"Gak juga. Pasti ada alesan lain. Lo pasti ngerti, lo juga udah tahu gimana hubungan dia sama bokap nyokap nya kan?" tanya Lion memastikan.
"Bunda ke kantin dulu ya. Sekalian ketemu temen Bunda yang kerja di sini, kalian ngobrol aja. Lion, nanti chat Bunda kalau Liona udah sadar," potong Bunda.
Lion dan Bagas serempak mengangguk. Membiarkan Bunda pergi ke kantin dan kedua justru diam selama beberapa saat sebelum Bagas kembali bersuara.
"Tapi kok bisa sih sampe dia masuk rumah sakit gini? Apa dia di hukum?" tanya Bagas penasaran.
"Lo belum jawab pertanyaan gue Bagas!" tegas Lion mengulang pertanyaannya tadi.
"Iya gue tahu, tapi gak tahu sepenuhnya!" balas Bagas malas.
"Nah! Mungkin dari sebagian yang lo tahu, lo bisa nebak apa yang terjadi. Semakin Liona kenal sama temen rekan bisnis keluarganya semakin sering Liona dikekang dan lo tahu Liona kan, dia gak suka dikekang. Dia mau bebas," sambung Lion.
"Tapi itu gak menjawab pertanyaan gue! Kenapa Liona bisa sampe sakit?" kekeh Bagas yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Lion terkesan membuat masalah itu semakin rumit.
"Karena itu cara dia menghindar. Walaupun gak lama, tapi itu cukup efektif," jawab Lion lesu.
Kebiasaan Liona yang tidak pernah bisa Lion mengerti, memilih sakit daripada harus terus bertengkar lebih tepatnya menghindari kedua orang tuanya. Malas lah, capek lah, terlalu banyak alasan untuk setiap rasa sakit yang Liona pilih.
"Hah? Gak ngerti gue? Kenapa dia milih sakit? Padahal dia bisa aja kabur kan? Ehhh, tapi makin bahaya kalau Liona sampe kabur," sanggah Bagas.
"Gue juga gak ngerti. Mungkin bagi Liona lebih baik sakit fisik dari pada sakit batin. Bukannya sakit batin lebih menyakitkan dibandingkan fisik? Gak ada obatnya lagi plus gak berbekas," jelas Lion.
Bagas mengangguk-angguk setuju.
"Euhhh," lengguh Liona membuat Bagas dan Lion bergegas mendekat. Lion bergegas meraih tangan kanan Liona yang bergerak-gerak. Perlahan, namun pasti mata Liona terbuka. Menampilkan warna merah khas bangun tidur yang sayu.
"Haus," keluh Liona.
Bagas bergegas meraih gelas berisi air putih, memberikannya pada Liona yang langsung ditenggaknya.
"Udah?" tanya Lion.
Liona mengangguk dengan lemas.
"Bunda?" tanya Liona pelan.
"Ada di kantin," balas Lion.
"Udah sadar kamu? Syukur deh!" ucap seseorang membuat ketiganya menatap ke arah pintu yang terbuka menampilkan wajah seorang wanita yang dibalut jas warna abu-abu.