Kalantha berjalan tertatih di antara pepohonan rindang. Tangannya memegang setiap batang pohon yang dilewatinya guna menahan tubuhnya yang sudah tak bertenaga. Ia telah berjalan selama berhari-hari tanpa berhenti. Dan sekarang ia benar-benar membutuhkan istirahat.
Kalantha duduk bersender pada sebuah pohon yang begitu rindang. Nafasnya terdengar begitu terengah-engah. Ia haus. Sangat haus tepatnya. Ia belum memasukkan apapun kedalam perutnya. Ia tak menemukan buah atau apapun yang bisa dimakan dari hutan yang entah sudah di mana ia sekarang. Ia tak pernah melihat atau menjelajahi hutan ini sebelumnya.
Biasanya ia akan bersama dengan Alena dan Aletha berkeliling hutan . sesekali Evander akan menemani perjalanan mereka dan memberikan candaan yang Kalantha tak percaya Evander akan lakukan.
Sekarang itu semua hanyalah kenangan. Masa lalu yang tak dapat terulang. Hanya dapat dikenang. Bahkan mereka semua telah tiada. Percuma saja jika ia mengingatnya, yang ada malah ia akan semakin sakit karena tak dapat mengulang itu bersama ketiga orang itu.
Kalantha mengurut pergelangan kakinya yang telah membiru. Perjalanan panjang tak bertujuan ini benar-benar membuat kakinya seakan mau patah. Kepalanya bersender pada batang kasar pohon. Menatap lurus ke atas. Suara kicauan para burung dan derik serangga mengusir keheningan senja ini.
"Ibu, Semuanya."
Akhirnya suara Kalantha keluar juga. Setelah berhari-hari hanya diam, baru pertama kali dia membuka mulutnya. Ia merasa begitu rindu kepada mereka.
"Apa kalian bisa melihatku disini? Aku dengar orang yang sudah mati akan naik ke langit. Jadi aku rasa kalian bisa melihatku disini."
Kalantha memeluk kakinya.
"Tidak adil sekali. Kalian bisa melihatku, tapi aku tak bisa melihat kalian." Lagi-lagi Kalantha berbicara.
"Apa kalian merindukanku?" Mata Kalantha tampak telah berkaca-kaca begitu pula bibirnya yang bergetar karena harus menahan isakan.
"Aku merindukan kalian."
Dan Kalantha dan dapat lagi menahan tangisannya. "Aku tak punya siapa-siapa lagi. Aku, aku sendiri." Kalantha entah mengadu pada siapa. Dia benar-benar sedang butuh menangis. Mengeluarkan semuanya agar dapat merasa tenang. Suara tangisannya kini juga jadi salah satu pengisi keheningan hutan.
Srak
Kalantha mengangkat kepalanya karena mendengar sesuatu. Kalantha melihat sebuah semak yang bergerak-gerak kecil. Perasaannya mendadak was-was. Ia segera berdiri dari duduknya. Matanya terus menatap semak itu. Ia menelan ludahnya dengan susah payah karena sakit.
Tiba-tiba saja sebuah serigala melompat dari semak itu. Kalantha sontak berlari cepat meninggalkan siluman serigala itu. Tak peduli akan rasa sakit yang tengah dialaminya. Ia harus berlari menyelamatkan dirinya dari santapan serigala itu.
Astaga, di mana dia sebenarnya? Di hutan negri putih dulu tak pernah ada werewolf seekorpun. Lalu dimana dia? Ditengah keseriusannya dalam memikirkan itu, Kalantha tak sadar bahwa ada penjepit bergerigi di depannya
"ARGGGGHH..."
Suara Kalantha memekik kuat. Besi tajam itu menancap sempurna sampai menembus ke tulang. Darah segar mengalir begitu deras. Kalantha telah berusaha untuk melepaskan perangkap itu, namun tak bisa. Malah lukanya semakin menganga.
Astaga, itu begitu sakit.
"Auuuuuuu..."
Lolongan panjang serigala itu membuat Kalantha tersadar bahwa ia harus segera kabur sebelum serigala itu menangkapnya. Kalantha berusaha bangkit. Kakinya kembali berlari meski harus tertatih. Tubuhnya semakin letih, bernafaspun sulit sekali baginya. Tenggorokannya begitu kering. Astaga, ia sangat haus. Tolong berikan dia air.
Ia akan mati, ia akan mati. Itulah kata-kata yang terus terngiang-ngiang dalam kepalanya.
Kalantha sesekali menoleh ke belakang. Memastikan kalau serigala itu belum menemukannya walau ia yakin kalau darahnya telah tercium. Kalantha tak boleh berhenti sekarang, jika tidak makhluk itu akan membunuhnya.
Ia akan dimakan, ia akan dimakan. Dia akan mati.
Tidak!
Dia tak boleh mati sekarang. Menyerah adalah dafar terakhir yang ingin dilakukannya saat ini. ia harus hidup untuk membalaskan dendamnya kepada negri keparat itu. Tapi pertama kali yang ia harus lakukan adalah segera bersembunyi dari serigala itu.
Dia harus berjuan untuk dirinya sendiri. Bahkan dewa maut sekalipun tak ia perbolehkan mengambil nyawanya sebelum ia menepati sumpahnya. Ia harus menjadi kematian dari Helios.
Krak
"AKH..."
Lagi-lagi Kalantha harus menambah luka di tubuh indahnya akibat jatuhan ranting yang mengenai wajah dan bahunya. Sialan, dia harus segera bersembunyi.
"Oh, semesta. Tidak bisakah kau menolongku sekali ini saja?"
Bersamaan dengan doanya, Kalantha jatuh ke dalam sebuah lubang yang lebarnya seperti sumur. Suara jatuh yang begitu mengerikan tak dapat membohongi bahwa itu pasti sangat sakit sekali.
"ugh!"
Gadis itu meringis saat merasakan dadanya begitu ssakit karena menghantam dasar lubang. Sekujur tubuhnya terasa amat nyeri akibat benturan keras itu.
"Uhuk, Uhuk."
Kalantha terbatuk seraya berusaha untuk duduk. Sial, perangkap terkutuk itu masih bersarang mulus di kakinya. Pantas saja lukanya semakin lebar.
"Auuu...."
Suara lolongan itu lag-lagi mengintrupsi Kalantha. Ia tak bisa berlama-lama meratapi sakitnya. Ia bergeser dengan perlahan, menjauh dari cahaya senja agar tak terlihat dari bibir jurang. Ia mengerahkan semua tenaganya yang tersisa tinggal seujung kuku itu. ia bersender ke dinding jurang.
Berulang kali ia harus menelan ludahnya. Setelah serigala itu pergi menjauh, Kalantha bernafas lega. Matanya terpejam. Ia merasa haus, tenggorokannya kering, dan ia mengantuk sekarang. Ia benar-benar butuh istirahat.
***
Kalantha membuka matanya perlahan. Teryata sudah malam hari. Kini giliran selena untuk bertugas. Wajah kalantha terlihat begitu pucat. Darah itu sedari tadi tak juga berhenti mengalir. Kalantha kembali menyandarkan kepalanya pada dinding jurang.
Menatap bundaran penuh di atas sana. Tak ada lagi kesedihan. Hanya mata datar yang penuh dengan kebencian. Ia sudah lelah dengan menangis karena hal yang tak akan kembali. Yang harus dilakukannya adalah bertahan dan berusaha untuk membalaskan dendamnya.
Srak
Sial, tak bolehkan ia beristirahat sebentar saja? Kenapa semua hewan di hutan ini tampak seperti kelaparan? Sekarang di depannya berdiri seorang ogre. Monster raksasa bermata satu, dan pemakan daging. Terkenal dengan kebengisan dan salah satu musuh terbesar dewa. Dia adalah salah satu penghuni hutan negri bawah.
Deg
Astaga, kenapa Kalantha baru sadar. Semua siluman itu memang tinggal di negri hitam. Jadi, dia ada di ngeri terkutuk ini. Astaga, kalau begitu ia akan benar-benar mati sekarang.
Kalantha hanya dapat pasrah pada posisi duduknya yang masih bersandar. Ia tak akan dapat lari dengan kondisi mengenaskan seperti sekarang. Jika memang tidak bisa saat ini ia menepati sumpahnya, ia akan meminta pada semesta untuk menghidupkannya lagi untuk membalas dendamnya pada Helios.
"Dewi.."
Sang ogre mendesis. Kepalanya meliak liuk ke kanan dan kiri. Menghirup aroma Kalantha.
"Kau begitu manis. Bagai mana bisa dewi alam berada di negri yang kalian bilang adalah terkutuk ini?" ujar ogre itu dengan nada mencemooh.
Kalantha menutup matanya. Tak ada cara lain untuk kabur. Kematiannya sudah ada di depan mata.
Ogre itu berjalan mendekati Kalantha. Seringainya begitu mengerikan. Kalantha tak menghiraukan sang Ogre.
"Aku mendengar bahwa kau telah gagal menikah dengan Helios."
"Bukan urusanmu."
"Dan kau kehilangan ibu serta kedua pembantumu itu. Sunggu malang." Ejek ogre itu.
"Tutup mulut baumu itu."
Ogre tertawa menggelegar. Kalantha tak dapat menutupi rasa takutnya kala mulut lebar itu terbuka. Menampilkan giginya yang telah kuning dan memiliki karang. Kalantha mencoba mundur, tapi ia tak bisa. Ia ada di dinding jurang.
"Aroma tubuhmu sangat menggodaku." Kalantha meneguk salivanya.
"Aku rasa kau adalah santapan makan malam yang begitu tepat."
Kalanta menggeleng kasar dengan air matanya yang telah jatuh ke pipinya. Iblis itu berjalan mendekati Kalantha dan mengangkat tubuh Kalantha ke bahunya.
"TIDAK! LEPASKAN AKU! AKU TAK MAU MENJADI SANTAPANMU!"
Jantungnya berdebar kala Ogre itu telah membawa ke tengah hutan yang tampaknya menjadi rumah dia. Ogre itu melempar kasar Kalantha.
"ARRRGGHH!"
Kalantha merasa badannya semakin bertambah remuk redam karena benturan yang kembali dirasakannya. Belum lagi dengan perangkap yang tidak juga dapat ia lepaskan.
Kalantha menahan rasa takutnya karena saat ini ia sudah dikelilingi oleh bangsa ogre. Mereka tersenyum karena mendapati santapan yang lezat untuk mengakhiri makan malam mereka.
"Tebak, siapa yang ku bawa?" Tanya ogre yang mengangkat Kalantha tadi.
"Kalantha, dewi alam. Putri Bacilio dan Chleo." Jawab salah satu dari mereka.
"Dan juga pembawa aib karena telah menunjukkan lekuk tubuhnya saat pernikahannya tengah berlangsung." Timpal yang lainnya.
"Apa maksudmu. Aku tak bersalah untuk hal itu. kalian tidak ada di sana saat kejadian itu berlangsung, jadi tutup mulut bau kalian." Teriak Kalantha kesal.
Semua ogre semakin tertawa lebar karena ucapan Kalantha barusan. Mereka mengacuhkan ucapan Kalantha dan mulai memasak air di atas sebuah api unggun.
"Tutuplah mulutmu. Tidak ada gunanya kau berteriak karena kau sebentar lagi akan menjadi makan malam kami.
Kalantha mencoba untuk tetap tenang. Bahkan ketika iblis itu menarik pakian Kalantha, ia tetap untuk tenang.
Kalantha sudah berusaha melepaskan tangan raksasa yang melilit tubuhnya, tapi sia-sia saja. Kekuatan Kalantha tak setara dengan kekuatan ogre itu.
"Kau memiliki tubuh yang bagus. Sayang sekali ukuranku terlalu besar. Jika tidak, aku rasa aku akan memasukimu." Sebuah tawa menggelegar dari ogre lainnya. Kalantha seperti akan muntah mendengar ucapan kotor dari ogre itu.
"Kumohon, lepaskan aku."
Isak Kalantha dengan memohon. Astaga, kastanya lebih tinggi dari makhluk di hadapannya, namun kenapa malah ia yang memohon? Tapi ia tak mau dijadikan santapan makan malam mereka.
Kalantha akhirnya pasrah saat sang ogre mengangkat sebuah parang dan mengarahlannya ke leher Kalantha. Sepertinya mati sekarang tak terlalu buruk. Ia dapat dengan segera bertemu dengan ibu dan teman-temannya.
Wush
Tiba-tiba saja sebuah angin bertiup kencang sampai membuat tubuh ogre itu terpental ke belakang dan menimpa anak buahnya. Kalantha membuka matanya dan langsung menangis. Rambutnya telah berubah menjadi biru sempurna.
Kalantha tak tahu apa yang telah terjadi, tapi para ogre itu terrlihat tengah berlari menjauhinya. Kalantha hanya diam tak memperdulikan semua yang telah terjadi.
"Ibu, aku mohon tolong aku. Berikan aku kekuatan untuk membalaskan dendamku. Aku bahkan tak peduli jika harus menjadi budak seorang penguasa iblis sekalipun, asalkan dendamku dapat ku balaskan pada si keparat itu. Aku menjadi seperti ini karena dia, bu."
"Benarkah yang aku dengar barusan?"
Kalantha mengangkat kepalanya. Menatap sosok yang begitu menawan di depannya. Sosok itu memiliki sayap lebar berwarna hitam dengan lekuk tubuh yang pakaiannya sendiri tak dapat menutupi itu.
Pahatan wajah yang begitu sempurna. Belum lagi dengan suara dingin yang Kalantha sendiri takut namun seperti mendamba untuk terus mendengar suara itu. kalantha semakin terbelak saat menyadari bahwa sosok itu lebih tampan di bawah rembulan Selena.
Pria itu mensejajarkan tingginya dengan Kalantha yang terduduk. Diangkatnya dagu Kalantha. Kalantha dapat melihat mata semerah darah itu tengah menatapnya begitu tajam seperti tengah menelanjanginya. Walau pada faktanya ia memang hampir telanjang.
"Benarkah kau akan menjadi budakku?" Tanyanya lagu.
"Siapa kau?"
Sosok itu hanya tersenyum miring. Matanya kini menatap pada kaki Kalantha yang tertusuk perangkap kaum serigala.
Tanpa Kalantha sadari, sosok itu tiba-tiba saja membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman yang begitu kasar. Sosok itu menggerakkan bibirnya lalu memasukkan lidahnya ke dalam mulut Kalantha. Menjelajahi setiap isinya. Kalantha tak tau apa yang harus diperbuatnya. Ia hanya diam.
Seperti tersadar, Kalantha segera mendorong sosok itu dengan kasar. "Kau, lancang sek, ARRGGGHHHH!"
Namun ucapannya terganti dengan jeritan ketika ia merasakan kalau kakinya seakan hampir lepas. Kalantha mencengkeram kuat lengan pria itu untuk mengurangi rasa sakitnya. Dan dengan sekali hentakan besi itu telah terlepas dari kakinya.
"Sudah lepas."
Kalantha menatap besi yang penuh dengan bekas darahnya. Sangat mengerikan. Tak heran kenapa kakinya seakan mau putus. Namun lagi-lagi Kalantha dibuat terkejut dengan perlakuan pria itu.
"A, apa yang kau lakukan?"
Tanpa rasa jijik, orang itu menjilat kaki Kalantha yang penuh dengan tanah dan luka-luka. Kalantha merasa begitu geli sekaligus perih saat pria itu menjilat seraya menghisap lukanya.
"AH!"
Kalantha mendesah sakit saat sebuah gigitan kecil diberikan pada lukanya. Pria itu mengangkat kaki Kalantha dan kembali menjilati setiap inchinya. Kalantha merasa nafasnya seperti tersengal-sengal. Dadanya berdebar tak karuan. Namun entah kenapa ia malah menikmati setiap sentuhan orang itu.
Mata mereka sesaat bertemu, saling menyelami dalamnya tatapan dari masing-masing. Kalantha seperti megenali mata merah pria itu. Tapi sayang sekali, Kalantha adalah dewi bisa yang mengalami amnesia jangka pendek. Dia tak sejenius ayah atau ibunya.
Pria itu mengalihkan tatapannya pada kaki Kalantha. Memandangnya begitu lekat yang telah berlumuran darah. Masih menysakan beberapa bekas tancapan besi yang sangat dalam. Dia bahkan seperti melihat tulang dari kaki Kalantha.
Namun Kalantha begitu terkejut saat perlahan lukanya mulai menutup. Membentuk sebuah garis kuning yang mengikuti lukanya lalu meresap masuk ke dalam kulitnya dan perlahan memudar.
"Si.. siapa kau?"
Pria itu hanya menyeringai dan bangkit berdiri. Matanya tak lepas memandang Kalantha yang masih diliputi ketakutan akan kehadirannya.
"Apa yang kau lakukan padaku?" Tanya Kalantha lagi.
"Mengobati lukamu."
Kalantha sangat heran dengan sikap sosok itu. Bukan hanya karena telah menolongnya, tapi sebenarnya kaum apa pria itu? kenapa dia sangat berbeda dari bangsa yang ia temui. Dia terlihat lebih agung dan menawan.
"Terimakasih." Ucap Kalantha tulus.
"Jangan berterimakasih. Karena setelah ini kau adalah budakku."
Mata Kalantha melotot lebar seakan mau lompat dari tempatnya. Apa, budak. Hei, dia adalah seorang dewi. Dan pria itu mengatakan dengan entengnya kalau Kalantha akan menjadi budaknya. Apa dia sudah gila?
Mata Kalantha melotot lebar seakan mau lompat dari tempatnya. Apa, budak. Hei, dia adalah seorang dewi. Dan pria itu mengatakan dengan entengnya kalau Kalantha akan menjadi budaknya. Apa dia sudah gila?
"Hei, tuan. Aku adalah seorang dewi. Beraninya kau mengatakan aku akan menjadi budakmu. Apa kau sudah siap menjemput ajalmu?" ujar Kalantha dengan mata berapi-api.
Sosok itu malah tertawa mendengar ucapan Kalantha. Kalantha mengernyit heran. Apa ada yang salah dengan perkataannya barusan? Tampaknya ia tidak sedang melawak dengan sosok itu.
"Kenapa kau tertawa? Apa kau memang tidak takut semesta akan membunuhmu?"
"Kau mencoba melawak, putri? Bukankah kau sendiri yang mengatakan rela menjadi budakku?" ujar Sosok itu dengan nada mengejeknya.
Kalantha mengerjap-ngerjapkan matanya seperti orang bodoh. Biar dia kembali mengingat sebentar. Dia memang ada mengatakan itu, tapi seingatnya dia hanya bersedia menjadi budak dari penguasa para iblis. Dan pria ini, tubuhnya bahkan tak dapat meyakinkan kalau dia adalah penguasa iblis. Dia terlalu... tampan.
"Kau bercanda? Aku mengatakan kalau aku hanya bersedia menjadi budak dari penguasa iblis. Bukan kaum iblis." Ucap Kalantha tanpa merasa takut sama sekali.
Sosok itu kembali mendekati Kalantha dan mensejajarkan tubuhnya. Matanya menatap Kalantha dengan begitu lekat. Baiklah, sekarang Kalantha merasa sedikit takut karena kilatan merah yang begitu mengerikan menurutnya. Tapi ia berusaha untuk tetap terlihat tenang.
"Nyalimu cukup kuat karena berani berbicara seperti itu padaku. Bahkan para serangga memilih kabur daripada harus berurusan denganku."
Kalantha lalu menatap sekelilingnya. Dan astaga, ia baru sadar kalau hanya tinggal mereka beserta para pohon yang begitu rindang.
Kalau tidak salah tadi ada begitu banyak hewan buas seperti ular yang merayap di pohon ini. kemana mereka semua? Bahkan Kalantha tak dapat mendengar suara derik serangga lagi.
"Ada apa, putri? Apa kau baru menyadarinya?" Ada nama mencemooh di suaranya.
"Kau, siapa kau sebenarnya?" Kalantha tak dapat lagi menutupi rasa takutnya.
Sosok itu tersenyum karena dapat melihat raut ketakutan di mata Kalantha. Seringai mengejeknya membuat nyali Kalantha semakin menciut.
"Aku yang akan membantumu membalaskan dendam atas kematian ibu dan temanmu."
Jawaban pria itu membuat Kalantha semakin penasaran dengan sosok misteri itu. siapa sebenarnya dia sampai berani mengatakan membantunya membalaskan dendamnya pada dewa sekuat Helios.
"Apa kau gila? Helios bukanlah tandingan kaum rendahan sepertimu. Hanya penguasa kegelapan yang dapat membantuku."
"Bagaimana kalau aku katakan kalau aku adalah penguasa dari kegelapan?"
Kalantha seperti kehilangan suaranya untuk menjawab pertanyaan atau lebih tepatnya pernyataan pria itu. Penguasa, pria itu penguasa dari kegelapan? Tidak mungkin.
"Bukankah kita sudah pernah bertemu sebelumnya, Kalantha?"
Kalantha memutar memorinya, mencari-cari wajah pria itu dalam memori terdalamnya. Tapi sepertinya tidak ada kejadian yang membuat mereka pernah berurusan seperti saat ini.
Menyadari kebingungan Kalantha, sosok itu mengetuk dahi Kalantha dengan ujung telunjuknya. "Aku adalah orang yang selama ini kau cari-cari bahkan dalam tidur malammu."
Tidak, tidak mungkin. Sosok ini tidak mungkin adalah dia yang terus menghantui pikirannya selama dua malam sebelum pernikahannya berlangsung.
"Dia yang hilang adalah penguasa dari negri bawah, sang kegelapan. Abadi dan tak tertandingi kuasanya. Dia adalah raja kaum demon. Terkenal akan kesadisan dan kekejamannya. Ia adalah kaum terkutuk yang tak pantas berada di atas muka bumi ini."
Suara Alena seperti menjadi rekaman di dalam pikirannya. Terus terulang-ulang sampai Kalantha dibuat pusing karena tak tahu harus mengatakan apa dan bagaimana. Dia baru saja berurusan dengan seorang terkutuk seperti pria ini.
"Dia yang hilang."
Kalantha bergumam begitu rendah. Namun sosok itu memiliki indra pendengaran yang cukup tajam. Jadi tak begitu sulit untuk mengetahui apa yang baru saja dewi itu katakana tentangnya.
"Ternyata ingatakan tidak terlalu buruk juga."
"Tidak, aku tidak mungkin berurusan dengan orang sepertimu." Kalantha berucap gugup kepada sosok itu.
"Tidak, Kalantha. Kau memang telah berurusan denganku. Kau sendiri yang memanggilku untuk menjadi tuanmu."
Kalantha menggeleng keras. "Tidak, aku tak mau."
Rahang pria itu mengeras mendengar penolakan dari Kalantha. Dia mengangkat tangannya dan mencekik leher Kalantha. Bahkan kaki Kalantha sudah tak memijak pada tanah lagi. Kalantha merasa begitu sakit, seperti ada yang membakar lehernya. Membuatnya merasa begitu sesak karena kesulitan meraup oksigen.
"Berani sekali kau menolakku saat kau yang memintaku untuk datang. Kau pikir kau siapa, hah? Kau hanyalah dewi pembawa aib. Dan kau dengan lancang mengatakan hal itu padaku."
Tanpa aba-aba, sosok itu menjilat wajah Kalantha yang terluka akibat ranting pohon itu. melakukannya seperti yang tadi ia lakukan pada kaki Kalantha.
"Leandro tak pernah ditolak. Camkan itu, Kalantha." Ujar sosok itu lalu melepaskan cekikannya.
Kalantha segera meraup oksigen sebanyak yang ia mampu. Leandro mengunci pergerakan Kalantha dengan menumpukan tangannya pada pohon di belakang Kalantha. Matanya berkilat penuh kemarahan. Kalantha menelan ludahnya penuh ketakutan.
"Seperti perjanjian kita diawal, aku akan membantumu membalaskan dendammu pada dewa keparat itu. Sebagai gantinya, kau akan menjadi budakku. Seluruh yang ada dalam dirimu adalah milikku. Bahkan hatimu harus kau isi dengan namaku. Ini bukan berlaku untuk satu decade atau dua decade. Tapi selamanya, Kalantha. Selamanya. Kau akan terus terikat denganku. Kau harus ada disaat aku memanggimu. Kau paham?" tegas Leandro
Kalantha kembali meneguk ludahnya. Desisan Leandro membuat Kalantha merasa ingin dikubur saja. Begitu mengerikan dan mengintimidasi. Kalantha tak punya pilihan lain selain mengangguk.
Leandro menyeringai lalu menarik punggung Kalantha mendekat. Tangannya membelai wajah Kalantha dengan begitu lembut. Kalantha merasa bulu kuduknya seakan berdiri merinding karena perlakuan pria itu.
"Selamat datang di negriku, Kalantha."
Dan kalantha tak main-main saat ia mengatakan ia benar-benar takut akan seringaian iblis itu.
tbc