Kalantha memasuki gerbang besar dengan posisinya yang setia berada di belakang Leandro. Matanya menatap kagum akan bangunan menyeramkan itu. walaupun begitu menyeramkan, bangunan itu sunggu terkesan mewah dengan warna merah darah dan hitam yang mendominasi.
Ada patung seekor singa di tiap tiang yang lebih besar. Di atas menara itu ada cukup banyak prajurit yang berjaga. Mereka semua memperhatikan Kalantha yang tidak mengenakan apapun, hanya pakaian dalamnya saja yang menempel di tubuh indahnya. Tapi ia tak peduli. Tampaknya ia sudah terbiasa menampakkan lekuk tubuhnya.
Namun sedetik kemudian Kalantha terheran menatap para prajurit yang tadi menatapnya kini menatap lurus ke depan. Kalantha lalu berlari mendekati Leandro. Kalantha ketakutan karena mungkin saja para iblis itu sudah menyihirnya agar dapat membunuhnya saat ia lengah.
"Ada apa?" Tanya Leandro saat Kalantha sudah berdiri di sebelahnya.
"Aku merasa tak nyaman." Cicit Kalantha.
Leandro lalu berhenti dan menatap Kalantha dengan seksama. Sama seperti yang tadi dilakukan oleh pengawalnya. Kalantha yang di tatap oleh Leandro jadi merasa agak risih. Padahal tatapan anak buah Leandro tak membuatnya risih.
"Pakai ini." Leandro menyerahkan jubah yang tadi dipakainya.
Kalantha menerimanya dengan sedikit gugup namun langsung memakainya. Setidaknya ini akan menutup lekuk tubuhnya. Kalantha dapat mencium aroma dupa dari jubah yang tadi dikenakan oleh Leandro. Kalantha merasa merinding. Dupa adalah aroma yang digunakan saat ada seseorang yang meninggal. Dan aroma itu melekat di tubuh Leandro. Leandro benar-benar malaikat maut.
Kalantha segera berlari mengimbangi laju kaki Leandro. Pria itu membawa Kalantha menuju sebuah ruangan yang tampak seperti kamar.
"Kau akan tidur disini?"
Kening Kalantha menaut. "Disini?"
Leandro mengangguk sekali. "Kenapa? Apa kau keberatan dengan kamar ini?"
Kalantha menggeleng. "Bukan, bukan itu. Aku tak keberatan sama sekali. Hanya saja, aku tak yakin ini seperti kamar seorang pelayan. Ini terlalu mewah untukku yang hanya seorang budakmu."
Leandro menyeringai. "Jadi kau memang sudah bisa menerima kenyataan sebagai budakku."
Kalantha menyesal sudah mengatakan itu. Seharusnya dia diam saja tadi agar tak menerima hinaan dari Leandro.
"Tapi baguslah. Karena cepat atau lambat kau memang harus menerima kenyataan itu. Aku memberimu waktu untuk beristirahat. Sampai aku memanggilmu keluar, kau tak boleh melangkah keluar dari kamarmu. Atau kau akan menerima hukuman dariku." Tegas Leandro yang kemudian melangkah keluar.
Kalantha tak perduli dengan ucapan Lendro. Tapi dia memang butuh istirahat sejenak karena perjalanan panjang nan menggilakan. Ia harus memulihkan tenaganya agar tak mati sia-sia.
***
"Apa maksudmu dengan membawa dia kemari, Leandro?"
Shaila menatap garang pada Leandro. Pria yang merasa kalau namanya dipanggil hanya menoleh dan menatap datar pada siren wanita yang berdiri di depannya.
"Itu bukan urusanmu."
Perempuan itu mencibir. "Apa karena tubuhnya sehingga kau terpikat padanya?"
Leandro tak menanggapi ucapan siren itu dan berjalan melewatinya begitu saja. Dia harus segera menuju tempat gurunya, Sergio.
"Kau mengabaikan ku karena dewi itu, Leandro?" Tanya siren itu tak percaya. Leandro tetap tak menaggapinya.
"Aku adalah cinta pertamamu, Leandro."
Ucapan Siren itu membuat langkah Leandro terhenti. Shaila tampak senang karena dapat menarik perhatian Leandro lagi.
"Apa kau lupa, Leandro? Kau dulu selalu menghabiskan malam denganku. Kau bahkan tak dapat mencari penggantiku untuk memuaskanmu."
Kaki jenjang wanita itu berjalan mendekati Leandro yang tak berbalik. Tangan lentiknya terus bergerilya diwajah dan tubuh Leandro. Ia lalu memeluk tubuh Lenadro dari belakang seraya berbisik dengan nada sensualnya.
"Aku mencintaimu, Leandro. Lihatlah, tubuhku bahkan jauh lebih indah daripada tubuh dewi pembawa aib itu."
Leandro tak bergeming. Ia tak bereaksi apapun pada sentuhan yang diberikan wanita cantik itu. tak berapa lama, ia menurunkan tangan siren itu dan berbalik menatapnya. Siren itu tersenyum bangga karena mengira kalau Leandro terangsang akan sentuhannya.
"Kau tau jawabanku, Shaila." Ia lalu berjalan meninggalkan siren yang bernama Shaila itu.
Shaila tampak kesal akan penolakan dari Leandro. Sudah keseribu kalinya pria itu menolaknya. Padahal Shaila dulu adalah cinta Leandro. Lalu, entah insiden apa yang terjadi. Saat tengah malam melihat Leandro datang, iblis itu menolak setiap sentuhan yang ia berikan.
"Ada apa denganmu sebenarnya, Leandro." Teriak Shaila.
Lagi Leandro menghentikan kakinya. Tanpa berbalik ia menjawab pertanyaan siren itu.
"Jangan karena kita pernah dekat, kau berbuat sesukamu padaku, Shaila. Aku adalah raja disini. Jadi tunjukkan sedikit rasa sopan santunmu sebelum ku pataskan kakimu." Jawab Leandro sinis.
"Aku adalah cinta pertamamu, Leandro." Pekik Shaila.
Leandro tertawa mencemooh. "Jangan hanya karena pergulatan malam-malam kita, kau malah menganggap dirimu sebagai cinta perrtamaku, Shaila. Aku tak pernah mencintai siapapun. Jadi jangan pernah mengatakan hal menjijikan itu atau aku benar-benar akan mematahkan kakimu agar kau tak dapat berenang bersama saudara lemahmu itu."
Setelah mengucapkan hal itu, Leandro kembali melanjutkan langkahnya.
"Aku bersumpah akan melenyapkan dewi sialan itu."
Leandro membuka sebuah pintu besi. Setelah pintu itu terbuka, tampaklah sebuah ruangan yang begitu lembab dan tak terurus.
"Aku sudah membawanya kemari." Tanpa basa-basi Leandro mengatakan hal itu.
Pria jangkung yang tengah memegang tongkat sihirnya langsung berhenti dari aktivitasnya yang sedang berusaha menyihir seekor hewan berbentuk cumi-cumi. Pria itu menoleh pada Leandro yang telah duduk sambil menatapnya.
"Dan aku sudah membuat tanda padanya." Lanjut Leandro.
Sergio meletakkan tongkatnya lalu menghamiri muridnya. Tiba-tiba saja sebuah cawan berisi darah datang dengan sendirinya pada Leandro.
"Kau benar-benar menjadikan dia sebagai budakmu?" Tanya Sergio.
"Dia yang memintanya."
"Tahukah kau kalau menandai budakmu akan berdampak fatal bagi kalian berdua?" Tanya Sergio penuh selidik.
"Aku tak tahu itu. aku terlalu terbawa nafsu karena aroma darahnya yang begitu manis. Aku tak dapat menahan itu." jawab Leandro acuh.
"Apa yang saat ini kau rasakan?" Sergio menatap Leandro dengan serius.
"Aku?"
"Ya, kau. Siapa lagi yang ada di sini selain kau dan aku?" jawab Sergio dengan kesal akan kebodohan muridnya.
Leandro diam sesaat. Lalu tiba-tiba saja dia seperti merasa sebuah ketenangan menyerang perasaanya. Ia tak pernah merasakan perasaan ini setelah ia menjadi seorang raja kegelapan.
"Aku merasa tenang dan sedikit mengantuk."
"Sudah kuduga. Itu yang akan terjadi pada kalian berdua." Sergio mengetuk-ngetuk jarinya ke pahanya.
"Apa yang terjadi?" Tanya Leandro bingung karena ucapan Serigo yang menggantung.
"Kau dan dia sekarang terhubung, Leandro." Jawab Sergio singkat.
"Terhubung seperti apa maksudmu?"
"Seperti ini."
Sergio segera mengambil sebuah pedang kecil dari dindingnya dan menancapkannya tepat di perut Leandro. Leandro terkejut dan spontan meninju lengan Sergio.
"Apa yang kau,"
"ARRGGHHHHHHH"
Leandro terkejut saat mendengar suara teriakan Kalantha yang begitu keras. Dengan sekedip mata dia kembali menuju kamar Kalantha. Leandro kembali dikejutkan akan kondisi kalantha yang mengenaskan. Perutnya melepuh. Itu seperti tempat di mann Sergio menancapkan pedang pada perutnya.
"Itulah yang ku maksud terhubung." Ucap Sergio yang telah berrdiri di sebelah Leandro.
"Bagaimana aku menyembuhkannya. Lukaku sudah menutup, tapi kenapa dia masih melepuh juga?" Tanya Leandro.
Sergio maju dan menyayat pelan lengan Kalantha.
"ARGGHHHH.."
Kali ini giliran Leandro yang menjerit. Lengan Leandro juga melepuh seperti yang terjadi pada Kalantha.
"APA-APAAN INI?" teriak Leandro seraya menahan rasa terbakar pada lengannya.
"Itulah yang terjadi pada kalian berdua. Kalian saling terhubung. Jika ada yang melukai Kalantha, maka kau juga kan terluka. Begitu sebaliknya. Kalian akan menjadi kelemahan pasangan kalian." Jelas Sergio.
"ARGHHH.. KUMOHON TOLONG." Teriak Kalantha.
"Lalu bagaimana menyembuhkan ini?" Tanya Leandro dengan nafasnya yang sedikit terengah menahan sakit.
Sergio tersenyum. Dan Leandro paham akan senyum Sergio yang seperti itu. Pasti ada maksud yang tak terduga yang akan keluar dari bibir itu.
"Kau akan menyukainya, Leandro."
"Jawab saja, tolol. Kau akan membuat dia mati." Pekik Leandro.
"Penyatuan tubuh."
Mata Leandro melebar. "Apa maksudnya?"
"Jangan pura-pura bodoh, Leandro. Selagi kau menggagahi budakmu, kau harus mengjisp darahnya agar kalian pulih. Begitulah memang cara penyembuhan kalian." Ujar Sergio dengan malas.
"Apa tak ada cara lain?"
Sergio menggeleng. "Tak ada. Salahkan dirimu yang melakukan penandaan tanpa tahu resiko yang akan kau alami. Aku akan meninggalkan kau disini. Lakukanlah dengan lembut. Aku dengan putri Kalantha masih berusia tujuh belas tahun. Dia pasti masih begitu rapat."
Sergio tersenyum menggoda sebelum keluar dari kamar Kalantha. Kalantha terus saja berteriak, ia tak dapat menyimak dengan baik apa yang tadi dikatakan oleh Sergio. Ia begitu sibuk dengan sakit di perutnya. Astaga, ia pikir ia dapat tidur dengan nyaman setelah mendapat izin. Namun dari mana pula sakit ini datang?
Oh, ini pasti dari para pengawal Leandro yang tadi telah memberinya sihir sebelum memasuki istana. Sudah Ia duga kalau mereka berniat tak baik dengannya. Dia adalah dewi, musuh para iblis.
Kalantha menatap memohon pada Leandro. Ia butuh pertolongan dari raja iblis itu. Leandro yang ditatap seperti itu seperti merasakan sebuah desiran di dadanya. Seperti ada dorongan bagi Leandro untuk menggagahi gadis itu.
Kalantha menatap sayu pada Leandro. "Leandro.. tolong aku." Lirihnya seraya bernafas melalui mulutnya.
Leandro melangkah naik ke atas Kalantha. Tangannnya ia jadikan sebagai penumpu tubuhnya agar tak menimpa Kalantha. Kalantha meneguk ludahnya. Sekali lagu Kalantha baik Leandro merasakan desiran dalam hati mereka massing masing. Entah sejak kapan Kalantha merasa berdebar, yang jelas ia bahagia walau perutnya kini tengah merasakan rasa terbakar yang begitu luar biasa sakit.
Leandro menggigit bibir Kalantha dan membuatnya terluka. Leandro meneguk darah yang dikeluarkan mulut Kalantha. Dan Kalantha hanya bisa terpaku dengan perutnya yang seperti melilit.
Perlahan luka yang ada pada Leandro memudar seiring dengan banyaknya darah yang dapat ia minum. Sialan. Darah Kalantha adalah darah terbaik yang pernah rasakan. Rasanya ia ingin mengsapnya sampai membuat Kalantha mati kehabisan darah.
"Akh.."
Kalantha memekik sakit akibat sesuatu yang bergejolak dalam perutnya. Leandro yang tersadar segera melepaskan ciumannya. Leandro menggigit bibirnya sendiri sampai mengeluarkan darah berwarna hitam.
Mata kalantha mendadak menjadi emas. Astaga, warna matanya tak pernah berubah seperti ini. biasanya hanya rambut saja yang berubah warna, namun kali ini tidak. Apa karena ia tengah bergairah sehingga warna matanya berubah?
"Giliranmu."
Leandro menempelkan bibirnya ke bibir Kalantha, mengalirkan darah ke mulut gadis itu. Kalantha yang awalnya berusaha menahan gejolak di perutnya, kini berubah jadi agresif dan menarik rambut Leandro agar lebih dekat dan dapat menghisap rakus darah lelaki itu.
Leandro diam dan membiarkan Kalantha mengobati dirinya. Tapi diam-diam dia juga kembali menghisap darah Kalantha dari bibir ranum itu. Terlihat seperti simbiosis mutualisme, menguntungkan kedua belah pihak.
Luka pada perut kalantha telah menghilang. Bahkan tak berbekas. Tampaknya apa yang dikatakan Sergio tadi kurang benar. Saling menghisap darah dapat lebih mempercepat proses penyembuhan dari pada hubungan badan.
Dan tampaknya Sergio melupakan satu hal. Ia lupa mengatakan kalau itu malah akan semakin memperkuat ikatan mereka sampai tak dpat dilepas oleh apapun bahkan Leandro sendiri.
***
Kalantha menatap langit malam dari balik jendela. Ia tak pernah bosan menatap Selena di manapun ia berada. Entahlah, mungkin karena saat lahir Selenalah yang memandikan ia dengan cahaya bulan purnamanya.
"Kau menyesal aku tak jadi menggagahimu?" pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari bibir Leandro.
Kalantha yang kaget akan kedatangan Leandro yang tiba-tiba langsung merapatkan dirinya ke jendela. "Kau mengagetkanku."
"Aku tahu." Jawab Leandro datar.
Leandro melangkah masuk ke dalam kamar Kalantha. Ia ikut menatap bulan berbentuk sabit di atas. "Kau tidak menghabiskan makan malammu."
"Aku tak lapar." Jawab Kalantha.
"Aku tak memintamu. Aku memerintahmu. Sekarang makan makanan itu." perintah Leandro dengan nada yang terdengar begitu tegas.
"Tapi aku tak lapar, Leandro. Bisakah untuk hari ini kau tidak memaksaku." Kalantha mulai kesal.
"Kau membentakku barusan?" suara Leandro terdengar penuh penekanan.
"Iya, aku membentakmu. Kau selalu memerintahkanku ini dan itu. baiklah, aku memang budakmu. Tapi apa kau tidak ingat dengan perjanjian yang kita buat? Kau akan membantuku membalaskan dendamku. Tapi yang, kau malah mengurungku di kamar laknat ini tanpa boleh keluar dari sini. Dan itu sudah berlangsung selama selapan hari. Aku bosan. Aku ingin pergi dari sini." Ucap Kalantha penuh dengan emosi yang membara.
Leandro mencengkram kuat rahang Kalantha. Matanya berkilat merah. "Apa kau sudah lupa pada apa yang ku katakan? Bahkan jika kau meminta pergi dariku sampai memotong nadimu pun aku tak akan melepaskanmu."
"Dasar licik. Kau memanfaatkan ku. Kau bahkan tak menepati janjimu untuk membantuku. Seharusnya aku sadar, tak pernah ada iblis yang dapat dipercaya." Ucap Kalantha dengan suara yang meninggi.
"Kalau begitu jangan salahkan aku untuk kebodohanmu sendiri."
"Biadab."
Leandro tersenyum miring. Dengan entengnya ia melempar Kalantha ke atas tempat tidur. Dengan kekuatannya ia langsung mengikat Kalantha dengan rantai sihirnya.
"A, apa yang akan kau lakukan?" Tanya Kalantha ketakutan saat Leandro mulai membuka kacing baju rubashka miliknya satu persatu.
"KYAAA!"
Kalantha berteriak ketika gaunnya telah terlepas sempurna dari tubuhnya. Ia kini benar-benar telanjang tanpa ada satupun yang menutupnya. Dan gilanya, ia dalam posisi telentang. Sial.
Leandro tersenyum miring menatap lekuk tubuh Kalantha. Tangannya melepaskan bajunya tanpa mengalihkan tatapannya dari kalantha.
"Ku mohon, lepaskan aku. Aku berjanji tak akan seperti tiu lagi." Bisik Kalantha setengah terisak.
Leandro tak memperdulikan perkataan Kalantha barusan. "Kau harus diberi pelajaran. Agar kau paham kau tidak punya posisi apapun di sini. Kau hanya seorang budak. Budak, Kalantha."
"Egh.."
Kalantha memekik dengan suara yang tidak keluar. Badannya meronta dengan kaki yang menendang-nendang. Tapi tampaknya itu sia-sia. Kalantha tak memiliki kekuatan yang sebanding dengan Leandro. Kalantha lelah berteriak. Rahangnya sudah sangat sakit.
Leandro lalu mengulum bibir Kalantha dengan ganas membuat suara gadis itu teredam. Kalantha merasa begitu sesak dengan ciuman yang Leandro berikan. Ia tak mendapat kesempatan untuk mengirup oksigen barang sedetik saja.
Leandro melepaskan ciumannya lalu menata tubuh Kalantha yang berwarna putih susu.
"Keparat. Lepaskan aku." Maki Kalantha.
"DIAM!" bentak Leandro yang langsung membuat Kalantha bungkam.
Pria itu lalu menjilat bibirnya sendiri. Tatapan matanya tampak mengkilat merah karena ingin menerkam tubub Kalantha. Lalu Leandro menggigit leher Kalantha dan membuat gadis itu tersentak.
"Ja.. jangan!"
Pria itu menggigit dan menghisap kulit Kalantha sampai menimbulkan bekar merah kebiru-biruan.
"Jangan."
"Hanya aku yang boleh memerinta disini. Kau hanyalah seorang budak."
"Bajingan."
"Aku adalah iblis jika kau lupa itu."
Leandro lalu menangkup payudara Kalantha dan memainkannya dengan lidah. Badan Kalantha gemetar. Air matanya mengalir begitu deras.
"TOLONG..."
Kalantha berteriak meminta tolong pada siapapun. Namun tak kunjung ada yang menghentikan aktifitas bejat dewa laknat ini. Namun Kalantha seketika merasa pusing saat bibir Leandro bermain di payudaranya.
Sialan. Kalantha tak mungkin menikmati ini kan?
"Jangan bodoh, Kalantha. Tidak akan ada satupun orang yang membantu mu disini. Hanya aku yang dapat membantumu."
Kini pria itu memainkan pucuk payudara Kalantha dan menggigitnya.
"Ah.."
Kalantha mendesah akan permainan Leandro. Ini memalukan.
"Kau suka?"
Kini Leandro hanya fokus memainkan payudara kalantha. Mengulumnya, menjilat, meremas, menggigit, memutar, menghisap. Semua sudah ia lakukan. Tangan Kalantha terasa begitu sakit akibat ikatan rantai yang mengikatnya.
Tapi dari itu semua, ia lebih merasakan sakit pada hatinya. Dia akan diperkosa. Ia selalu ingin memberikan kehormatannya pada suaminya kelak. Tapi kenapa semua harus berakhir dengan keadaan seperti ini?
Kalantha memejakan matanya, mencoba untuk tak melihat setiap perlakuan yang diberikan oleh Leandro pada tubuhnya. "Kumohon berhenti."
"Kalau begitu seharusnya kau berpikir dua kali sebelum mulutmu berani berteriak kepadaku seperti tadi."
Leandro bangkit dari posisi berbaringnya. Kalantha sempat merasa tenang karena berpikir kalau Leandro sudah memaafkannya. Namun dugaannya salah.pria itu bangkit hanya untuk membuka celananya. Leandra tersenyum sinis.
Mata Kalantha terbelak ngeri melihat bukti kelelakian Leandro. Ia berusaha merapatkan kakinya. Namun, Leandro dengan mudah membuka kaki Kalntha lebar dan menahannya dengan kedua pahanya. Dan yang terjadi selanjutnya adalah
"KYAAA!"
Kalantha berteriak kesakitan akibat hujaman yang diberikan Leandro. Pria itu memasukkannya hanya dalam sekali hentakan.
"KYA.. TIDAK.."
Leandro tak peduli. Ia terus menghujam tubuh Kalantha walau perempuan itu terus memohon untuk Leandro menghentikannya.
Entah sudah berapa kali hujaman itu menembus tubuhnya, entah sudah berapa lama ia menangis kesakitan, entah sudah berapa kali pula Kalantha mendapat lumatan di bibir dan payudara miliknya. Tapi sadarkah Kalantha bahwa ia sekarang tengah mendesah kenikmatan?
Leandro semakin mempercepat hujamannya pada tubuh Kalantha, memompanya . dada mereka sudah naik turun akan gairah yang telahberada diujung.
"Ah... Ah.."
Kalantha tak kuat untuk bernafas lagi. Ia terus mendesah sambil meremas rantai besi yang melilit tangannya dengan kuat.
Sedangkan Leandro hanya menggeram, menahan desahan untuk keluar dari bibir seksinya. Satu hal yang tak pernah ia lakukan dalam bercinta, yaitu mendesah.
"Ah..."
Kalantha memekik kala ia merasakan sebuah cairan keluar dari dalamnya bersamaan dengan Leandro. Rasa hangat membanjiri perut Kalantha. Leandro ambruk di atas tubuh Kalantha. Aroma pinus menguar dari mulut Leandro.
Kalantha bingung, kemarin aroma Leandro seperti aroma dupa. Tapi kenapa sekarang bisa seperti pinus. Namun ia tak perduli. Ia hanya perduli pada rasa sakit yang menyerang area kewanitaannya.
Leandro melepaskan rantai yang mengikat Kalantha lalu bangun dan memakai pakaiannya kembali. Ia lalu duduk di samping Kalantha yang masih meringkuk ketakutan.
Sekarang Kalantha tak punya apa-apa lagi. Ia hancur. Pandangannya kembali mengabur oleh air mata. Kalantha merasakan hangat saat sebuah selimut naik menutup tubuhnya. Ia tahu itu ulah Leandro.
"Kenapa?" gumam Kalantha.
"Istirahatlah. Aku tau kau sangat lelah. Kalau ada yang ingin kau bicarakan, tunggu sampai besok."
Leandro bangkit berdiri dan meninggalkan Kalantha. Namun, belum sepenuhnya ia keluar Kalantha menjerit histeris kepadanya.
"KENAPA TAK KAU BUNUH SAJA AKU, BIADAB."
Leandro tersenyum mengejek dan menatap kalantha hanya dengan mimiringkan kepalanya ke belakang.
"Karena kau adalah budakku."
***
"Apa yang kau lakukan bersama dengan dewi itu, Leandro?"
Pertanyaan yang langsung didapat Leandro saat baru memasuki ruang kerjanya. Semua bawahan Leandro sudah menunggu selama sejam namun Leandro tak kunjung datang.
"Bukan urusanmu, Shaila."
Mata Shaila bergerak-gerak mengamati Leandro yang sudah duduk di kursinya. Kini mata Shaila mendadak berubah hitam saat mencium aroma menjijikkan dari tubuh pria itu.
"Baumu menjijikan, Leandro."
Semua orang menatap kearah Leandro. Tidak ada yang paham maksud dari Shaila yang mengatakan raja mereka berbau menjijikan.
Leandro hanya tertawa kecil ketika menyadari bahwa siren itu tengah cemburu padanya. "Kenapa, Shaila? Apa kau cemburu karena aku habis bercinta dengan Kalantha?"
Shaila merasakan kupingnya memanas karena ucapan Leandro barusan yang terlalu vulgar di depan para mentri. Shaila mengepalkan tangannya, mencoba bersikap professional. Namun emosi Shaila kembali memuncak kala mendengar ejekan dari seorang siluman gagak di depannya.
"Kakimu akan berubah menjadi ekor jika kau terlalu tegang seperti itu."
"Tututp mulut kurang ajarmu, Croni."
"Ups. Apa kau memang sedang emosi? Aku pikir yang Mulia Leandro hanya bercanda karena kau adalah temannya dulu. Tapi tampaknya kau benar-benar cemburu. Ha ha ha."
Sontak semua yang ada di situ tertawa karena ucapan mengolok dari Croni. Namun semuanya kembali seperti semula hanya dengan sekali deheman dari Leandro.
"Maafkan saya, yang mulia." Ucap Croni sambil membungkuk.
"Kali ini aku maafkan. Sekarang, beri aku berita yang telah kalian dapat." Perintah Leandra seraya menumpukan pipinya pada kepalan tangan.
"Semuanya berjalan dengan tampak lancar yang mulia. Tidak ada masalah di setiap perbatasan." Ujar salah satu Ogre.
"Membosankan. Apa tidak ada yang lain?" Tanya Leandro.
"Jika hanya berita ini yang ku dapat setiap hari, aku rasa kita tak perlu mengadakan pertemuan setiap malam. Cukup sekali dua hari atau malah sekali seminggu."
"Maaf bila hamba lancang, raja. Tapi benarkah dewi Kalantha akan menerima bantuan dari kerajaan kita?" Tanya seorang mentri lainnya.
"Hm. Itu benar. Aku telah bersumpah untuk membantunya membalaskan dendam pada kaum atas." Jawab Leandro enteng.
"Tapi yang mulia, bukankah itu terlalu berisiko. Ditambah lagi dengan Helios telah bekerja sama dengan kerajaan ayahnya dewi Kalantha sendiri. Sedangkan di bawah ini, kita hanyalah satu-satunya kerajaan yang kuat." Tukas panglima.
"Kalian meragukanku?"
Sontak semua menggeleng. Siapa yang berani meragukan seorang Leandro? Kalian belum tahu seberapa hebat pria itu. Pria itu bahkan tak memiliki kelemahan. Namun mendadak Leandro ingat, ia sudah memilki kelemahan. Sial, bagaimana bisa ia melupakan Kalantha yang sekarang menajadi kelemahan bagi dirinya?
"Kalian bubarlah sekarang. Aku akan tinggal disini sebentar."
Semua yang ada disitu mengangguk dan menunduk hormat sebelum meninggalkan Leandro di dalam. Selang berapa lama, tiba-tiba saja Sergio muncul dari balik pintu.
"Ada apa kau memanggilku kemari?" Tanya Sergio tanpa basa-basi.
"Ada yang ingin kutanyakan padamu."
"Apa ini tentang dewi itu?" Tanya Sergio memastikan.
Leandro mengangguk. "Aku tak tahu apa yang baru saja aku lakukan."
"Memangnya apa yang baru saja kau lakukan?" Tanya
"Aku..." Leandro menggantung kalimatnya. Bingung inginmemulainya dari mana.
"Kau?"
Leandro menarik nafas panjang. Kini ia menatap Leandro yang menatapnya dengan alis terangkat sebelah.
"Aku telah melakukannya. Bersama dia." Ungkap Leandro.
Sergio mengangguk. "Melakukan apa?"
"Stop berpura-pura bodoh, Sergio. Kau paham semua maksud dari kata-kataku." Leandro tampak kesal karena harus meladeni kebodohan gurunya itu.
Sergio tertawa terbahak-bahak. Astaga, ini bukan pertama kalinya bagi Leandro dalam menggagahi seorang dewi. Jadi kenapa wajahnya terlihat seperti itu?
"Apa ada yang lucu di sini?" Leandro bertanya dengan sinis.
"Astaga, Leandro. Apa ini pertama kalinya kau memperawani seorang perempuan? Kau bahkan sudah ribuan kali melakukan hal ini. Jadi apa yang kau takutkan hah?" Tanya Sergio tanpa menghentikan tawanya. Oh, ayolah. Muridnya terlihat begitu menggemaskan saat ini.
"Aku serius, Sergio."
Dan tampaknya itu berhasil membuat mulut Sergio bungkam. Suara Leandro barusan benar-benar dingin dan menusuk sampai ke tulang. Sergio tak akan mengambil jalan kematian seperti ini. Setidaknya ia harus mati sambil memeluk guling atau bersama wanitanya. Bukannya karena dibunuh oleh muridnya sendiri. Itu terdengar sedikit mengerikan.
"Baiklah, lalu bagaimana keadaannya?" Sergio mulai terlihat serius.
"Aku membuatnya terluka. Aku tak menyangka dia benar-benar... perawan." Gumam Leandro.
Sergio menghela nafas panjang. Lihat, betapa tolol muridnya sekarang. "Bukankah aku sudah mengatakannya dari awal kalau Kalantha itu masih perawan. Demi jasad ibuku, kenapa kau tak mempercayaiku? Dia masih begitu muda, Leandro. Dia baru memasuki usia tujuh belas tahun."
"Aku berpikir, mungkin saja dia pernah melakukan suatu hubungan dengan pria lain secara diam-diam."
Sergio mendelik pada Leandro. "Benarkah? Kalau tidak salah kau selalu menjadi bayang-bayang Kalantha kemanapun dia pergi. Lalu bagaimana bisa kau tidak tahu jika ada seseorang yang pernah melakukan hal seperti itu?"
Kini giliran Leandro yang mendelik pada Sergio.
"Oh, ayolah muridku. Aku tahu kau telah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Kalantha. Benar bukan?" lanjut Sergio menggoda Leandro.
"Apa maksudmu?" Leandro menaikkan sebelah alisnya.
"Oh, benarkah. Apa perlu aku menceritakan padamu. Waktu itu aku melihat dari air ajaibku. Seorang pria tengah memperhatikan seorang bayi kecil yang baru saja lahir tepat pada malam purnama. Astaga, pria itu sungguh mengerikan. Bagaimana bisa dia jatuh hati pada seorang bayi yang bahkan masih merah."
Leandro membuang muka. Dia sekarang merasa malu karena ketahuan pernah menyaksikan kelahiran dewi itu. Dan malangnya, ia memang mencintai Kalantha saat mendengar tangisan pertamanya di negri putih itu.
"Bukannya aku ingin merusak perasaanmu atau bagaimana, tapi tampaknya kau sudah tahu dengan peraturan yang berlaku di dunia kita ini. Tidak ada cinta antara dewi dengan iblis. Kau paham itu kan?" Sergio mengingatkan Leandro.
Memang benar, sebuah pelanggaran saat kedua pihak itu menjalin kasih sampai menghasilkan keturunan. Karena bukan hanya mereka berdua yang akan terluka, tapi keturunan merekalah yang akan menjadi korban. Sama seperti kejadian beratus-ratus tahun lalu.
"Aku mengatakan ini agar kau tidak jatuh terlalu dalam dengan dewi itu." ucap Sergio sekali lagi.
Leandro mengangguk lesu. Ia harus mematikan perasaan ini sebelum terlambat. "Kau benar, Sergio. Ini akan jadi masalah besar jika itu sampai terjadi."
"Aku memang selalu benar." Ujar Sergio penuh percaya diri.
"Kau benar-benar membuat kesabaranku habis." Geram Leandro.
"Ha ha ha. Tenanglah, nak. Aku hanya bergurau."
"Kau tidak pandai bergurau."
"Kalau begitu, kembalilah ke kamarmu." Usul Sergio.
"Untuk?"
"Tentu saja meminta maaf padanya." Jawab Sergio enteng.
Leandro melotot tak percaya. "Aku? Yang benar saja. Salah mulut pedasnya yang tak tahu aturan dan sopan santun." Tukas Leandro.
"Macam kau tidak seperti itu." cibir Sergio seraya mendelik pada Leandro.
"Kau terlalu berlebihan, Leandro. Bagaimanapun, Kalantha adalah dewi alam. Dia hidup bebas. Meski dia sering dikurung istananya dulu, tapi ia masih diberi kebebasan untuk bermain di bawah penjagaan elf dan dyrad itu. Belum lagi kau memberi pengalaman pertama yang begitu buruk baginya." ucap Sergio.
"Kau baru saja menceramahiku?"
"Kau bisa mengatakan itu jika kau mau. Oh, ayolah Leandro. Seharusnya kau senang bisa bermain dengan Kalantha. Aku dengar ada begitu banyak dewa yang melamarnya dulu. Tapi sayangnya, ia tak pernah menerima lamaran itu."
"Tapi dia menerima lamaran Helios." geram Leandro.
"Ck, kau bilang kau selalu mengawasinya. Bagaimana bisa kau tahu dengan yang satu itu. Dia jelas-jelas menolak pernikahan dengan Helios. Namun Bacilio memaksanya."
Leandro mendengus. Sebenarnya siapa yang dulu sering mengawasi Kalantha, dia atau Sergio? Kenapa pak tua itu lebih tahu banyak hal tentang Kalantha dibanding dengan dirinya?
"Aku jadi penasaran dengan seberapa hebat Kalantha bermain di ranjang. Sampai kau tak dapat menahan nafsu bejatmu itu. padahal Shaila yang bertubuh molek itu saja kau tolak mentah-mentah." Sergio kembali menggoda Leandro.
"Hentikan mengkhayal tentang tubuhnya, atau aku cincang tubuhmu di atas ranjang. Sudahlah, aku harus pergi. Bicara denganmu tidak ada gunanya. Yang ada aku malah ingin memenggal kepalamu." Desis Leandro lalu berjalan melewati Sergio.
"Kenapa aku tak boleh memikirkannya, Leandro. Bukankah dia hanya seorang budak?" pancing Sergio dengan mengamati Leandro yang terhenti langkahnya.
Lenadro berbalik dengan mata yang telah berkilat merah. Seperti tak suka dengan ucapan Sergio barusan.
"Jangan pernah mulutmu berani mengatakan dia seorang budak."geram Leandri dengan tangan yang telah mengepal.
"Kenapa, bukankah dia memang bersumpah untuk menjadi budak?"
Leandro menyeringai dengan seringai iblisnya. "Tampaknya kau sendiri sudah tahu jawabannya, Sergio. Dia memang bersumpah menjadi budak. Tapi dia bersumpah menjadi budakku. Bukan budak semua iblis. Camkan itu."
"Budakmu, eh." Sergio mengangkat sebelah alisnya dengan ikut menyeringai.
"Budakku."
Kemudian Leandro berbalik meninggalkan gurunya.
"Kau yakin dia hanya akan menjadi budakmu? Entah kenapa firasatku mengatakan hal sebaliknya."
Brak!
Leandro membanting kuat pintu ruang kerjanya karena ejekan Sergio. Ia harus segera menghindar sebelum ia mendengar tawa kemenangan Sergio karena berhasil menggodanya.
tbc