webnovel

Ratu Sejati

Terlahir nyaris sempurna tidak serta merta membuat Regina Shima Atmaja, putri sulung keluarga Atmaja itu bahagia sentosa. Tidak semudah itu. Bahkan banyak sekali tekanan, tuntutan, dan kesulitan yang ia lalui tapi tak terlihat oleh mata orang-orang. Yang masyarakat tau, Regina adalah gadis paling beruntung yang lahir dengan rupa, isi kepala, dan harta yang lebih dari rata-rata. Yang orang-orang tau, Regina adalah gadis bak puteri raja yang terlahir begitu beruntung dan bahagia selamanya. ... Prabu Adhinatha, anak tunggal yang diberi tanggung jawab mewarisi takhta kerajaan bisnis ayahnya itu ingin sekali memiliki kebebasan dalam hidupnya. Sekali saja, tanpa bayang-bayang keluarga dan orangtuanya. Suatu hari dia ditawari sebuah pernikahan. Itu bahkan bukan penawaran tapi perintah. Yang mana tak ada pilihan selain untuk merima. Awalnya, dia pikir hidupnya benar-benar berakhir. Tapi ... setelah dia pikir-pikir justru ini jalan untuknya lepas dan mereguk bahagia. ... Apakah keduanya akan menemukan bahagia yang mereka damba?

etdauncokelat · Urbano
Classificações insuficientes
124 Chs

Balas Budi

Regina menjatuhkan tubuh pria tinggi itu ke ranjangnya.

"Kamu itu makannya apa, sih, Dhi? Berat sekali. Badanku rasanya remuk memapahmu sampai sini," gerutu Regina seraya memijit-mijit lengannya yang pegal. Ditatapnya Adhinatha yang sudah terpejam seraya memeluk bantal miliknya.

Wanita itu mencoba menelepon Darwin. Adiknya itu, sampai sekarang bahkan masih tidak ada kabar. Lantas mau ditaruh dimana pria mabuk ini?

"Masa tidur di kamarku?" Regina geleng-geleng kepala. "Aku tidak mau tidur di sofa. Enak saja!"

Tapi memindahkan Adhi ke sofa jelas bukan hal mudah. Pria itu, benar-benar berat. Regina sudah membuktikannya sendiri.

Regina mendesah lelah. Setelah membuat voice note dan mengirimnya pada Darwin, dia akhirnya membanting pelan tubuhnya pada ujung kasur. Ditatapnya Adhi yang tidur dengan damai.

"Pra ini bisa-bisa mabuk di saat seperti ini." Regina geleng-geleng kepala.

"Apa dia ada masalah?" Regina memiringkan kepalanya. "Dan apa pedulimu, Regina?"

Wanita itu beranjak dari ranjang itu. Dia mau mencuci muka dan sikat gigi. Mungkin dengan bersih-bersih dan memakai skincare rutin, perasaannya akan membaik.

***

Regina sudah keluar dari kamar mandi dan masih mendapati pria yang masih tertidur damai di ranjangnya. Lagi-lagi Adhinatha menjajah kasurnya.

Melangkah mendekat, Regina menghampiri ponselnya guna mengecek apakah ada balasan dari adiknya. Dan kecewalah yang dia dapatnya. Adiknya tidak mengabari sama sekali. Entah apa yang dilakukannya dan dimana keberadaannya.

"Awas saja. Akan aku potong gajinya."

Regina memang punya kewenangan itu. Saat ini, dia masih bisa memegang kendali banyak hal termasuk rekening adik lelakinya itu.

Melempar ponselnya ke kasur, Regina memilih duduk di sofa dan meraih sesuatu dari kopernya. Sebuah macbook. Ya, Regina akan menonton film, apapun yang bisa menghiburnya.

Pilihannya jatuh pada film Ice Age. Film kartun bertema jaman dulu, era zaman Es. Pemeran utamanya seorang Mamooth keras kepala yang cerewet dan kaku. "Ini Adhinatha sekali."

Regina terkikik pelan setelah menyamakan Adhi dengan mamooth yang gendut dan besar itu. Terlebih Mamooth itu pemarah, dan menurutnya itu persis sekali dengan Adhinatha.

Suara rintihan terdengar. Regina buru-buru mengalihkan pandangannya dari layar persegi panjang itu dan menatap pria yang tengah meringkuk dengan mata terpejam itu. Terdengar suara bisikan yang samar yang Regina yakini berasal dari pria itu.

Jadi dengan segenap rasa ingin tahu yang membuncah, dia menaruh macbooknya dan mendekat pada Adhi.

Suara itu kian jelas begitu Regina berdiri di sisi ranjang. Mata pria itu terpejam, terlihat tengah tertidur tapi bibirnya tak henti-hentinya menggumamkan sesuatu.

"Adhi?" Pria itu masih merintih dan menggumam.

"Maaf. Maafin aku, Ri. Maaf."

"Ri? Ri siapa, Dhi?" Regina berusaha mengguncangkan bahu pria itu tapi nihil. Bukannya bangun, Regina justru mendapati pria itu memunggunginya.

Wanita itu mengumpat karena diberi punggung pria itu.

"Sebenarnya dia berbuat salah pada siapa, huh? Sampai-sampai terbawa mimpi begitu."

Regina geleng-geleng kepala. Langkah kembali membawanya duduk di sofa panjang dan kembali berkutat pada macbooknya. Tayangan film itu masih menarik di matanya dan dia ingin menonton dengan fokus dan khidmat.

Sepanjang film berlangsung, Regina lambat laun mengantuk dan akhirnya memejamkan matanya.

***

Dering ponsel membuat pria yang tengah berbaring di ranjang itu membuka matanya perlahan. Silaunya lampu yang langsung menyorot matanya tanpa ampun itu membuat Adhi mengernyit. Pria itu menyipitkan pandangannya, berusaha bangun walau rasanya pusing luar biasa.

Dia sedikit disorientasi sesaat begitu mengenali ruangan ini. "Ah, aku masih di kamar wanita itu," gumamnya seraya meremas kepalanya yang masih terasa begitu pusing.

"Kenapa aku sampai mabuk, sih?" Dia kesal sendiri karena tidak bisa menahan keinginannya untuk minum hingga mabuk.

"Dan siapa yang membawaku ke sini?" Pria itu bertanya-tanya. Mengedarkan pandangannya, Adhinatha akhirnya menemukan sosok yang kemunculan besar membawanya ke sini.

Regina, tengah tertidur di sofa. Posisinya setengah duduk, kepala sedikit mendongak dengan menyandar penuh pada sandaran sofa. Bibirnya terbuka sedikit, sama sekali tidak ada anggun-anggunnya sama sekali.

"Kenapa dia tidur di sana, coba?"

Dan masih dalam keadaan bertanya-tanya, Regina dikejutkan oleh dering ponsel yang tadi sempat membangunkannya.

Dia mencari-cari ponselnya, tapi tidak ada panggilan sama sekali. Jadi pandangannya mengedar guna mencari sumber suara, dan ketemu. Rupanya ponsel Regina yang sejak tadi berbunyi nyaring.

Ponsel itu di bibir ranjang, sedikit lagi terjatuh kalau saja tertendang. Ada nama Darwin yang muncul di sana. Dan seingatnya, Darwin itu adiknya Regina. Jadi, tanpa ragu diangkatnya panggilan itu.

"Halo, Kak? Maaf. Aku baru sampai di kamar, nih. Mas Adhi jadi menginap di sini?" tanya suara di seberang sana.

"Jadi, Win."

Hening sesaat yang Adhi yakini kalau pria itu cukup terkejut.

"Kok yang angkat Mas Adhi?"

"Kakakmu sedang tidur. Jadi, aku ke sana sekarang?" tanya Adhi yang dibahas gumaman pelan.

"Baiklah. Aku akan ke sana segera. Kamarmu di sebelah kamar ini persis, bukan?" tanya pria itu memastikan.

"Iya. Kamar nomor lima."

Adhi mengangguk, menutup panggilan itu setelah mengucapkan terima kasih. Menarik napas panjang, mengumpulkan segala kesadarannya, Adhi turun dari kasur.

Dia meraih kopernya. Bersiap pergi dari kamar itu. Namun, saat dirinya sampai di pintu, kepalanya menoleh menatap Regina. Sedikit tidak tega rasanya melihat wanita itu tertidur dengan posisi duduk begitu. Adhi pernah merasakannya, dan itu sangat tidak nyaman.

Dia berani menjamin Regina akan terbangun dengan badan terasa remuk semua dan leher yang rasanya kaku luar biasa.

Regina juga sudah berjasa membawanya ke sini, bukan? Jadi apa salahnya kalau dirinya sedikit membantu?

Dilepasnya pegangannya pada handel koper. Dia menatap sekilas pasa macbook wanita itu. "Ice Age?" Pria itu tersenyum geli melihat tontonan tunangannya itu.

"Tidak ada tayangan yang lebih dewasa, hum?" Jemari pria itu menari pada touchpad guna menutup tayangan film itu. Dimatikannya benda segi empat itu dan ditutup.

Setelah selesai urusan macbook, pria itu beralih pada Regina yang masih bisa tidur dengan nyenyaknya.

Pria itu menyusupkan lengan kanannya di belakang leher Regina, sedangkan lengan satunya dia susupnya di bawah lutut wanita itu. Dalam sekali gerakan diangkatnya wanita itu dalam gendongannya.

Rupanya tubuh wanita itu sangat ringan. Adhi bahkan bisa mengangkatnya dengan mudah. Melangkah hati-hati, pria itu membawa Regina menuju ranjang yang dia tiduri barusan dan membaringkannya di sana.

Adhi diam sebentar guna melihat wajah polos Regina yang tengah tertidur. Dan entah dorongan darimana, pria itu bergerak menempelkan bibirnya pada kening wanita itu.

"Terima kasih sudah mengurusku tadi," bisiknya pelan belum beranjak dari posisinya. "Dan maaf. Maaf karena aku membuatmu terjebak dalam situasi sulit ini, Regina."