webnovel

Ratu Sejati

Terlahir nyaris sempurna tidak serta merta membuat Regina Shima Atmaja, putri sulung keluarga Atmaja itu bahagia sentosa. Tidak semudah itu. Bahkan banyak sekali tekanan, tuntutan, dan kesulitan yang ia lalui tapi tak terlihat oleh mata orang-orang. Yang masyarakat tau, Regina adalah gadis paling beruntung yang lahir dengan rupa, isi kepala, dan harta yang lebih dari rata-rata. Yang orang-orang tau, Regina adalah gadis bak puteri raja yang terlahir begitu beruntung dan bahagia selamanya. ... Prabu Adhinatha, anak tunggal yang diberi tanggung jawab mewarisi takhta kerajaan bisnis ayahnya itu ingin sekali memiliki kebebasan dalam hidupnya. Sekali saja, tanpa bayang-bayang keluarga dan orangtuanya. Suatu hari dia ditawari sebuah pernikahan. Itu bahkan bukan penawaran tapi perintah. Yang mana tak ada pilihan selain untuk merima. Awalnya, dia pikir hidupnya benar-benar berakhir. Tapi ... setelah dia pikir-pikir justru ini jalan untuknya lepas dan mereguk bahagia. ... Apakah keduanya akan menemukan bahagia yang mereka damba?

etdauncokelat · Urban
Not enough ratings
124 Chs

Salah Paham Lagi

Regina terbangun dengan sedikit kebingungan. Ini masih kamar tidurnya, tempat dirinya menginap mala mini. Tapi kenapa di kasur? Bukan si sofa seperti saat Regina tertidur semalam. Regina yakin kalau dirinya tertidur saat menonton film. Lantas kenapa saat bangun sudah berpindah ke ranjang?

"Apa aku tidur sambil jalan?" tanya Regina pada dirinya sendiri.

Wanita itu menggeleng tegas. "Tidak mungkin. Sejak kapan aku bisa tidur sambil jalan. Tidak masuk akal."

Regina meraih ponselnya dan betapa terkejutnya dia saat menemukan jam sudah menunjukkan pukul delapan.

Gedoran pintu di depan sana terdengar membuat Regina tersentak. Buru-buru dihampirinya pintu tiu dan dia langsung menemukan Adhi dan Darwin yang sudah siap dengan setelan rapi.

"Kak? Kamu baru bangun?" tanya Darwin tidak percaya.

"Ini sudah jam berapa, astaga!"

"Maaf, aku kesiangan."

"Orang-orang sudah berkumpul lho, Kak. Astaga."

Regina ingin menangis rasanya. Dirinya sudah panik, tapi Darwin justru menambah kepanikannya juga rasa bersalah yang kentara.

"Ya sudah kalian duluan saja. Aku menyusul." Regina berujar pelan seraya masuk kembali ke kamarnya dan meraih handuk dengan terburu-buru.

Dua pria itu saling tatap sesaat lalu Darwin meghela napas lelah. "Dia mana berani menyusul sendirian. Pasti yang ada dia akan menyuruh kita kembali ke sini untuk menjemputnya. Lagu lama." Kalimat Darwin membuat Adi tersenyum kecil.

"Pergilah duluan. Biar aku yang menunggunya," perintah pria itu membuat Darwin menatapnya tidak percaya.

"Kamu serius, Mas?"

"Iya. Aku serius. Biar aku yang menunggui Regina saja. Kamu duluan saja." Darwin terlihat sungkan mau menerima tawaran Adhi itu. Tapi datang terlambat juga tidak baik. Eza sudah mewanti-wanti sejak kemarin soalnya.

"Baiklah, Mas. Kalau begitu titip Kak Gina, ya? Aku duluan."

Sedikit berlebihan memang. Tapi Darwin benar-benar tulus saat berujar begitu. Dan mengerti dengan situasi ini, Adhi pun mengangguk mengerti. Keduanya saling melempar anggukan sebelum Darwin benar-benar meninggalkan kamar itu guna pergi duluan.

Adhi masuk ke kamar itu tanpa permisi. Langkahnya membawanya pada balkon, tempat yang sejak kemarin menjadi spot favoritnya mencari angin. Apalagi ini pagi, udara berkali-kali lipat lebih sejuk dan segar dari saat sore.

Suara pintu terbuka membuat pria itu spontan menoleh dan menemukan Regina keluar kamar mandi hanya dengan lilitan handuk. Wanita itu berjalan terburu-buru, sampai tidak menyadari keberadaan Adhi yang di luar dan melihatnya melalui jendela kaca yang transparan itu.

Pria itu kian panik saat Regina hampir saja melepas handuk itu. Jadi dengan langkah cepat dia kembali masuk ke kamar dan membuat Regina sontak menjerit kencang.

"Apa yang kamu lakuin di sini, sih?" kesal Regina yang sudah keluar kamar mandi dengan pakaian lengkap.

"Aku menunggumu. Biar kamu ke sana tidak sendirian." Adhi berusaha memberi penjelasan agar Refina tidak salah paham. Tapi namanya Regina, terlebih sudah terbawa emosi juga panik, mana mau dia berusaha mencerna penjelasannya pelan-pelan?

"Terus kenapa sembunyi?" Regina masih berusaha mencecar pria itu membuat Adhi membelalakkan matanya mendengar tuduhan yang sama sekali tidak benar itu.

"Sembunyi? Jangan asal menuduh! Aku tidak sembunyi!" balas Adhi tidak terima.

"Lalu apa kalau bukan sembunyi? Jelas-jelas kamu di sana, menyembunyikan keberadaanmu dari padangan mataku, Adhi!"

Pria itu mengacak rambutnya frustasi. "Aku menunggumu sambil mencari udara segar. Terserah kalau tidak percaya." Adhi menyerah menjelaskan posisinya pada Regina. Berdebat dengan wanita itu melelahkan sekali, Adhi sudah pernah membuktikannya.

"Kenapa menungguku?" Lihat? Wanita itu masih belum menyerah mencecar Adhi. Dan pria itu mendesah pasrah.

"Biar kamu tidak sendirian. Kata Darwin, kamu paling malu datang sendirian, bukan?" Ini usaha terakhirnya, Benar-benar terakhir. Nanti, kalau wanita itu masih mau keras kepala, Adhi tidak akan segan meninggalkannya dan pergi duluan. Masa bodoh dengan rasa kasihan yang sejak awal memicunya untuk menunggu wanita itu bersiap.

Regina sudah mau menjawab lagi tapi ucapannya tertahan karena Adhi buru-buru memotongnya. "Kamu akan membahasnya terus? Mau sampai siang? Dan kamu tidak jadi datang ke pernikahan temanmu itu?" kalimat yang tegas juga menohok itu membuat Regina akhirnya menyerah.

"Baiklah. Kita cukupkan saja bahasan ini. Aku mau bersiap dulu."

Regina bangkit berdiri, menghampiri meja, dia mulai merias wajahnya dengan make up sederhana. Konsepnya hari itu adalah flawless. Make up yang tampak natural dengan menonjolkan warna-warna nudes itu terlihat begitu cocok dengan dress warna salem yang memang merupakan dresscode hari itu. Rambutnya dia kepang dengan jepitan bunga-bunga yang membuat penampilan Regina kian manis.

Segala pergerakan itu tidak lepas dari pandangan Adhinatha yang terus menatapnya tanpa berkedip. Dari mulai mengenakan pelembab sampai finishing dengan memoles bibir dengan warna teraccota, pria itu benar-benar tidak mengalihkan pandangannya. Dia cukup takjub melihat betapa lihai jemari itu menari di wajah mengaplikasikan berbagai produk kecantikan.

"Aku siap." Wanita itu beranjak, meraih tas tangannya juga ponsel dan dompetnya. Ditatapnya Adhi yang juga menatapnya itu.

"Ayo." Regina mengajak pria itu untuk segera bertolak menuju tempat janji suci itu diadakan.

Mereka datang tepat saat petugas KUA datang dengan tas berisi berkas-berkas. Regina bersyukur sekali karena dia tidak ketinggalan moment sacral itu.

Si wanita sibuk takjub dengan mempelai yang begitu cantik dan tampan, Adhi malah sibuk menatap dekorasi pernikahan bertema hutan itu. Dia benar-benar terkesima dan jatuh cinta dengan segala dekorasi yang menyulap hutan ini menjadi tempat pernikahan yang indah juga manis.

"Aku suka konsep dekorasinya. Mungkin aku perlu juga membuat konsep semacam ini untuk paket wedding di hotelku."

"Hotelmu tidak berada di hutan, Adhi. Jangan aneh-aneh."

"Itu masih bisa diakali. Hotelku yang di Jogja kan dekat hutan," balas Adhi sama berbisiknya.

Regina benar-benar heran dengan cara pikir pria itu. Mereka bahkan di tengah cara pernikahan. Di depan sana, Eza tengah mengucapkan janji sucinya di depan semua orang. Suasana benar-benar sacral tapi seorang Adhinatha masih saja memikirkan bisnisnya? Benar-benar tidak habis pikir Regina dibuatnya.

Acara peresmian hubungan kedua manusia itu berjalan lancar diikuti sorakan penuh gembira dari saksi-saksi pernikahan itu, Tidak terkecuali Regina. Wanita itu bersama Adhi ikut berdiri seperti yang lain, ikut bertepuk tangan menyoraki keberhasilkan sepasang manusia itu melewati satu langkah besar di kehidupan mereka.

Regina benar-benar terharu, sahabatnya itu akhirnya menemukan tambatan hatinya. Bisamemulai hidup bahagia bersama yang dicinta. Ah, Regina iri. Apakah dia bisa merajut Bahagia dengan pria di sebelahnya? Pernikahan mereka nantinya saja dilandasi Kerjasama, bagaimana bisa meraup Bahagia kalau dasarnya saja bukan cinta?

Ah, Regina pusing kalau memikirkan itu. Dia hanya akan menjalani sebisanya. Urusan nanti biar Tuhan yang aturkan semesta. Semoga sih berpihak padanya, karena jujur Regina mendamba hahagia walau sifatnya sementara.

Semoga. Semoga.