Sementara itu ditempat lain, tepatnya di sebuah gedung Klinik tempat praktik bersama beberapa psikolog dan psikiater, Raissa dan Aditya bergandengan menuju lift untuk naik ke lobby dari parkiran basement gedung tersebut. "Mas, tidak apa-apa menemani ku? nanti kalau ada yang lihat bagaimana?"tanya Raissa gelisah sambil menengok kanan dan kiri. "Tenang saja sayang, tidak akan ada yang melihat kita disini, kalaupun ada, mereka pasti akan tutup mulut daripada mengakui melihat kita disini, karena artinya mereka harus ada disini. Beberapa orang masih menganggap pergi ke psikolog atau psikiater itu sesuatu hal yang tabu atau memalukan, bahkan menakutkan." kata Aditya enteng. "Iya juga ya, mereka pasti takut di cap tidak waras. Tapi tetap saja aku merasa tidak aman Mas." kata Raissa. "Maaf ya Sa, gara-gara permintaanku dulu, kau jadi gelisah setiap kali bersamaku. Tapi jangan khawatir, sebentar lagi topeng atasan bawahan kita bisa dilepas lohh.. rencana ku sudah 99% rampung. Bahkan, secara tidak langsung, aku seharusnya berterimakasih padamu dan Asih." kata Aditya sambil menekan tombol lift. "Oh? kenapa memangnya?" tanya Raissa heran. "Karena Asih ditemukan di tanah kosong incaranku, harga tanah itu anjlok. Langsung kusambar kesempatan dalam kesempitan itu. Proyek Bhagaskara Medika menjadi RS Bhagaskara Medika akan segera berjalan." kata Aditya sambil nyengir senang. "Wah Selamat mas! Apa nanti namanya tetap Bhagaskara Medika?" tanya Raissa. "Nanti kita lihat, sebenarnya aku ingin menghilangkan Bhagaskara, tapi aku belum dapat nama yang baru." kata Aditya. "Bhagaskara kan nama keluargamu Mas? kenapa harus diganti?" tanya Raissa. "Karena aku tidak ingin terus dibayangi embel-embel nama keluarga Bhagaskara. Kalau jadi Aditya Medika bagus tidak?" tanya Aditya serius. "Jelek!" kata Raissa langsung. "Maksudmu namaku jelek?" kata Aditya melotot. "Kalau ditambahin Medika, ya jadi jelek Mas, kesannya maksa banget!" kata Raissa sambil tertawa. "Uh! memangnya kamu punya usul nama yang bagus?!" tantang Aditya. "Punya dong!" jawab Raissa cepat. "Oya? apa?" tanya Aditya takjub. "ummm.. aku pikir-pikir dulu ya.." kata Raissa sambil nyengir. "Dasaaarr... kirain udah punya nama! udah mau kagum nihh!" kata Aditya sedikit kesal dikerjai Raissa. "Kagum aja, gak ada yang larang kok.. hahahaha!" kata Raissa lalu tertawa lepas. Aditya ikut tertawa lalu merangkul Raissa keluar dari lift ketika pintunya terbuka. Tawa Raissa terhenti melihat Briptu Agus dan Briptu Shinta menunggu mereka di ruang tunggu yang kebetulan berseberangan dengan lift. Ia teringat lagi mengapa ia harus datang kemari dan seketika menjadi gugup. Aditya meremas pundak Raissa dan menggiringnya menemui dua polisi tersebut.
"Pagi dek, sudah siap? tenang saja, Abang jamin,dokternya baik kok." kata Briptu Agus tetap dengan panggilan Abang adeknya, membuat Aditya mendelik kesal padanya. "Dokternya galak pun aku tidak masalah Briptu, aku hanya tidak suka mengingat kembali kejadian malam itu." kata Raissa. "Oh, maaf ya dek, membuatmu mengingat-ingat peristiwa malam itu, tapi kami butuh jawaban mendetail supaya bisa menangkap si buronan licin itu. Demi menegakkan keadilan!!" kata Briptu Agus sambil mengepalkan jari di depan mukanya. Briptu Shinta yang mulai jengah dengan sikap rekannya akhirnya mengambil alih. "Raissa, dr. Agustine sudah menunggu, silahkan masuk. Kami akan mengamati kalian dari ruang observasi. Pak Aditya boleh ikut kami, tetapi mohon tidak mengeluarkan komentar apapun." katanya tegas. "Terimakasih Briptu Shinta." kata Aditya lalu menoleh ke Raissa. "Kamu bisa sayang..tenang saja, Ayo kita tanggap si topi biru. Jangan takut ya.." kata Aditya sambil mendekap Raissa. Raissa tersenyum lalu mengangguk. Ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya. "Siap?" tanya Briptu Shinta. "Siap!" kata Raissa sedikit terlalu keras. Raissa pun maju dan memasuki ruangan dokter Agustine. Sedangkan Briptu Shinta, Briptu Agus dan Aditya memasuki ruangan di sebelahnya yang ternyata sudah dilengkapi dengan monitor dan pengeras suara untuk mengamati dan mendengar langsung interaksi dokter dan pasien di ruangan sebelah. Ketiganya duduk mengamati Raissa yang memasuki ruangan dokter.
"Selamat Pagi dok, saya Raissa." Kata Raissa. Sambil menyalami dokternya, Raissa memperhatikan wanita di depannya, wanita didepannya ini, berpenampilan santai, rambut keriting tanpa smoothing, hanya ditahan dengan dua jepit disisi kanan kiri agar rambutnya tidak jatuh ke depan, celanaku cargo berwarna kaki, turtle neck berwarna hijau lumut yang ditutupi jas dokter putih dengan lengan dilipat hingga ke siku, sepatu mirip sepatu safety terlihat berat di setiap langkahnya, tangan yang disalaminya terbungkus sarung tangan latex yang biasanya digunakan dokter bila akan melakukan tindakan, dan wajah dokter Agustine pun seperti tidak asing baginya. Dokter itu hanya tersenyum melihat Raissa memperhatikannya. "Pagi Raissa, senang bertemu denganmu. Tidak usah terlalu ?formal, anggap saja aku temanmu, panggil saja aku Agustine, ayo..sini.. duduk sini.." kata Agustine sambil menunjuk kursi didepannya yang terlihat nyaman. "Mmm.. terimakasih dok..ehmm.. Agustine.. apa kita pernah ketemu sebelumnya ya?" tanya Raissa penasaran. Agustine tersenyum, "kenapa? merasa tidak asing lagi ya.?" tanyanya. "Bagaimana kalau aku bilang seperti ini.. Dek, mau makan malam sama Abang dek?" kata Agustine menirukan seseorang. Raissa menaikan alis lalu berseru, "Briptu Agus? Agustine? kalian saudara?"
Di ruangan sebelah Aditya juga melakukan hal yang sama pada Briptu Agus. " Bukan nepotisme, dia dokter yang handal dan kredibel dalam kasus ini. Shin, bilang Shin.." kata Briptu Agus membela diri sambil meminta bantuan Briptu Shinta untuk menjelaskan, tetapi perhatian Aditya sudah terpaku pada layar monitor kembali.
"Agus itu kembaranku. Dia 20 menit lebih muda dariku." jelas Agustine. Raissa masih takjub. "wow.. Briptu Agus kembar!"
"tenang.. aku tidak terlalu menjengkelkan seperti Agus, dia kadang terlalu memaksakan kehendak!" kata Agustine. Raissa tertawa mengingat semua usaha gigih Briptu Agus. "Duh, ketawanya lepas banget, kayaknya pengalaman nih mendengar paksaan adik kembarku." goda Agustine. Raisa hanya cengengesan saja tanpa menjawab. "Baiklah kalau begitu langsung kita kebagian inti saja ya.. Sudah pernah dengar tentang hipnoterapi?" tanya Agustine. "Sudah, tapi aku lebih sering dengarnya digunakan untuk orang berhenti merokok, kecanduan narkoba atau alkohol, mengatasi phobia, gitu deh.." jawab Raissa. "Ya, betul! dan sekarang yang akan kita lakukan adalah mencoba menggali ingatanmu. Jangan kuatir.. aku tidak akan mengorek-ngorek rahasia terdalammu! sumpah!" kata Agustine mengangkat dua jarinya. "Baiklah aku percaya, silahkan dimulai, saya siap ... mudah-mudahan.. heheheh.." kata Raissa. "Santai saja yaa.. rilekss..." kata Agustine. Agustine membimbing Raissa ke alam bawah sadarnya dengan disaksikan oleh Aditya dan kedua aparat kepolisian, Agus dan Shinta. Mereka melihat bagaiman Raissa yang akhirnya merasa rileks bahkan mengantuk, akhirnya ia pindah ke sofa panjang dan tiduran disana, sambil terus menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan Agustine. Briptu Agus dan Briptu Shinta sibuk mencatat keterangan Raissa, sedangkan Aditya hanya diam mengamati. Raissa menceritakan kejadian yang dia ingat malam itu baik secara sadar maupun tidak. Agustine berusaha mengajak Raissa untuk lebih fokus kepada keadaan sekelilingnya. Bukan hanya fokus dengan Asih.
"Raissa, kita kembali ke ketika kamu baru keluar dari gerbang belakang gedung. Apa yang kamu lihat?" tanya Agustine. "Mmm, aku menyesuaikan pandanganku dari gedung parkir yang terang ke jalan di luar yang remang-remang bahkan cenderung gelap. saat ini aku hanya melihat siluet-siluet gerobak dan lapak pedagang kaki lima yang sudah tutup." jawab Raissa. "Baikk, lalu apa yang kamu dengar?" tanya Agustine. "mmmm.. suara deru kendaraan di ujung jalan, jauh dan pelan, mmm.. Tidak ada lagi.." jawab Raissa. "okee, sekarang apa yang kamu cium, bau apa?" tanya Agustine kembali. "hmmm.. bau khas parkiran mobil masih tercium, udaranya lembab, baunya.. mmmhh tunggu ada bau asap rokok!" jawab Raissa. "Siapa yang merokok, bisa kau lihat? apakah satpam?" tanya Agustine. "Tidak, aku tidak melihatnya. Tidak ada satpam karena pintu keluar sudah memakai palang otomatis. Aku tidak menemukan siapa yang merokok. Tidak ada siapapun disitu." jawab Raissa. "Siapapun?" Tanya Agustine. "Ya, semua diam, anginpun tak ada!" Jawab Raissa. "Lalu ketika kau dipukuli Asih, apakah ada pergerakan selain Asih?" Tanya Agustine. "Mmhh.. aku tidak tahu.. aku hanya mencari jalan supaya bisa terbebas dari pukulan Asih, aku mencoba melihat ke segala arah tetapi tidak kulihat apapun, akhirnya aku menunjuk sembarang saja, kutinjyk ke arah semak semak! Menyuruh Asih kesana karena dipanggil suaminya! Eh.. ada pergerakan disana ketika kutunjuk! Seperti ada orang berdiri Agustine, tapi aku tidak terlalu jelas melihatnya, tadi tidak ada siapa-siapa!" Seru Raissa dengan defensif. Agustine mengangguk, lalu meneruskan ke pertanyaan-pertanyaan lain, hingga akhirnya ia menyuruh Raissa bangun.
"Fiuhh, lelah juga ya hipnoterapi ini!" Kata Raissa sambil mengusap keningnya yang basah oleh keringat. "Memang menguras tenaga dan emosimu Raissa." Jawab Agustine sambil tersenyum dan menyodorkan tissue pada Raissa. Raissa meraih tissue yang disodorkan Agustine. "Jadi bagaimana menurutmu?" Tanya Raissa. "Kita langsung saja ya Sa, aku sudah melakukan apa yang kubisa untuk mengeluarkan memorimu mengenai malam itu, semoga adikku dan rekannya dapat melihat petunjuk di dalamnya. Sedangkan mengenai dirimu, kamu masih dikuasai rasa bersalah yang kuat. Aku mengagumi dirimu sebagai seorang perawat yang tidak menaruh dendam pada Asih karena kamu tahu dia sakit. Tak ada yang menyalahkan mu atas kematiannya. Kamu harus berdamai dengan dirimu, rasa bersalah itu akan membahayakan seperti kanker yang menggerogoti tubuhmu." Kata Agustine. "Aku tahu, tapi aku tetap merasa kalau itu salahku, akulah yang mengirimnya ke semak-semak itu, langsung ke tangan seorang pembunuh. Seharusnya Asih tidak mati! Apakah ada terapi untuk mengurangi rasa bersalah ini?" Tanya Raissa. "Boleh saja kalau mau melanjutkan sesi denganku, tapi kuingatkan.. sesi selanjutnya tidak gratis loohh..hehehe.."kata Agustine sambil bercanda. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin terbebas dari perasaan bersalah ini." Kata Raissa. "Aku mengerti Sa, cobalah kamu juga berbicara pada orangtuamu,pacarmu atau sahabat-sahabatmu, supaya kamu juga punya pendukung. aku yakin mereka semua mendukungmu." Kata Agustine. "Ya, terlebih Mamah, kami sudah seperti dua sahabat tak terpisahkan dahulu, tetapi sejak aku bekerja di ibukota, hubungan kami agak terpisahkan jarak, menelepon pun hanya seminggu sekali, walaupun selalu berkirim pesan setiap hari." Kata Raissa. "Nah, mengenai orangtuamu, kamu mungkin harus segera menelepon mereka. Firasatku tak pernah salah, mereka ingin bicara denganmu." Kata Agustine tiba-tiba. "Maksudnya? Memangnya ada apa dengan orangtuaku?" Tanya Raissa heran. "Telepon sajalah, kau akan tahu!" Kata Agustine setengah mendesak. Raissa mengangguk lalu mengambil tasnya. "Baiklah kalau begitu aku pamit dulu, aku akan buat janji temu untuk sesi terapi selanjutnya, siap-siap saja mendengar rengekan dan tangisanku. Sampai jumpa Agustine, senang berbicara denganmu, langsung plong kayak permen bolong hehehehe.." kata Raissa. "Dengan senang hati Sa, jangan sungkan-sungkan! Keluarkan saja semua uneg-uneg yang ada!" Kata Agustine sambil melambai pada Raissa yang sudah berjalan ke pintu. Raissa balas melambai lalu keluar dari ruangan, ternyata di luar Aditya sudah menunggunya. Tangannya direntangkan, Raissa langsung masuk dalam pelukannya. Briptu Agus dan Briptu Shinta harus memutari kedua sejoli itu untuk masuk ke ruangan Agustine, Briptu Agus sudah hendak mengucapkan sesuatu ketika Briptu Shinta menyikutnya dan menyeret Briptu Agus masuk ke ruangan saudara kembarnya.
Aditya hanya tersenyum tipis, berterimakasih pada Briptu Shinta yang memberi mereka waktu, Raissa sangat membutuhkan pelukan ini sebagai bentuk dukungannya pada Raissa. Mendengar peristiwa itu diceritakan secara detail membuat Aditya merasakan amarah sekaligus tak berdaya, dan ia merasa ia juga butuh memeluk Raissa.
"Terimakasih mas. Tahu aja apa yang paling aku butuhkan!" Kata Raissa sambil mendongak. Aditya mengusap rambut Raissa, "Apa sih yang nggak buat kamu! Nanti biaya terapimu biar aku yang bayar yaa.. jangan menolak! Aku butuh melakukannya untukmu." Kata Aditya. Raissa yang tadinya hendak menolak akhirnya hanya mengangguk. Aditya menggenggam jemari Raissa dan menuntunnya ke arah lift. "Aku diminta segera menelepon Papah dan Mamah, menurutmu firasat Agustine itu benar kah?"tanya Raissa. "Briptu Agus bilang, kembarannya itu punya Indra keenam, kadang benar kadang salah. Nanti sampai di mobil telepon saja orangtuamu, toh kita juga akan mengabari mereka tentang sesi hari ini kan?"kata Aditya. "Oh begitu rupanya, baiklah, hebat juga ya, aku belum pernah bertemu dengan orang yang punya Indra keenam seperti itu." Kata Raissa. "Kalau yang bisa meramal masa depan sih aku juga belum pernah, tapi Indra keenam manusia itu banyak loh, ada yang punya insting bisnis tinggi, apapun yang diperbuatnya berhasil. Aku melihatnya di paman Arganta, sejengkel-jengkelnya aku padanya, tetapi kalau soal bisnis dia susah dilawan. Aku juga bingung kenapa bisa berhasil padahal cara yang dibuat hampir sama dengan orang lain." Kata Aditya. "Iya ya, benar juga. Baiklah kalau begitu aku akan segera menelepon orangtuaku nanti begitu kita sampai di mobil." Kata Raissa. Aditya mengangguk dan membimbing Raissa masuk ke dalam lift yang sudah terbuka pintunya.