webnovel

Ancaman Dewi

"Bagaimana Raissa? Cantik kan? Cocok gak sama aku?"tanya Briptu Agus pada Agustine begitu ia memasuki ruang kerja kakaknya itu. "Cantik, cerdas, baik hati, tapiii... Bukan jodohmu Gus!" Kata Agustine. Briptu Shinta tertawa, "Nyerah Gus..Nyerah!!" Kata Shinta sambil tertawa. "Yahh.. benerin Tin? Kamu gak lihat aku sama Raissa bersatu Tin? Salah lihat kali kamu Tin!" Kata Briptu Agus sedikit merajuk." Eh ni anak dibilangin.. gak jodoh kalian.. paling mentok jadi teman, sudah itu saja. Tapi ada yang harus diperhatikan!" Kata Agustine dengan muka yang tiba tiba serius. Kedua polisi itupun mendengarkan dengan seksama. "Aku melihat Raissa memang diincar oleh si pembunuh yang kau cari selama ini, tapi orang ini sebenarnya tidak membahayakan Raissa, paling tidak saat ini ya.. dari yang kulihat, si topi biru terobsesi dengan Raissa, justru orang di sekitar Raissa lah yang terancam keselamatannya. Aku khawatir dengan keselamatan pacarnya. Bagaimana mungkin si topi biru selama ini tidak mengetahui status Aditya?" Agustine mengerutkan kening. "Mereka merahasiakan hubungan mereka, status mereka adalah atasan dan bawahan, kurasa mereka tidak ingin menimbulkan skandal di kantor." kata Briptu Shinta. "Ya, mereka sudah menjalin hubungan beberapa lama, aku saja tidak tahu, aku patah hati!" kata Briptu Agus dramatis. "Pantas saja! selama hubungan mereka masih rahasia, Aditya akan tetap selamat. Dan kau Agus!! hati-hatilah! Aku menangkap kilasan penglihatan kalau kau juga akan berada dalam posisi yang membahayakan dengan si topi biru ini, tetapi masih kabur.. biasanya kalau penglihatanku kabur seperti ini, masih bisa dicegah kejadiannya. Hati-hatilah, walaupun kau menjengkelkan, aku tetap tidak ingin kehilangan saudara kembarku!" kata Agustine. "Tenang saja, aku selalu hati-hati. Lagipula ada rekanku yang selalu menjagaku, iya kan!" kata Briptu Agus pada rekannya. "Pasti, tapi tetap hati-hati sajalah kau! kakakmu selalu benar penglihatannya!" kata Briptu Shinta. "ckckck... padahal dulu dia tidak percaya padamu loh Tin, dia pikir kau ini palsu, hehehe.." bisik Briptu Agus pada Agustine dengan keras. "Kau ini!!" kata Briptu Shinta dengan muka memerah dan tangan seolah olah hendak memukul Briptu Agus. "Hahaha.. tidak apa-apa Briptu Shinta, sudah biasa.. makanya saya jadi psikiater saja, kalau agak nyentrik sedikit kan orang maklum, namanya juga psikiater hehehe.." kata Agustine sambil tertawa. "Ah.. ya sudah kalau begitu, ayo kita cek lagi TKP, setelah mendapat petunjuk dari Raissa, siapa tahu ada petunjuk yang tertinggal di TKP." kata Briptu Shinta mengalihkan perhatian. "Pergilah Gus! aku masih ada janji temu dengan pasien." kata Agustine. Kedua polisi itupun akhirnya pamit meninggalkan Agustine dengan pasien-pasiennya.

Sementara itu, di Bandung, tepatnya Parongpong, tempat orangtua Raissa tinggal. Sebuah mobil sedan Mercedes Benz kelas C berwarna hitam melintas di depan rumah. Awalnya Renny tidak memperhatikannya, tetapi ketika Hardian suaminya itu membicarakannya, mau tak mau Renny ikut memperhatikan. Maklum saja Renny bukan penggemar otomotif seperti Hardian. "Mah, itu Mercedes ngapain dari tadi mondar mandir depan rumah, ckckckck.. bagus banget mobilnya, kapan ya Papah bisa punya mobil kayak gitu." kata Hardian Papah Raissa. "Manaaa? masa mondar-mandir? baru juga lewat sekali? lagian ngapain pagi-pagi mobil bagus kayak gitu mondar-mandir disini." kata Renny Mamah Raissa. "Hmmm, mungkin kesasar." kata Hardian sambil terus memperhatikan jalan berharap Mercedes tersebut muncul kembali. "Mah.. Mah.. muncul lagi Mah!" seru Hardian, mau tak mau Reny pun ikut memperhatikan dari jendela. Keduanya heran mengapa mobil itu mondar-mandir di depan rumah mereka, mau kemana kah mereka?

Sedangkan di dalam mobil itu Marisa dan Dewi duduk berdampingan. "Benar tidak itu rumahnya Mar?" tanya Dewi. "Kalau menurut aplikasi peta di ponsel saya sih sudah benar Tante, Rumahnya yang barusan kita lewati tadi." kata Marisa. "Dasar udik semua penduduk disini, memangnya tidak pernah lihat Mercedes apa? pada nongol semua di jendela!" umpat Dewi kesal. "Mungkin heran Tante, karena kita dari tadi lewat disini terus, mungkin mereka mengira kita tersasar." kata Marisa. "Kamu sih, tidak tanya pada HRD nama ibu dan Ayah kandung Raissa, kan kita bisa tanya sama satpam untuk memastikan. Masak cuma bisa dapat alamatnya saja!" gerutu Dewi. "Ya kan saya alasannya mau jenguk Raissa Tan, buat apa juga saya tahu nama orangtuanya?" kata Marisa mulai kesal dengan Dewi yang dari tadi memarahinya. Dalam hati Marisa ia mulai menyesal ikut dengan Dewi, tapi ia benar-benar ingin memastikan apakah Raissa benar-benar berhubungan dengan Aditya. Ia masih tidak rela dirinya dikalahkan Raissa, Marissa seorang gadis cantik dari kalangan orang kaya dengan layar belakang pendidikan luar negeri, penampilan modern dan menjadi pujaan banyak pria dikalahkan seorang gadis berprofesi perawat yang biasa-biasa saja! "Bukan orang kaya pula!" pikir Marisa sambil melihat perumahan yang benar-benar biasa saja, walaupun rumah orangtua Raissa tinggal terlihat asri dan apik dibanding rumah lainnya.

"Jadi bagaimana? kita datangi saja rumahnya? Kamu tanggung jawab ya kalau salah rumah!" seru Dewi galak. Marisa hanya menelan ludah. "Aduh bagaimana bisa nenek lampir seperti ini melahirkan seorang anak gagah perkasa bagaikan seorang dewa?" ratap Marisa dalam hati. Mereka pun turun dari Mobil dan memasuki halaman rumah orangtua Raissa.

Hardian dan Renny membuka pintu. Keduanya menyambut dengan senyum yang ramah walaupun keheranan masih terlihat jelas di wajah keduanya.

"Selamat pagi, cari siapa ya?" tanya Hardian.

"Apa benar ini rumahnya Raissa Pak?" tanya Marisa. "Oh benar, saya Hardian Papah Raissa , dan ini Reny Mamahnya, tapi.." baru saja Hardian ingin menjelaskan keberadaan Raissa, Dewi langsung memotong. "Tidak ada tapi tapian! Suruh Raissa menemui kami, cepat!! saya tunggu di ruang tamu!" kata Dewi ketua sambil nyelonong masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa. Marisa mau tak mau mengikuti Dewi walaupun dalam hati sebenarnya ia malu. Hardian dan Reny cepat-cepat mengikuti tamu mereka ke dalam dengan bingung. "Maaf, ibu-ibu ini siapa ya? Raissa saat ini sedang tidak ada di rumah, sudah kembali ke Jakarta." tanya Renny sekaligus menjelaskan keberadaan Raissa.

"Kamu gimana sih Mar! katanya Raissa masih cuti!" bisik Dewi sambil mencubit pinggang Marisa. Marisa menggeliat dan berusaha menghindar cubitan Dewi, "aduuhh.. sakit Tan.. tapi kata HR Raissa masih cuti sampai besok Tan.." bisik Marisa pada Dewi. Hardian dan Renny yang sebenarnya bisa mendengar bisikan mereka hanya diam saja dan semakin terheran heran dengan tingkah keduanya. "Ehm.. Maaf, dilarang menggunakan kekerasan di rumah ini!" kata Hardian tegas yang membuat kedua tamunya terdiam. "Jadi, ibu-ibu ini siapa ya? temannya Raissa? dari Klinik?" tanya Renny berusaha ramah walaupun bingung. "Bukan! saya bukan temannya!! saya Dewi, ibunya Aditya!" kata Dewi ketus. Marisa hanya diam saja. Begitu mengetahui yang didepannya adalah ibu dari Aditya, Renny langsung mempunyai firasat tidak enak. "Oh ibunya Aditya? Salam kenal ya Bu.. mau minum apa.." Renny mencoba berbasa-basi tetapi kembali dipotong Dewi. "Tidak perlu, saya tidak Sudi minum disini!" Dewi makin ketus. "Oh begitu, ya sudah tidak apa-apa, kalau begitu ada perlu apa ya kemari?" tanya Renny mulai tidak menyukai sikap Dewi. "Sepertinya Aditya dan Raissa tidak menyembunyikan hubungan mereka pada kalian! Baiklah, kalau Raissa tidak ada disini, saya akan bicara pada kalian saja orangtuanya! Kalian orangtuanya seharusnya bertanggung jawab terhadap perilaku putri anda! Jangan berharap dengan menjalin hubungan dengan anak saya dia bisa memanjat tangga sosial ya!" teriak Dewi. "Apa maksud anda! Putri saya baik-baik saja, tidak pernah berkeinginan memanjat tangga sosial! yang ada juga dia manjat gunung, bukan manjat sosial!!" kata Renny mulai naik nadanya. "Sabar Mah.. sabar.." bisik Hardian. Dewi mengeluarkan beberapa gepok uang berwarna merah dan membantingnya di meja. "Ini!!! sepuluh juta rupiah!! putuskan hubungan Raissa dengan Aditya sekarang juga!!" kata Dewi. "Cih! cuma segini? dengar ya!! mau berapapun kamu bayar, saya tidak berhak memutuskan hubungan anak saya! saya memang ibunya dan kami adalah orangtuanya, tapi saya percaya dengan pertimbangan dan penilaian anak saya! Kami sudah mendidik anak kami dengan baik sehingga ia tumbuh menjadi gadis mandiri yang punya pertimbangan dan logika sendiri, tidak seperti anda, yang sepertinya tidak mempercayai penilaian anak anda sendiri! Ibu macam apa kamu!" hardik Renny. "Berani-beraninya kamu!! Lancang sekali kamu.." Dewi berdiri dan mulai menunjuk muka Renny. Renny juga langsung berdiri dan menepis telunjuk Dewi, "Kamu yang lancang!! ini rumah saya!! kamu masuk sudah dengan tidak sopan, perkataanmu juga tidak sopan! malah menjelekkan anak saya! niatmu pun buruk!! ini makan ini uangmu!!" kata Renny melempar kembali uang yang diberikan Dewi sehingga mengenai badan Dewi dan uangnya tercecer berserakan. Marisa ternganga, bingung harus berbuat apa, Hardian hanya diam saja, dalam hati ia juga marah, tapi karena Dewi perempuan, biarlah Renny yang menghadapinya. "Kurang ajar kamu ya! ingat!! kalian akan menyesal karena tindakan kalian ini! putuskan hubungan mereka sekarang juga! atau aku tidak akan bertanggung jawab terhadap keselamatan putrimu!" pekik Dewi. "Hah! kamu mengancam anak saya? akan saya adukan pada polisi kalau terjadi sesuatu pada anak saya! ingat itu!!" Renny balas membentak. Dewi menggeram kesal. "Ayo kita pergi dari sini!!" kata Dewi pada Marisa. "I..iya Tante.." kata Marisa lemah. "Heh! ini bawa uangmu!! aku tidak Sudi menerima suap!!" teriak Renny. Marisa mulai berjongkok untuk mengumpulkan uang yang berserakan. "Berdiri Mar!! Jangan merendahkan dirimu didepan cucunguk cucunguk keparat ini!! Ayo pergi!!" kata Dewi sambil menyeret Marisa. "eh tapi Tan.." kata Marisa melihat uangnya. "ayoo.." seret Dewi. Dan Keduanya segera masuk ke mobil dan mobil itu segera melaju. Hardian masih memperhatikan mobil yang melaju menjauh dari rumahnya ketika ekor matanya menangkap gerakan Renny. "Kok dikumpulkan Mah uangnya?" tanya Hardian. "Papah ini.. mubazir uangnya kalau tidak dipakai.. Kalau nenek sihir itu tidak mau, ya sudah.. buat aku saja!!" kata Renny sumringah. "Tapi, bukannya sama saja kita terima suapnya? memangnya kamu ada niatan memutuskan hubungan anak kita?" tanya Hardian bingung. "Ya tidak dong Pah!!... kan tadi sudah kukembalikan uangnya si nenek sihir! salah sendiri tidak diterima, terlalu pongah ya begitu akibatnya, lagian ini cuma sepuluh juta Pah! Aditya pasti dengan mudah akan mengganti ke ibunya! Taruhan, pasti Aditya marah kalau tahu ibunya a kesini dan menyuap kita!" kata Renny panjang lebar. Hardian menggaruk kepalanya. Ada benarnya juga omongan istrinya, akhirnya iapun ikut mengumpulkan uang yang berserakan. Tidak lama kemudian keduanya tertawa terbahak bahak sambil membicarakan peristiwa heboh pagi itu. Keduanya tidak ada yang mengindahkan ancaman Dewi.

Di dalam mobil yang melaju ke arah Jakarta, Dewi mengamuk, berteriak seperti orang kesetanan. Marisa benar-benar berharap ia tidak ada disana tetapi dengan berani ia mencoba menenangkan ibunda Aditya. "Tenang Tante,.. tenang yaa.. kita cari cara lain yaaa.." kata Marisa. "Hmm.. ya.. cara lain! benarrr Marisa! Pintar kamu!! Hahahaha.. rasakan kamu Renny! sebentar lagi kamu akan kehilangan Raissa!!" kata Dewi sambil tertawa jahat. Bulu kuduk Marisa merinding mendengar perkataan Dewi. ia ingin bertanya tetapi Dewi memberinya isyarat untuk diam, sementara jari jarinya sibuk dengan ponselnya. "Roy! Carikan pembunuh bayaran yang bisa membunuh dengan cepat dan harus rapi, jangan ada yang dapat mengaitkan pembunuhan itu baik si pembunuh ataupun korban denganku! kau dengar? jangan ada kesalahan! Cepat laksanakan! .. Apa butuh 3 hari.. baiklah.. aku bisa bersabar.. asal dalam 3 hari Targetku harus sudah biasa! Hubungi aku kalau sudah dapat calonnya!" lalu Dewi mematikan ponselnya. "Marisa!! kalau kau ingin selamat, jangan sampai ada yang tahu! lagipula ini semua idemu!!" ancam Dewi. "Sa..saya Tan? ya.. tapi.." kata Marisa terbata-bata. "Sudah ikuti saja! ingat perkataanku! Ini untukmu!" kata Dewi sambil menyodorkan sebuah amplop coklat tebal berisikan uang. Marisa pun bungkam dan terus bungkam hingga mobil itu mengantarkannya ke kediaman ayahnya.