webnovel

RABU DAN SELASA

Happy Reading *** Namanya Rabu Sore Hari, seorang pelukis jalanan yang 'katanya' sangat pemalas, tidak punya gairah hidup sama sekali dan selalu kelaparan. Kelebihannya satu, sangat percaya diri dan cerewet. Note : Kelaparan disini memang si pelukis kita ini malas sekali kalau disuruh makan— kalau sudah benar-benar lapar baru kelabakan ke tempat lukis untuk bekerja. Rabu selalu menyebut tempat itu, Jalan Art Place— dimana semua seniman jalanan yang tak punya profesi tetap berkumpul disitu. … Namanya Selasa Langit Malam, seorang Model Papan Atas Internasional yang 'lagi' mengalami nasib sial. Note : sial disini memang si model cantik kita ini baru saja mengalami kecelakaan serius. Selasa sebelum mengalami kecelakaan, ia selalu bermimpi bisa berjalan di runway— di seluruh perhelatan akbar Fashion Show dunia. Taraaaa … salah satu mimpi itu tercapai namun, bentuk dari kesuksesan mimpinya itu harus dibalas dengan kelumpuhan kakinya. No!! Disaat Selasa kehilangan harapannya, disitulah muncul sebuah harapan baru, yaitu Rabu Sore Hari— pria antah berantah yang super cerewet dan tidak tahu datang darimana dan iya… Itu semua adalah pertemuan yang tidak di sengaja! Iya, semua diawali dengan pertemuan seperti itu. Kalau tidak sengaja, mereka tidak akan bertemu. Yang jadi pertanyaannya… Apakah dibalik pertemuan yang tidak sengaja itu ada perasaan yang spesial diantara keduanya? Jika mereka punya perasaan spesial, apakah mereka bisa menjadi pasangan sempurna dan saling melengkapi? Dan, apakah mereka berdua bisa saling memberi dukungan supaya kehidupan mereka berdua bisa lebih baik lagi? Apakah Rabu bisa berubah menjadi orang yang tidak pemalas dan selalu giat bekerja supaya bisa menjadi Pelukis Profesional yang bisa mengadakan Pameran Tunggalnya sendiri? Apakah Selasa bisa mengembalikan lagi rasa percaya dirinya untuk bisa merasakan kembali kakinya melangkah di runway dengan segala keterbatasannya? Yukk… ikuti kisah receh perjalanan Rabu dan Selasa. Si Pelukis Jalanan yang pemalas dan super cerewet dan Si Model Papan Atas yang kehilangan kepercayaan dirinya. Follow sosial media saya… Instagram : @galuhlinan ... Cover by CANVA *** Salam Galuh

Galuhlinanti · Urbano
Classificações insuficientes
35 Chs

SELASA YANG DIKENALI

30/3/22

Happy Reading

***

Deg?!

Eh?

Rabu melihat Selasa yang ternyata juga melihatnya. Mata mereka terlihat sama-sama terkejut saat wanita bernama July Geraldy ini berbicara dengan menggunakan bahasa isyarat.

Disana Arjun dengan begitu sabar berbicara menggunakan bahasa isyarat, gerak tangannya pun terlihat begitu luwes saat menjelaskan pada istrinya itu.

Terlihat jelas, senyum July begitu sangat bahagia dan dia terlihat begitu antusias saat suaminya itu menunjuk Rabu lalu menunjuk Selasa.

"Siapa nama Anda, tuan?" tanya July pada Rabu dengan menggunakan bahasa isyarat.

"Namanya Rabu ...." Selasa yang menjawab karena disana Rabu benar-benar terlihat kebingungan. 

Sedang suaminya ... malah terlihat cengar-cengir saja.

"Eh, kau tahu bahasa isyarat juga?" tanya Rabu yang ekspresinya semakin terlihat nano-nano. 

Sedang Arjun juga terlihat terkejut namun ia mencoba menahan keterkejutan itu karena wajahnya istrinya tampak begitu berseri-seri.

"A-aku pe-pernah ja-jadi su—"

"Sukarelawan?" Potong Rabu yang merasa gemas sendiri.

Selasa mengangguk.

"Dimana?" Kali ini July yang bertanya antusias.

"Di salah satu yayasan panti asuhan di distrik C. Healthy Soul? Kau tahu? Aku sering datang kesana untuk memberi pelatihan." 

"Hah?" July dengan cepat menggerakkan tangannya. Ia terlihat tidak risih dengan bentukan Selasa yang lagi berantakan itu.  "Aku ... aku adalah salah satu dari mereka."

Dahi Selasa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya, sekilas melihat Rabu yang benar-benar tidak tahu pembicaraan bahasa isyarat ini. "Nanti akan kuajarkan," batinnya merasa kasihan melihat kebingungan Rabu.

"Aku adalah anak yatim piatu. Besar di Healthy Soul dari bayi. Setelah lulus SMA, aku mendapat beasiswa di Australia. Setelah itu bekerja di perusahaan suamiku ...." July tersenyum, melihat suaminya yang terlihat senang-senang saja, saat ia mendapat teman mengobrol. "Setelah itu kita menikah, dan aku sedang mengandung ...."

"Wahh, manisnya?!" Selasa bertepuk tangan karena bahagia. "Sudah berapa bulan?"

"Empat bulan." July mengelus perutnya sambil menunjukan angka empat. 

"Selamat ... selamat," kata Selasa sambil memberi isyarat tangan seperti kembang api. "Semoga kehamilan mu lancar sampai melahirkan."

"Terima kasih." July tertawa girang. "Kau sendiri, bagaimana bisa menjadi sukarelawan dan ... eum, maaf, kau sama sepertiku atau? Tapi, tadi kudengar kau bisa bicara walau gagap?"

"Ah, itu?!" Selasa menggaruk kepalanya salah tingkah. "Setiap bulan aku memang rutin datang kesana untuk memberikan pelatihan macam-macam, dan supaya lebih mudah berkomunikasi dengan teman-teman tuna rungu dan tuna wicara ... dari sanalah aku belajar bahasa isyarat."

"Lalu?" July semakin penasaran. Ia menunjuk lehernya sendiri, guna menanyakan kegagapan Selasa.

"Aku bisa bicara, kok. Hanya saja ...." Wajah Selasa berubah sedih. "Iyaa ...," ucapnya, mencoba tersenyum. "Aku hanya mengalami syok ringan, jadi ... sepertinya itu berpengaruh pada pita suaraku."

July mengangguk. Ia paham akan sesuatu yang sedang dialami wanita ini. "Semoga kau cepat sembuh," katanya. Ia terduduk di depan Selasa. "Aku yakin Nona Selasa pasti bisa berjalan lagi."

"Eh?" Selasa benar-benar terkejut. 

"Aku tahu siapa Nona ...."

"Hah?" Kedua mata Selasa membulat sempurna. Wajahnya mendadak pucat dan keringat dingin tiba-tiba saja mengalir deras dari segala sisi tubuhnya. 

"Aku sangat mempercayai, Nona Selasa. Kau itu orang yang sangat baik ...." July tersenyum. Ia menggenggam kedua tangan Selasa yang dingin. "Jujur, tadi aku tidak tahu siapa kau, Nona Selasa."

"Eh ... aku?"

"Iyaa …." July menyentuh dadanya penuh arti, lalu berlanjut menyentuh telinganya. "Walau aku tidak bisa mendengar, tapi aku selalu bisa mendengar suaramu yang familiar. Tadi, aku ingin memastikan sekali lagi jika wanita ini adalah Selasa Langit Malam yang setiap ... bukan bulan tapi setiap minggu, selalu memberikan pelatihan modeling secara sukarela di Healthy Soul." Ia semakin mengembangkan senyumnya. "Nona pasti tidak ingat atau bahkan tidak tahu siapa aku ...," cengirnya. "Aku selalu hadir saat Nona memberi pelatihan dan mengajari anak-anak itu banyak hal."

"Kau …."

"Iya, Nona adalah sumber inspirasiku. Sejak pertama kali aku melihat Nona di Healthy Soul 7 tahun lalu … aku seperti punya semangat hidup lagi. Suamiku tahu itu," ucapnya sambil menoleh kebelakang. 

"Tapi sepertinya Arjun tidak mengenali Nona Selasa, hahaha. Padahal suamiku adalah seorang detektif … huh, dasar!" July cemberut gemas melihat suaminya yang sedang didekati Rabu disana. Sepertinya pria itu serang minta penjelasan pada suaminya.

Selasa tersenyum, mendadak hatinya merasa sedikit tenang. 

"Kau tidak takut padaku?" 

"Huh?" July melihat Selasa. "Tidak mungkin lah!!" Ia mendengus. "Tapi aku heran dengan suamiku ini, Nona," katanya menggeleng heran."

"Hehehe, Selasa yang suamimu tahu bukanlah Selasa yang sekarang. Lihatlah ... penampilanku sekarang. Sangat berantakan dan tidak mudah dikenali, bukan?"

July mengangguk jujur.

"Tapi, jujur, aku sungguh kaget saat kau masih mengenaliku yang seperti ini."

"Karisma dan kecantikanmu tidak bisa dibohongi, Nona ...." July nyengir salah tingkah. 

Selasa jadi ikut tertawa malu-malu.

"Aku sama sekali tidak percaya dengan semua tuduhan itu. Apalagi pada Media Massa yang seenaknya membuat berita menjijikan itu. Mereka hanya ingin membuat Nona jatuh, huh, menyebalkan! Bahkan, aku sampai merengek pada suamiku yang bekerja sebagai detektif untuk mengusut kasus Nona. Tapi, katanya, dia butuh surat resmi untuk itu. Maksudku, kan diam-diam bisa menyelidiki kasus Nona yang terasa janggal ini."

Selasa semakin gemas saja pada wanita bernama July ini, semangat bicaranya sama seperti Senin. Andai saja July bisa bicara dengan lancar pasti kemampuan debat dan kecerewetannya bisa bersaing sengit dengan Senin.

"Nona tahu?"

"Apa?"

"Sekarang Jum'at Paling Cantik, namanya sedang dielu-elukan."

"Jum'at?" gumam Senin tanpa sadar. Sudah lama sekali ia tidak mendengar nama Jum'at disebut-sebut.

July yang tidak mendengar gumaman Selasa justru sedang sibuk menscan penampilan idolanya dari ujung rambut hingga kaki. Ada yang aneh. Bukankah menurut berita yang didengarnya, Selasa sedang menyembuhkan diri di Paris dalam waktu yang tidak bisa ditentukan? Tapi … kok, Selasa ada disini? 

"O-iya, kenapa Nona bisa ada disini?"

Selasa tampak terkejut mendapat pertanyaan yang tiba-tiba itu.

"Terus … kenapa penampilan Nona terlihat sangat berantakan seperti ini?" July melihat Rabu, disana pria itu mencoba tersenyum tapi ... hahaha, terlihat sangat kikuk. "Pria itu bodyguard, Nona?"

Selasa jadi melihat Rabu. "Hahaha, panjang ceritanya." Ia melihat July, lalu melihat Rabu yang matanya sedang berkedip-kedip bingung. "Pria itu yang menyelamatkan aku."

"Dari?"

Selasa menggeleng samar, belum mau menceritakan masalah pribadinya pada orang asing.

"Maaf aku banyak tanya ...."

"Ah, tidak masalah." Selasa tersenyum. "Jadi kapan mau dilukis?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Astaga?!" July berdiri. Melihat Rabu yang sedang berdiri berdampingan dengan suaminya. "Maafkan saya, tuan. Saya lupa, kalau saya minta dilukis tadi."

Rabu yang tidak tahu bahasa isyarat, langsung melihat Arjun, dan Arjun dengan senang hati menerjemahkannya.

"Tidak masalah." Rabu tersenyum, lalu berjalan mendekati Selasa yang wajahnya tampak cerah disana. "Sepertinya Anda mengenal teman saya ini, Nyonya Geraldy?"

July melihat Selasa, lalu melihat kedipan mata Selasa yang menyuruhnya untuk tutup mulut.

"Ah, saya tidak mengenal Nona Selasa secara dekat." 

Arjun yang menjadi penerjemahnya.

"Tapi, tadi Nona Selasa mengatakan jika pernah menjadi sukarelawan di Yayasan Panti Asuhan Heart Soul, dan kebetulan saya pernah menjadi salah satu dari mereka," jelas July hati-hati.

"Ohhhh ... berarti Anda tidak tahu pasti identitas Nona ini?"

July menggeleng mantap, namun di mata Rabu jelas sekali terlihat jika July sedang menyembunyikan sesuatu.

"Baiklah." Rabu mengangguk, antara percaya atau tidak percaya. "Sekarang silahkan Anda duduk di kursi itu, saya akan menyiapkan semuanya."

July mengangguk, duduk ditempat yang dimaksud Rabu.

"Tuan Arjun tidak sekalian mau ikut dilukis bersama Nyonya Geraldy?"

"Eh, apa bisa langsung dua orang dalam satu kanvas?" Arjun bertanya sangat antusias. Jujur, ia memang ingin dilukis bersama istrinya tapi istrinya itu minta sendirian.

Rabu tertawa samar. Memang kanvasku sekecil apa?

"Bisa ... bisa sekali. Jika Anda mau silahkan temani istri Anda. Akan saya buat sesempurna mungkin, dan semoga saja ini bisa menjadi kenang-kenangan kalian berdua hingga tua nanti.

"Iya ...." Arjun tampak bersemangat, sedang July memberengut kesal.

"Silahkan mencari posisi yang enak, tuan dan nyonya Geraldy.

Arjun dan July, pikirannya sudah traveling kemana-mana. Sedang Rabu dengan muka datarnya, nyengir penuh arti di sana saat melihat keduanya yang terlihat salah tingkah dan malu-malu.

Setelahnya ...

"Aku mau dilukis sendiri, Pah!"

Arjun terkekeh saat istrinya digeser-geser sayang. "Setelah ini kan bisa dilukis sendirian."

"Tuan Rabu?!" Mendadak Arjun berteriak.

"Iya?"

"Setelah melukis kita berdua, Anda tidak keberatan melukis istri saya sendirian, kan?" tanya Arjun to the point.

"Iya, tapi bayarannya—"

"Tenang saja ... saya akan membayar Anda satu juta cash, untuk 3 kepala."

Rabu mengangguk, kedua ibu jari dan telunjuknya membentuk huruf  O. Ternyata Arjun mengerti akan hitungan lukisan.

Hah, jadi ia tidak perlu menjelaskan lebih lanjut untuk proses bayar membayarnya.

Mendengar pertengkaran kecil dari pasangan itu membuat Selasa tertawa gemas, tapi ... tawa gemas itu dengan sendirinya hilang saat melihat wajah Rabu yang sepertinya menaruh banyak pertanyaannya untuknya.

"Ini akan butuh waktu yang sangat lama." Rabu melihat Selasa. Di tangannya sudah ada alat tempur untuk melukis. "Lanjutkan tidurmu yang tertunda tadi. Carilah posisi yang nyaman, dan, oh ... gunakan ini untuk menutupi wajahmu," ucapnya memberikan kemeja yang dilepasnya tadi. "Takutnya panas matahari akan menembus pohon-pohon yang tidak rindang itu, dan ...."

Rabu menghentikan laju bibirnya, melihat Selasa yang diam saja disana. "Apa?"

"Tidak," kata Selasa mendengus sebal. Mau melepas topi yang dikenakannya.

"Tidak perlu." Rabu berjalan. "Ingat semua yang kukatakan barusan. Jangan pergi kemana-mana. Tunggu aku. Dengar?!"

"Iyaaaa ... cerewet," ucap Selasa dalam hati.

***

Salam 

Galuh