26/3/22
Happy Reading
***
Selasa memanyunkan bibirnya, berulang kali ia mengelap keringat di dahinya.
Jujur, badannya sangat gerah, karena keringat di punggungnya mengalir sangat deras, dan lagi tubuhnya sangat lengket karena belum mandi sejak kemarin.
"Hahhh ...." Selasa menghela napas panjang, ia mendongak, melihat langit yang sangat cerah diatas sana. Tidak ada awannya sama sekali. Pantas saja rasanya begitu panas dan sangat silau.
Selasa lalu melihat Rabu yang sepertinya sama sekali tidak terganggu dengan teriknya panas matahari ini. Pria itu tetap saja meneruskan pekerjaannya tanpa mengeluh sedikitpun— padahal kaos yang dikenakannya sudah basah kuyup dan lagi ... lihatlah, tangannya, sudah bermandikan keringat.
"Ra-rabuu ...."
Rabu tidak menoleh, ia tidak mendengar suara Selasa— padahal wanita itu duduk disampingnya persis.
Oke, baiklah ... Selasa mendengus. "Ah, panasnya," gumamnya mengipasi badannya dengan tangannya sendiri, lalu ia melihat sekitaran Art Place— siapa tahu ada tempat kosong atau ... "Aghh, tidak ada iya, disana penuh, disini penuh, dimana-mana penuh, huh!" Pada akhirnya ia pun menyerah mencari tempat teduh dan memutuskan untuk ... iya, tidur saja!
Selasa perlahan-lahan memposisikan diri senyaman mungkin untuk mulai tidur siangnya. Jujur, setelah minum obat pereda nyeri tadi, ia sangat ngantuk tapi, iya ... sejak tadi ia tidak enak hati dengan Rabu yang sedang bekerja seperti itu.
Kepalanya sudah bersandar nyaman, ia menutup mata dengan tangannya supaya tidak terlalu silau, matanya mulai terpejam ...
"Sel?"
Deg?!
Ah, mengagetkan saja!
"I-iyaa," jawabnya asal-asalan.
"Pindah tempat?"
Selasa langsung membuka matanya, tubuhnya menegak sempurna.
"Aku akan merapikan ini dulu," katanya, tanpa melihat Selasa. "Kau pasti kepanasan."
Selasa diam saja.
"Panas tidak?" Rabu bertanya sekali lagi, ia melihat Selasa yang wajahnya memerah.
Selasa mengangguk.
"Kalau ada apa-apa bilang saja," kata Rabu, beranjak dari duduknya. Ia mengangkat kedua tangannya, merenggangkan tubuhnya kekanan kekiri. "Aku bukan cenayang yang bisa mengerti isi hati orang begitu saja. Apalagi harus menebak isi pikiran seorang wanita, huh. Kau paham maksudku, kan?"
"I-iyaa, Ra-rabu," ucap Selasa mengedipkan matanya. "A-aku h-hanya tak e-enak—"
"Nah, ini yang perlu kau ubah, hahah." Rabu berbalik, melepas topinya. Rambutnya yang basah ia usak-asik supaya airnya sedikit berkurang. "Jangan ulangi lagi. Katakan apa saja yang kau rasakan, jangan dipendam. Nanti kau jadi orang gila beneran, hehehe." Ia memasangkan topi itu di kepala Selasa. "Jangan protes, ini tidak bau, tapi ... iya, sedikit basah."
"I-iyaaa ...." Selasa berucap sebal. Tapi, benar apa kata Rabu sih, setidaknya ia harus berani mengatakan apa yang dirasakannya saat ini atau dimasa datang. "Ter-terima kasih," ucapnya, membenarkan topi yang terasa lembab itu.
"Iya, sudah aku beres-beres dulu."
"A-ada yang bi-bisa—"
"Ada!!" Rabu berteriak semangat. "Aku titip ini," katanya meletakkan tas tabung berisi kanvas di pangkuan Selasa.
Selasa langsung mencebik. Ia hanya bisa melihat Rabu yang beres-beres sendirian dan dengan santainya, pria itu meletakkan barang-barangnya di atas pangkuannya.
"Tolong iya," kata Rabu, setiap kali meletakkan barang-barangnya di pangkuan Selasa.
Setelah semuanya beres ... Selasa melihat easel yang masih berdiri, dam disana masih ada lukisan Sun yang belum kering.
"I-itu?" tanya Selasa menunjuk lukisan Sun.
"Ohh, nanti saja dibawanya. Itu akan susah dibawa, lagian—"
Selasa langsung menggeleng. "Ja-jangan di-diti-tinggal be-begitu s-saja, ta-ta-kut ada y-yang me-merusaknya."
"Haha, tidak akan. Disini—"
Gelengan kepala Selasa semakin tegas. "Ta-taruh di-di-sini," katanya menepuk masing-masing pegangan kursi roda. "A-aku a-akan me-megangnya dengan kuat."
"Oke, oke, baiklah. Terserah kau," kata Rabu tidak mau mendebat Selasa. "Aku akan menurutimu. Puas, nona Selasa?"
Selasa mengangguk mantap.
Awalnya, Rabu bingung dengan sikap Selasa yang seperti itu, namun ia mencoba memahami Selasa. Mungkin Selasa ada trauma dengan hal semacam ini.
.
.
.
Rabu mencari tempat ternyaman yang akan digunakannya untuk membuka lapak lagi.
Biasanya, ia akan tetap stay di satu lapak hingga sore hari. Tidak peduli panas, gerah, silau atau pun tidak nyaman untuk diduduki, tapi kali ini …
"Hem …." Rabu menyipitkan matanya, mencari tempat yang sekiranya teduh dan tidak terlalu panas saat siang semakin datang nanti.
"Mau kemana?" Itu suara Sabtu, yang tiba-tiba saja sudah ada dibelakangnya.
"Mau pindahan, Sab." Rabu nyengir tanpa beban.
"Gimana ... gimana?" Sabtu jadi berdiri disamping Rabu. "Ku pikir kau akan pulang."
"Tidak lah."
"Lalu?"
"Ya Tuhan ... pindahan, Sab." Rabu menghela napas panjang. Ah, ketemu, matanya berbinar senang saat melihat tempat yang kosong.
"Disana," ucap Rabu, sambil menunjuk sebuah pohon yang tidak ada rindang-rindangnya, tapi cukuplah untuk berteduh, lagi pula disana juga tidak terlalu sesak.
"Heuh, yakin?" Sabtu menyipitkan matanya. Itu tempat sepi dan iya, jarang sekali ada yang datang kesana.
"Ya," jawab Rabu sedikit malas.
"Kau tidak akan terlihat disana dan ...." Sabtu terdiam, ia melihat Rabu yang bibirnya mengkerut lalu melihat wanita yang ada di kursi roda. "Ohh," katanya yang paham akan maksud Rabu, yang tiba-tiba mau pindahan dan bukan mau pulang seperti biasanya.
"Disana tidak terlalu panas."
"Tumben—"
"Jadi orang baik?" Rabu mendecih, memutar bola matanya dengan malas lalu mendorong kursi roda Selasa meninggalkan Sabtu yang sedang tertawa geli itu.
"Yaaa, semoga beruntung."
"Yaaaa …"
.
.
.
Lagi-lagi Rabu harus menata ulang lapaknya. Kali ini, Selasa yang membantu memberikan barang-barang itu untuknya.
Setelah selesai menata semuanya, Rabu dengan napas terengah duduk di kursi lipatnya. Ia akan mengambil kuasnya lagi tapi ....
"Ma-ma-makan ...." Selasa menahan Rabu, lalu menyerahkan bungkusan makanan Rabu yang belum dimakan.
"Ah, iya ...." Rabu sampai mengelus perutnya.
Dahinya mengernyit heran.
Kok, aneh? Biasanya di jam-jam segini perutnya sangat lapar dan cacingnya sudah berteriak minta diberi makan. Padahal tadi pagi kan, ia sangat lapar, makanya sangat bersemangat datang ke Art Place.
"Ke-kenapa?"
Rabu menggeleng, menerima bungkusan. Membuka isinya.
"Aaaa ...." Rabu menyodorkan satu suap nasi beserta kuah sup ayam dan telur untuk Selasa.
"E-eh?" Mata Selasa berkedip kaget. "A-aku kan s-sudah m-ma-makam, gi-giliranmu."
"Cacingku belum terlalu rewel. Jadi bantu aku untuk memakam ini."
"Heuh? Ca-cacing?"
"Iyaaaa ..." Rabu mendekatkan sendok itu ke bibir Selasa. "Cepatlah, tanganku pegal, nih."
"Aemmm ...."
"Nah, gitu, dong," kata Rabu tertawa senang.
Rabu menyuapi Selasa lalu ia menyuapi dirinya sendiri, begitu seterusnya sampai makanan itu tersisa ....
Belum juga makanan itu habis, tiba-tiba saja ....
"Tuan, maaf permisi?"
"Iyaaa?" Rabu dengan cepat memberikan makanan itu pada Selasa.
"Anda pelukis juga, kan?" tanya seorang pria dewasa yang kira-kira berumur 40 tahun dan disebelahnya ada seorang wanita dengan senyum yang sangat cantik dan begitu ramah.
"Iya, benar." Rabu langsung berdiri. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Jika tidak keberatan ... istri saya, July Geraldy, bisa tolong lukiskan?"
"Oh, tentu saja bisa, tuan ...." Rabu mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman sekaligus menanyakan namanya secara tersirat.
"Saya Arjun Geraldy." Arjun dengan senang hati membalas salaman pelukis ini.
"Oke, baiklah, Nyonya Geraldy." Rabu melihat July, lalu mengulurkan tangan dengan sopan, bergantian mengajak wanita ini bersalaman. "Anda mau dilukis seperti apa?" tanyanya menunjuk papan contoh sekaligus papan harga.
"Yang ini saja, tuan." Arjun yang menjawab, ia menunjuk papan contoh lukisan hitam putih. "Ini langsung jadi, kan?"
"Iya, tuan. Bisa satu sampai dua jam," jelas Rabu.
"Oke, baiklah. Saya ambil ini." Arjun tersenyum lalu melihat wajah istrinya yang begitu manis. "Mama setuju, kan?"
Rabu dan Selasa sama-sama terharu karena bahagia melihat kemesraan suami istri ini.
"Ah ... Ma-maaah ..."
Deg?!
Eh?
Rabu melihat Selasa yang ternyata juga melihatnya. Mata mereka terlihat sama-sama terkejut saat wanita bernama July Geraldy ini berbicara dengan menggunakan bahasa isyarat.
***
Salam
Galuh