Aku merasa suasana di sini seperti tak terkendali lagi, tampak semeraut, mencekam, dan menyeramkan. Rasanya aku ingin segera pulang dari sini.
"Nak dengarkan nenekmu ini, rumah adalah tempat pulang ternyaman yang akan kita cari setelah kita merasa penat setelah seharian berada di luar. Jadi kamu jangan terlalu membenci orang-orang yang ada di lingkungan rumahmu. Dan yang harus kamu ingat adalah bahwa Harta yang paling berharga adalah keluarga, dan istana yang paling indah adalah rumahmu sendiri. Jadi nenek yakin, suatu saat nanti kamu akan mengerti akan hal yang nenek bilang ini.!"
'Aakkhhhh tidaakkkkk...!!' teriakku memekik, aku tidak mengerti saat ini aku sedang berada di mana. Menagapa kata-kata yang nenek ucapkan sekitar satu tahun silam muncul ke dalam mimpiku.
Aku terbangun dari mimpi itu, perasaanku sungguh tidak enak sekali rasanya. Tubuhku terbujur lemas di atas ranjang rumah sakit. Aku tidak melihat siapa-siapa lagi yang kukenal di sini, kecuali orang-orang asing yang juga tidur di atas ranjangnya.
"Sus.. sus.. tunggu!! aku berada di mana ini??" Tanyaku kepada seseorang yang mengenakan baju astronaut itu.
"Mba sedang berada di Rumah Sakit Asrama Bakti, dan saat ini mba sedang berada di ruang penanganan covid-19. Oyah mba belum sempat kami tes PCR, oleh sebab itu silakan mba datang ke ruang tes PCR untuk diperiksa. Mari mba ikut saya! , biar saya antarkan mba nya ke sana." Jawab suster itu kepadaku.
Sebenarnya aku tidak ingin sama sekali untuk menjalani tes PCR itu, namun aku dipaksa oleh perawat tersebut. Dan dia menakut-nakutiku, jika aku tidak ingin di tes PCR maka aku akan langsung dimasukkan ke dalam ruangan karantina.
Ruangan sempit yang sepi dan sendirian. Tidak ada satu pun dari teman, sanak saudara, keluarga bahkan orang tua yang boleh mengunjungiku. Aku akan diasingkan dan tidak akan diperhatikan di sana.
Aku pernah mendengarkan informasi itu dari papahku, yang menakut-nakutiku sebelum aku kabur dari rumah. semua kata-kata papah, mamah, dan nenek seketika selalu terngiang di benakku. Hingga membuatku ingat kepada mereka. Aku menyesal sekali karena tidak mau menuruti apa kata-kata mereka.
"Sus, suster ini namanya suster Rina bukan? yang tadi menyelamatkanku dan teman-temanku di mobil bus yang mengangkut rombongan mahasiswa dari Universitas alam terbuka.?" Tanyaku kepada suster yang membimbingku ke tempat tes PCR. "Suster tahu tidak teman-teman yang berada di atas bersamaku tadi, mereka itu berada di mana??"
Mata suster itu hanya melirik ke arahku. Dan setelah itu dia memilih diam dan tak mau menjawab pertanyaanku. Hingga sampai ke tempat tujuanku dia hanya terdiam. Ada ratusan orang yang mengantri untuk menjalani tes PCR Covid-19. Aku melihat beberapa teman yang satu bus denganku pun turut mengantri di sana, Namun aku tidak menemukan Raja, Naya maupun Ruli.
Oh tidakk.. aku salah ternyata aku melihat Ruli yang berada dikejauhan. 'mengapa aku hanya melihat Ruli, di manakah keberadaan Raja dan Naya" tanyaku dalam hati sembari mataku menelusuri lautan manusia yang berada di hadapanku.
Sebenarnya aku bisa saja bertanya langsung kepada Ruli, untuk menanyakan keberadaan mereka. Namun aku malas jika harus berurusan dengannya.
Aku merasa panik, dan bingung sekali. Tidak ada satu pun orang yang kukenal disampingku. Semenjak dari aku jatuh pingsan, aku tidak tahu lagi jejak Raja apalagi Naya. Dia sudah lebih dahulu keluar dari mobil bus, dan semenjak itu aku tidak tahu lagi keberadaanya ada di mana, apakah dia bisa lolos karena dia kan tidak terpapar virus covid-19 secara langsung, tetapi bisa saja dia masuk ke dalam rumah sakit ini. Ahh entahlah! aku bingung sekali.
'drttt...drttt..drttt' suara getar di handphone genggamku berbunyi. 'Oyaa.. mengapa aku tidak terfikirkan dari tadi, bahwa aku bisa hubungi mereka untuk mencari tahu keberadaannya.'
Aku mengambil handphone genggamku yang berada di saku celana. Kulihat layar handphone ini, namun tak kusangka ternyata battery nya Low. Aku tidak menyadari bahwa handphone genggam ini kubiarkan di saku celana tanpa memeriksanya, karena aku sibuk memikirkan keadaan-keadaan yang aku alami, hingga yang kudapati adalah handphone genggam miliku ini low battery.
Rasanya aku ingin sekali pulang!!, aku menyesali perbuatan yang sudah kulakukan ini ternyata berdampak besar pada kehidupanku. Jika saja aku mau mengikuti peringatan papah, dan tidak akan mengikuti acara di kampusku ini, tentu kejadiannya tidak akan seperti ini.
'Mahh, pahh maafkan aku. Aku menyesali perbuatanku, aku ingin pulangdan kembali kepada kalian!!. Aku sunggu ingin meminta maaf kepada kalian, aku tidak akan jadi anak yang pembangkang lagi aku akan menuruti semua yang kalian mau.. maahh paahh!!' Tak terasa air mataku mengalir deras membasahi pipi ini. Aku tidak bisa menahan lagi air mata yang jatuh.
Aku panik, bingung dan sedih. Aku takut merasa sendirian di sini. Tanpa ada yang menemaniku. Aku tidak mengenal siapa siapa di sini.
"Novely Erithia Pratama!!" Suara yang berasal dari microfon itu memanggil namaku. Aku bergegas mendekat walau sebenarnya kakiku gemetar hebat. Namun aku harus beranikan diri menerima kenyataan dan risiko dari perbuatanku ini. 'Nov.. lo pasti bisa!'
langkah demi langkah aku berjalan. tak terasa keringat dingin berhasil mengguyurku. "Saya Novelyn Erithia Pratama!" Jawabku datar ketika telah sampai di meja pemeriksaan.
"Oke baik mba Nov, silakan duduk!" suster yang menggunakan baju astronaut itu mempersilahkanku untuk duduk. "Mba Novelyn ini wanita yang berada di deck atas mobil bus double deck yang ada di sana. Benarkah itu?"
"Benar sus, saya yang selamat bersama ke tiga teman sayang yang lain. Suster adalah suster Rina bukan?" Tanyaku antusias kepada suster tersebut. "Sus.. suter tahu tidak di mana keberadaan teman-teman saya yang lainnya."
"Iya benar saya suster Rina. Mba jika bertanya satu satu ya, saya bingung nih mau menajawab yang mana ckckc" Suster Rina menegurku dengan lembut dan malah tertawa kecil seperti menggodaku. Aku pikir dia akan merasa risi dan hanya diam saja seperti suster yang sebelumnya. "Mba Nov.."
"Eh.. iyaa sus maaf saya melamun. Karena saya benar-benar khawatir dengan mereka." jawabku merespon panggilan suster Rina.
Aku melihat alat seperti sebuah pipet panjang berada di tangannya. Dengan sigap dia mendekat ke arahku dan siap-siap untuk memeriksaku. Namun aku tidak mengerti apa yang akan dilakukannya dengan pipet dan sejumlah alat lainnya.
"Mba Nov, pertama saya akan jelaskan terlebih dahulu kepada mba Novelyn, bahwa alat yang akan saya pakai ini adalah alat tes Swab Antigen. Cara bekerjanya alat ini adalah, dengan memasukan sebuah pipet yang ada di tangan saya ke dalam lubang hidung, dan juga rongga tenggorokan. Mba akan sedikit merasa tidak nyaman. Namun ini prosedur yang harus mba Novelyn jalankan, jadi mba harus tenang, tidak boleh panik dan mba hanya harus dengarkan apa yang saya instruksikan kepada mba" Suster Ratna memberikan arahan kepadaku. "Mengapa saya di tes Swab sus?, bukankah suster sebelumnya bilang kalau saya akan di tes PCR??" tanyaku penasaran.
"Iya mba, karena mba berbeda dengan yang lainnya kalau mereka yang berada di sana itu mereka hanyalah seseorang yang akan dalam perjalanan, jadi harus ada surat pernyataan bahwa dirinya bebas dari covid. Kalau Mba Novel kan telah dinyatakan suspect covid-19, atau seseorang yang telah terpapar virus covid-19. Jadi kita harus cepat mengetahui hasil pemeriksaannya." suster baik dan ramah itu terus mengedukasi diriku yang tidak mengetahui apa-apa tentang covid-19, tes pemeriksaan dan lain sebagainya. "Oke baiklah sus jika seperti itu. Saya akan mengikuti prosedurnya."
"Baik, jika sudah siap mengikuti prosedur yang ada. Boleh mba Nov mendongakkan kepalanya ke atas. Dan.. tahan sebentar.. " Suster itu mulai memasukkan alat pipet tersebut ke dalam lubang hidungku. "Tahan ya mba Novelyn, yaakk oke.. pintar..!! sekarang yang di hidung sudah selesai. kita akan pindah ke rongga tenggorokkan dengan alat yang pastinya baru ya mba."
Aku membenci hal-hal seperti ini. Rasanya benar-benar membuatku tidak nyaman. Hidungku rasanya sakit, geli, bercampur gatal. Tak sadar air mata menetes di pipiku. bukan karena aku merasa sedih, akan tetapi naluri manusia, jika di masukkan sesuatu ke dalam hidung otomatis akan mengalir air mata.
"Mba Nov, boleh kembali mendongak dan mulutnya tolong dibuka, dengan lidah yang tolong dijulurkan ya mba. seperti ini" Suter Ratna kembali mengedukasiku dengan mempraktikan sedikit caranya kepadaku. "yapp.. bagus, mba Nov terima kasih telah mengikuti setiap instruksi dari saya. silakan untuk tetap duduk di sini. jangan ke mana-mana! kita akan tunggu bersama-sama hasil yang akan keluar dari alat swab ini ya mba."
"Baik sus." Aku mengikuti setiap apa yang diinstruksikan suster Ratna kepadaku.
"Sus.. saya mau tanya, suster tahu tidak keberadaan teman-teman saya, sekarang mereka ada di mana. Lalu keadaanya bagaimana. suster tahu ga?" Tanyaku, aku berusaha memberanikan diri untuk kembali bertanya kepada suster Ratna.
Beruntungnya suster Rina yang sedang sibuk menulis data-data itu bersedia menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku. Dan dia mulai menceritakan apa yang dia tahu.
"Oh ya mba, Teman mba yang bertiga tadi yah. Saya lihat sih yang laki-laki yang bertubuh jangkung dia masuk ke dalam Ruangan karantina, karena dia telah dinyatakan positif covid-19." Suster Rina menatap mataku, fokusnya kini tidak lagi kepada buku yang ada di hadapannya. Tetapi kepadaku "Kalau untuk teman wanita mba, dia telah dinyatakan negatif covid-19. Jadi ada kemungkinan dia telah pulang ke rumahnya." Tambahnya yang lanjut bercerita.
"Oke baik sus, terima kasih atas informasinya ya." Ucapku kepada Suster Rina, suster Rina adalah tipe suster yang baik hati dan tidak sombong, iya melayaniku dengan baik. "Sama-sama mba Nov, jika butuh sesuatu mba Nov jangan sungkan-sungkan untuk bilang ke saya. Dan untuk hasil pemeriksaannya, mba Novelyn silakan bawa alat ini ke ruangan Laboratorium dan akan langsung diberi tahu hasilnya dari petugas kesehatan yang ada diruangan tersebut."
Aku mengambil alat yang suster Rina serahkan kepadaku. "Baiklah terima kasih sus, suster Rina baik sekali telah melayaniku dengan baik. sehat terus ya sus." Aku berdiri dari tempat duduk dan menjabat tangan suster tersebut. "sama-sama mba, kita High Five saja ya mbak!" Namun suster Rina menolak jabatan tangaku dan malah mengajakku untuk high five.
Lantas aku pun mengikuti ajakannya. Namun high five ini tidak seperti high five pada umumnya, jika pada umumnya high five adalah dengan merentangkan jari-jari tangan agar terbuka. namun kali ini dia mencontohkan kepadaku, caranya dengan mengepalkan tangannya, layaknya orang yang akan meninju. lalu beradu dengan tanganku.
setelah selesai dengan suster Rina. Aku berjalan menuju ruang laboratorium sesuai dengan arahan suster Rina. Sesampai di sana aku menyerahkan alat yang suster Rina berikan kepadaku.
Disaat aku akan mencari tempat duduk untuk menunggu malah berpas-pasan dengan Ruli, teman laki-laki yang bawel, julid, dan egois dia hanya memikirkan dirinya sendiri.
"Aduhhh kalau jalan lihat-lihat dong mba.." Ucap Ruli yang tertabrak tidak sengaja olehku, Karena memang aku sedang melamun. "lohhh elu.. huss huss.. lu jauh-jauh sana dari gue." Ruli menyemprokan cairan yang ada di botol semprot miliknya.
"Aduhh Rul.. jahat sangat sih lo sama gue..!!" keluhku karena terkena semprotannya.
tetapi ternyata ada seorang pria yang memakai pakaian astronaut meneriakki Ruli. Suara terdengar dari arah belakangku "Haii emas, tidak boleh emas nya melakukan hal seperti itu. Karena bisa berbahaya jika terhirup atau mengenai mata. hentikan itu emas!!" teriakan nya membuat seluruh orang yang ada di ruangan ini melihat ke arah ku, Ruli, serta perawat itu.
"I..iya emas, saya tidak sengaja. Habis nya dia dekat-dekat kepadaku, padahal dia kan telag terpapar virus korona." Ucap Ruli melemparkan pembelaan.
"Heii kan gue belum dinyatakan positif covid-19, jadi lo jangan asal sembarangan nuduh dahulu dong..!!" Aku mengelak tidak terima, karena aku belum dinyatakan bahwa aku benar-benar positif korona.
"Iya emas, apa pun alasanya. Mau mba nya negatif ataupun positif. Hal seperti itu tidaklah dibenarkan. Itu bisa membahayakan jiwa seseorang, dan emas akan bermasalah dengan hukum jika ketahuan emas sengaja melakukan itu semua."
"Baiklah saya tidak akan melakukannya lagi." Ruli pergi berlalu meninggalkan aku bersama perwat pria tersebut. Entah karena dia menyesal ataukah karena dia malu karena banyak mata memandang di sini.
Aku melihat jejak langkahnya yang terdengar, sepertinya dia sengaja mengehentakkan kakinya itu menandakan kekesalan. Melihat Ruli bertingkah seperti itu membuatku sadar, bahwa aku sering melakukan itu kepada mamahku dahulu. Ahhh.. aku menyesal sekali, karena telah melakukan seperti itu kepada mamah.
"Mba tidak apa-apa?" Tanya perawat itu kepadaku. Aku menatap matanya yang juga menatap mataku dengan tajam. Matanya terlihat bulat sempurna, dengan beberapa helai bulu mata yang menempel lentik dikelopak matanya. Aku tidak dapat melihat bagian wajah yang lain kecuali matanya. Karena bibir, dagu, dan juga hidungnya sudah pasti tertutup oleh masker wajah yang dia kenakan.
"Aku baik-baik saja kok, makasih ya sus eh.. emas..hehe" Aku gugup setelah melihat tatapannya yang tajam setajam silet. Sampai-sampai aku bingung harus memanggilnya apa. "Panggil saya Erik saja, atau emas Erik tidak apa-apa, senyaman mba nya saja."
dia memperkenalkan dirinya kepadaku.. gumamku dalam hati. Aku terkejut dengan sikapnya yang dengan gampang memperkenalkan diri kepada orang yang random dia kenal.
"I..iya emas Erik." Jawabku seadanya. "Nama mba nya siapa?" tanya laki-laki itu, dia benar-benar random.
"Novelyn Erithia Pratama.." Suara wanita memanggil namaku, untung saja namaku dipanggil pada saat yang tepat. "Permisi ya emas, saya sudah dipanggil di sana. sekali lagi terima kasih telah membela saya di depan laki-laki tadi."
Aku pergi berlalu meninggalkan perawat itu dan berjalan ke arah panggilan tersebut untuk mengambil kertas hasil tes Swab Antigen.
Kini surat hasil tes ini telah berada di tanganku. Aku penasaran sekali namun selai penasaran, aku juga merasa deg-degan dengan hasil tesnya.
Perlahan-lahan aku membuka amplop putih panjang dan mengeluarkan isi surat yang ada di dalam nya. Setelah surat ini berhasil keluar dari amplopnya. kini aku akan membukanya dan membaca hasil dari tes pemeriksaan diriku. Perlahan-lahan kubaca isi surat ini dan aku berhasil menemukan kata-kata yang menentukkan hasilnya.
bersambung...