webnovel

kesempatan kedua: chapter 6

Perlahan-lahan aku membuka amplop putih panjang dan mengeluarkan isi surat yang ada di dalam nya. kini aku membuka dan membaca hasil dari tes pemeriksaan.

***

selanjutnya...

Surat Keterangan Pemeriksaan Covid-19

yang bertanda tangan di bawah ini, dokter menyatakan bahwa:

Nama: Novelyn Erithia Pratama

Umur: 20 tahun

Pekerjaan: Mahasiswa

Bahwa berdasarkan hasil hasil pemeriksaan korona Virus Disease (Covid-19) SWAB dinyatakan POSITIF.

Dengan surat keterangan ini dinyatan dengan sebenarnya dan mohon dipergunakan sebagaimana mestinya.

Isi di dalam surat hasil pemeriksaan itu membuat pembulu darahku tampak tegang di leher, seluruh darahku berdesis hebat, aku merasa sangat ketakutan karena dinyatakan positif covid-19.

Kebingungan, dan kepanikan, bercampur aduk menjadi satu. Aku tidak tahu harus bagaimana. Diriku sebatang kara, tidak ada seorang pun yang menemaniku di sini, dan tidak ada satu pun dari pihak keluargaku yang tahu tentang hal ini. Karena aku tidak bisa mengabarkan papah dan mamah.

Aku mengeluarkan kembali handphone genggamku yang sudah membangkai di dalam saku celana, tanganku berusaha menghidupkannya, kepanikan masih terpampang jelas di wajahku sehingga membuat mas Erik, yang berjalan disebrang sana berhenti pas di depanku bertanya "Mba, apakah mba baik-baik saja?".

"Saya baik-baik saja kok mas, hanya saja handphone milik saya low battery, charger saya ketinggalan di dalam mobil bus. Saya jadi gak bisa kabari orang tua saya." Aku mengulas senyum kepadanya

"Tunggu ya mba,! saya pinjamkan charger untuk mba" mas Erik beranjak pergi dari hadapanku.

Beruntungnya aku bisa bertemu dengan perawat yang ramah-ramah, dan dapat membantuku di sini.

"Ini mba, pakai saja!" Mas Erik menyerahkan chargernya kepadaku. Matanya melirik ke surat yang kupegang. "Bagaimana hasil tes SWAB-nya mba?" tanya mas Erik kepadaku.

"Saya dinyatakan Positif mas."

"Astaghfirullah... yang sabar ya mba Erit, jangan dibawa panik, karena itu akan membuat imune mba Erit bisa turun." Ucapnya lembut sambil mengulas senyum manisnya kepadaku membuat hati ini sedikit lebih tenang.

Memanglah perawat yang satu ini tampil berbeda dari yang lain. Laki-laki tampan bersuara bass, tinggi sekitar 176cm, bahu bidang berkulit putih, bibirnya tipis, matanya tajam seperti elang yang siap menerkam, hidungnya mancung dan tak terlalu besar. Cukup sebagai penyangga kacamata berbingkai peraknya agar tetap berada di pangkal hidung. Membuat hati wanita akan meleleh dibuatnya, jangankan untuk berlama-lama memandang. Setatapan dengannya walau hanya satu detik saja sudah membuat tubuh ini bergetar hebat seperti ada sengatan listrik yang mengalir di tubuhku.

Mendengar dia menyebut namaku dengan panggilan Erit membuat diriku menjadi bingung. "Loh.. mas Erik kok tahu nama saya Erit?" Tanyaku kepada mas Erik.

Bukannya menjawab pertanyaanku, mas Erik malah tertawa. "Ckckck... Nama mbak kan tertera di surat ini. Mbak lupa yah??"

"Di surat? setahuku surat ini tidak menyebutkan bahwa namaku Erit deh, karena nama panggilan itu hanya orang rumah ku yang tahu." Alisku menaik sebelah, aku menaruh curiga pada dirinya.

Lalu aku terdiam, kembali mengulas ulang hasil pemeriksaan ini yang masih berada di tanganku ini.

"Jangan difikirkan ya mba. Sans saja. Itu sudah biasa kok buat saya!" Ia mengedipkan sebelah matanya kepadaku, Aku tidak bisa mengerti maksud dari perkataan "sudah biasa".

Pertanyaan-pertanyaan itu menggelayut dalam fikiranku dalam waktu yang cukup lama, namun kedipan matanya mengalihkan fokusku dan membuat hati ini jadi meleleh.

"Astaghfirullah, saya baru ingat. Mba Novelyn positif korona kan?. Seharusnya mbak tidak berkeliaran di sini, karena ini zona bebas virus, kalau mba berlama-lama di sini yang ada mbak bisa menularkan virusnya ke yang lain, saya akan mengantarkan mba ke meja informasi penanganan covid untuk mengikuti prosedur selanjutnya. Karena mba seharusnya ditempatkan di ruangan karantina." Tegasnya, membuat jantungku berdegup kencang karena kaget.

"Tu..tunggu mas, tapi handphone saya bagaimana.?" Tanyaku kepadanya sembari menunjukkan charger handphone.

"Tenang, mba bisa men-charge handphone di kamar yang akan mba tempati nanti."

"Oke, baiklah mas." Aku menuruti saja prosedurnya dan akan mengikuti kemanapun mas Erik membawaku. Chargernya masih berada di tanganku, itu artinya aku masih bisa bertemu dengannya memakai alasan ingin mengembalikan charger miliknya ini, yipii asyikk! ucapku secara antusias di dalam hati.

"Asik kenapa mba.?" Aku terdiam karena terkejut dengan pertanyaan mas Erik, mengapa dia bisa bertanya tentang apa yang aku ucapkan di dalam hati.

Mas Erik berdeham memecahkan lamunanku. "Ga apa mba, chargernya dipakai saja dulu, bisa lain waktu untuk mengembalikannya, siapa tau kan kita bisa bertemu kembali. Mba kenapa, kok sepertinya mba sangat berantusias kalau kita bisa bertemu lagi.?" Cecarnya kepadaku.

"Hah.. Gi-girang. Siapa yang girang.?" Aku gugup menjawab pertanyaanya.

"Yasudah lupakan. Mari ikut saya mba!" Pungkasnya mengakhiri perbincangan kami.

Aku pun berjalan di belakang mas Erik, mengikuti setiap langkahnya menyusuri setiap lorong ruangan Rumah Sakit ini. Kulihat setiap ruangan yang ada di sini terisi penuh dengan pasien. "Apakah di sini semuanya pasien covid-19 mas?" Tanyaku membuka topik pembicaraan kembali, dari pada bosan jalan dengan seorang laki-laki tampan tapi aku biarkan hening seperti ini.

"Kalau masih di tower pertama, ini khusus pasien dengan riwayat penyakit lain, selain corona mba. Akan tetapi kalau kita sudah naik ke atas, dari Tower 5 sampai dengan tower 10 itu khusus pasien covid-19 semua." Jelasnya kepadaku.

"Jadi, kita akan naik ke tower berapa?" Balasku.

"Tergantung, suster yang menjaga di meja informasi akan mencarikan mba Erit ruangan yang masih kosong."

***

Sesampainya di meja informasi, mas Erik menyerahkanku kepada salah satu perawat yang sedang menjaga.

"Sus, saya mau mengantarkan pasien yang bernama Novelyn, dia telah mendapatkan hasil pemeriksaan Tes SWAB antigen dan telah dinyatakan POSITIF covid-19." emas Erik sedang berbicara dengan sesorang suster yang sedang berjaga. "Baik mas Erik, akan saya carikan ruang karantina yang masih kosong!"

"Iya sus, terima kasih ya!."

"sama-sama mas"

"..."

Susi Calya Farida, nama itu terpampang nyata di ID CARD yang tersemat pada pakaian APD yang suster itu kenakan. Suster Susi sedang sibuk mencari kamar karantina yang masih belum terisi, di depan layar kerjanya.

Sembari menunggu informasi dari Suster Susi, aku duduk di kursi tunggu yang ada di depan meja informasi, mataku menatap langkah mas Erik yang semakin lama semakin menjauh. Sebenarnya aku sedikit berat membiarkan mas Erik pergi untuk menyelasaikan tugasnya.

Kedua jariku sibuk memutar-mutar jarum jam yang melingkar di tangan kiri. Bukan ada hal khusus. Hanya untuk membunuh waktu saja. Sebenarnya aku jenuh menunggu lama-lama disini, perutku pun sudah tidak dapat berkompromi lagi, terdengar sekali bunyi raungan perut membuat fokus suster Susi terpecah. "Laper ya mba? bunyinya kuat sekali. ckckck."

"Ehm... lumayan mba, biasa perut kalau sudah seharian tidak diisi biasanya susah diajak kompromi." Aku menyengir memegang perutku yang terasa lapar. Nampaknya suster Susi mengkhawatirkan keadaanku. Dia keluar dari meja lingkarnya dan membawa sebungkus roti bersama segelas air mineral.

"Ini mba dimakan saja punya saya, mba itu kan pasien corona. Jadi mba harus menjaga kesehatan dan pola makan." Suster Susi menyodorkan rotinya itu kepadaku.

"Ga usah mba, saya gak apa-apa kok. Insyaallah saya masih bisa menahan rasa laparnya."

"Mba kalau lapar jangan ditahan. Salah satu cara supaya cepat sembuh ya makan. Karena penyakit covid-19 itu menyerang imune seseorang. Jangan biarkan perut mba kosong kelamaan, karena imune mba bisa turun. Bahaya kalau sudah seperti itu." Suster Susi duduk di sampingku. "Ini mba, silahkan dimakan dulu, kalau mba perlu seuatu jangan sungkan-sungkan untuk bilang ke saya atau perawat lainnya ya mba!"

"Emhh.. iya sus, terimakasih ya. Rotinya akan saya makan." Kataku lirih, aku sangat terharu karena semua perawat yang ada di sini sangat baik, dan selalu menolongku.

Aku memotong sedikit demi sedikit roti pemberian suster Susi dan memakannya. Sungguh perutku seperti menangis dan kalau saja ia bisa ngomong, ia pasti akan mengucapkan terimakasih juga kepada suster Susi. Karena hampir seharian aku tidak mengisi makanan apapun kedalam perutku ini.

Disaat aku sedang menyantap roti sobek ini, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang lewat depanku.n Sosok laki-laki itu sepertinya tidak asing bagiku. Seketika aku melirik ke arahnya, aku melihat postur tubuhnya dari sisi belakang. Aku tahu hoodie merah yang ia kenakan, itu adalah hoodie milik Raja.

Karena penasaran, akhirnya aku mengikuti langkahnya yang berjalan menuju ke tangga yang berada di pojokan.

"Raja...!!" Teriakku memastikan bahwa pria tersebut adalah Raja. Kupercepat langkahku agar semakin mendekatinya "ja...!!" Aku memanggilnya sekali lagi, karena dia tidak merespon panggilanku yang pertama.

Akhirnya pria itu berhenti dan membalikan badannya, lalu melirik ke arahku.

"Nov..!!" Panggilnya menyebut namaku.

Aku dan Raja saling mendekat, aku berlari ke arahnya dan Raja pun berlari ke arahku. seperti dalam adegan di film India, aku dan Raja berpelukkan dan dia menggendongku, berputar-putar di bawah tangga.

"Nov.. nov..!.." Raja memanggilku dan melebukan lamunan. hufft ternyata aku hanya sedang melamunkan adegan itu, Gumamku dalam hati.

"Ja, kamu habis dari mana saja?"

"Setelah terbangun dari pingsanku tadi siang. Aku tidak lagi melihat kamu disampingku. Aku takut sendirian ja!" Lirihku mengungkapkan rasa takutku. Raja memelukku tubuhku erat, hangat dan terasa nyaman berada di pelukan Raja. Rasanya aku tidak ingin lepas dari pelukan itu.

"Maafkan aku ya Nov, tadi aku langsung disuruh suster untuk mencari tempat karantina. Itulah sebabnya aku tidak di sisi kamu." Raja menangkupkan wajahku dengan ke dua tangannya. berusaha menyeka air mata yang jatuh ke pipi. "Kamu disuruh karantina juga ya?." Tanyanya kepadaku.

Aku merasa seperti anak itik yang kehilangan induknya. Sendiri, dan sebatang kara, tidak ada satu pun orang yang aku kenal di Rumah Sakit ini. Meskipun perawat disini semuanya baik kepadaku, namun aku tidak merasa nyaman berada di sini. Aku ingin pulang.

Benar, apa kata nenek yang pernah menasihatiku waktu itu.

"Nak dengarkan nenekmu ini, rumah adalah tempat pulang ternyaman yang akan kita cari setelah kita merasa penat setelah seharian berada di luar. Jadi kamu jangan terlalu membenci orang-orang yang ada di lingkungan rumahmu. Dan yang harus kamu ingat adalah bahwa Harta yang paling berharga adalah keluarga, dan istana yang paling indah adalah rumahmu sendiri. Jadi nenek yakin, suatu saat nanti kamu akan mengerti akan hal yang nenek bilang ini.!" Omongan nenek, mungkin pada saat itu aku memang tidak memercayai omongan nenek. Namun saat ini aku benar-benar merasakannya dan aku menyesal karena dahulu aku tidak memercayai omongan nenek.

Tangisku semakin menjadi. nek, maafkan aku. Maafkan cucukmu ini nek.! Aku mengingat kembali betapa berharganya kata-kata "rumahku istanaku".

"Nov, kamu kenapa?" Tanya Raja, nampak kekhawatiran terlukis di wajahnya.

"Ga apa ja, aku baik-baik saja." Tanganku menyeka air mata yang jatuh terakhiran.

Raja kembali bertanya kepadaku. "Nov, kamu tahu di mana keberadaan Naya dan Ruli tidak??."

"Aku tidak tahu keberadaan Naya, yang aku tahu dari suster Rina, dia telah dinyatakan Negatif covid-19. Jadi ada kemungkinan kalau Naya sudah kembali pulang ke rumahnya. Dan kalau untuk Ruli, dia aku tadi masih bertemu dia di depan, pas saat aku berada di ruang laboratorium. tetapi aku tidak sempat menanyakan keadaannya, karena dia lebih dahulu memarahiku dan menyemprot wajahku dengan semprotan desinfectant di tangannya, karena aku dituduh mendekatinya dan akan menularkan penyakit kepadanya."

"kok bisa, sicowok bermulut emak-emak kompleks itu masih menjahatimu Nov?" Raja merasa geram setelah mendengar bahwa aku dimaki oleh Ruli karena telah mendekatinya. "Iya ja, Ruli masih menganggap aku akan menularkan virus kepadanya."

Aku mendekati Raja dan memegang pundaknya. Karena aku khawatir melihat wajah Raja yang memerah akibat meradang. "tetapi aku tidak apa-apa sayang, kamu tidak perlu khawatir. Karena tadi ada untung saja ada emas Erik yang membelaku." Aku melanjutkan ceritaku kepada Raja. "emas erik..! siapa itu??. Tanya Raja, dia seperti mencurigaiku.

"ckckck... Kamu jangan seperti orang yang cemburu begitu dong..!! emas Erik itu adalah seorang perawat yang ada di Rumah Sakit ini. Dia sudah menolong dan membelaku dari Ruli yang menjahiliku dengan decinfectant." Aku menjelaskan pelan-pelan kepada Raja agar dia tidak mencurigaiku lagi. "Ooh jadi seperti itu!!".

"Mbak Novel..!!" Suara suster Susi terdengar memanggil namaku.

"Ja, aku ke sana dahulu ya. Sudah dipanggil sama susternya." Aku berpamitan kepada Raja, untuk mendekat kepada suster Susi.

"Tunggu!!." Ucap Raja, dia menggenggam tanganku, sehingga aku tidak bisa ke mana-mana. "Nov, kalau bisa kamu minta kamar yang sekamar dengan aku ya!. Supaya kita bisa bersama lagi. Aku gak mau kita terpisah kembali."

Aku tersenyum manis mengiyakan permintaanya. "So sweet sekali sih kamu ja..!! aku juga gak mau terpisah lagi sama kamu ja. Tunggu aku di sini ya ja!" Perlahan-lahan aku melangkahkan kakiku untuk pergi menjauh dari Raja. "Aku tunggu kamu di sini sayang...!" Ucap Raja perlahan-lahan melepaskan genggaman tangannya. Matanya terus menatap ke arahku, dan melihat setiap langkahku yang makin menjauh darinya.

Langkahku terasa berat sekali, karena aku harus kembali berpisah darinya. selangkah demi selangkah aku berjalan menjauh, walau aku sebenarnya tidak ingin lagi jauh darinya. Sesampainya di depan pintu pemisah antara lorong karantina dengan meja informasi, aku membalikkan badanku dan kembali menatap Raja, yang masih terlihat berdiri dari kejauhan. "Ja....!!! Aku sayang sama kamu..!!" teriakku membuat semua perawat yang sedang berjaga di masing-masing ruangan kini keluar dan menegurku. "Mbak, harap tenang!, jangan berisik!!, ini Rumah Sakit. Banyak pasien yang akan terganggu bila mbak nya berisik seperti ini."

"I... iya maafkan saya sus.!"

Aku meneruskan langkahku menuju meja informasi, di sana aku kembali bertanya kepada Suster Susi. "Bagaimana sus??. Suster Susi tadi memanggil saya."

"Iya mba Novel, hmm saya mau memberitahukan kalau mba Novel harus dirawat selama 14 hari di Rumah Sakit ini, dan untuk ruangannya, mba Novelyn kebagian kamar karantina Tower 7."

"Ruang karantina tower 7 sus, di mana ruangan itu sus?."

"Ruangan itu berada di lantai di sebrang sana mba, Mba Novel silakan cari saja Tower 7."

"tetapi sus, saya tidak bisa request ruangan ya?, soalnya saya ingin berada di ruangan sebelah sana. Supaya bisa satu ruangan dengan pacar saya sus." Pintaku memelas kepada Suster Susi.

Suster Susi melirik ke arah Raja yang masih berdiri di lorong sana. "Ohh.. di Tower 16 ya mba. Tunggu sebentar biar saya cek dahulu ya mba.!" Ucap suster Susi, tangan nya kembali memijit satu per satu tombol yang ada di papan ketik yang ada di hadapanya. "Mba untuk Tower 16 di sana sudah full mba, jadi mba sudah tidak bisa lagi masuk ke ruangan itu. pilihan mba Novel hanya ada di tower 7 yang berada di sebrang sana, atau tower A1 yang berada di lantai atas."

Aku melemparkan pandanganku ke arah Raja, aku memberikan isyarat kepadanya dari jauh. menandakan bahwa aku tidak bisa berada di satu ruangan dengannya. Melihat aku menggelengkan kepala, Raja pun mendekat ke arahku untuk memastikan yang sebenarnya terjadi. "Ada apa sayang..?"

"Aku tidak bisa dirawat di ruangan kamu sayang, karena di sana sudah penuh ja."

Raja bertanya kepada suster Susi "Sus, kalau saya yang dipindahkan ke ruangan dia bisa sus?"

Tetap tidak bisa emas, karena kalau emas nya sudah berada di salah satu ruangan, tidak bisa lagi berpindah ke ruangan lain, prosedurnya akan ribet emas!" Jawab suster Susi.

Raja menatapku, matanya penuh tanda tanya. Aku pun menatap mata Ruli dengan tatapan sendu penuh rasa kecewa, aku akan terpisah kembali dengan Raja ditambah kata suster Susi yang kudengar bahwa aku akan dirawat selama 14 hari di sini. Membuatku makin kecewa sekaligus khawatir, apakah aku bisa bertahan sendirian di tempat yang asing bersama orang-orang yang tidakku kenal sama sekali.

"Ja, terus kita harus bagaimana?". Tak kusadari, air mata yang sedari tadi kutahan kini terlepas dari kelopak mataku dan terjun bebas membasahi pipi.

"Aku juga tidak tahu sayang. Kita hanya bisa pasrah yang. Kita harus mengikuti semua prosedur yang ada di sini". Raja menangkup wajahku yang kecil dengan ke dua tangannya yang besar, dia kembali mengusap air mataku yang sedari tadi jatuh dengan derasnya. Baru saja aku merasakan kembali kasih sayang seorang lelaki, setelah lima tahun lamanya aku menjomblo. Setelah aku dikhianati oleh mantan kekasihku pada masa SMP membuatku trauma, karena telah selingkuh dengan sahabatku sendiri.

"Kamu yang sabar ya, jaga diri baik-baik di sana karena aku tidak bisa lagi bersamamu dan menjaga kamu. Jadi kamu harus kuat, kamu haru bisa jaga dirimu sendiri!" Raja menasehatiku seperti layaknya seorang ayah yang memberikan wejangan kepada anak gadisnya yang akan menikah. "Satu yang harus kamu ingat adalah. Aku.. Sayang.. Kamu. Dan aku akan menunggu kamu untuk sembuh, kita akan bertemu kembali di sini dengan keadaan yang lebih baik lagi ya sayang..!"

"Iya sayangku... Makasih ya sayang, aku akan sembuh untuk kamu. Dan kita akan bertemu kembali di sini.!" Tandasku, mengakhiri pembicaraanku dengan Raja.

"emas, ini barang bawaan emas Raja." Salah seorang perawat laki-laki menyodorkan barang bawaan milik Raja.

"terima kasih ya emas."

"Sama- sama emas."

"..."

Aku merasa bingung karena Raja bisa mendapatkan barang-barang bawaanya kembali, sedangkan aku. Handphone milikku saja low battery karena chargernya tertinggal di ransel yang masih berada di dalam bus. "Ja, kamu kok bisa dapatkan ransel berserta barang-barang bawaanmu kembali.?"

"Bisa dong sayang, aku tadi meminta tolong kepada salah satu perawat yang berada di sini untuk mengambilkannya. Apakah kamu sudah mendapatkan semua barang-barang milikmu dan juga Ransel yang masih tertinggal di mobil bus" Tanya Raja kepadaku, aku menganggukan kepala dan berkata kepada Raja."Belum..!! Ransel dan barang-barang bawaanku masih berada di sana termasuk charger handphoneku. Mangkanya handphoneku sampai lowbatt seperti ini!"

Mendengar bahwa aku belum mendapatkan barang-barang pribadiku akhirnya Raja memanggil kembali seorang perawat pria yang mengambilkan ransel miliknya. "emas.. hmm begini, ini pacar saya belum mendapatkan ransel beserta barang-barang bawaanya, semuanya masih tertinggal di dalam bus yang saya tumpangi juga. Hmm bisa minta tolong ambilkan tidak emas?."

"Ohh iya emas, saya akan ambilkan untuk masnya ada kunci lokernya?"

"Hm.. ada emas, ini kuncinya!" Aku menyerahkan kunci loker bus milikku kepada perawat pria itu.

"Baiklah emas, mba. Tunggu di sini ya, akan saya ambilkan ranselnya."

"terima kasih ya emas" Ucapku kepada perawat pria yang baik hati itu.

"Sama-sama mba" Ucapnya kepadaku sembari berlalu pergi meninggalkan aku dan Raja.

Aku menatap kembali ke arah Raja. Dan demikian pula Raja, dia menatap mataku dan menggenggam tangan ini sembari berpamitan untuk kembali ke dalam ruangannya. "Aku masuk duluan ya sayang..! Kamu gak apa-apa kan. Bila harus menunggu sendirian di sini.?"

"Iya sayang. tidak masalah biarkan saja aku di sini. Kamu yang semangat ya!! harus kuat dan jaga diri kamu baik-baik."

"siapp sayang!! good bye, i love you..!"

"love you to..!!" Setelah Raja masuk kembali ke dalam ruangannya. Dan aku kembali duduk ke tempat semula untuk menunggu Ransel dan barang-barang bawaanku datang.