Tanpa membuang-buang waktu, Syifa beranjak meninggalkan Sindi Dia turut bergabung dengan para santriwati lainnya yang sedang sibuk untuk acara nanti. Acara pentas seni hadrah yang diadakan Kiai Faizan untuk memeriahkan hari kelahiran pesantren Al-Huda.
"Malam ini Mbak Syifa jadi pembawa acara saja bagaimana?" Syaroh langsung bersuara ketika mendapati Syifa yang datang bergabung dengan mereka.
Sementara Syifa terbelalak dan spontan menggeleng, tegas, "Tidak. Jangan saya. Saya tidak bisa melakukan itu."
"Bisa, Mbak. Nanti bawa lembarannya, kok, tidak hafalan," sahut Syaroh lagi.
Syifa terus menggeleng, "Saya sudah lama tidak publik speaking jadi saya akan gugup nantinya. Jangan saya. Lebih baik Ning Khanza saja," usul Syifa.
Ning Khanza yang baru datang langsung mengusap pundak Syifa, "Saya nanti ditugaskan pembaca qori' untuk pembukaan. Kustru saya malah mau mengajak kamu untuk mendapingi saya dan bertugas membaca arti terjemahan qori' yang saya baca."
Syifa semakin pusing dibuatnya. Padahal dia melemparkan tugas itu kepada Ning Khanza berpikir kalau dirinya terbebas dari tugas malam ini. Namun, justru malah Ning Khanza memberikan tugas menjadikannya sebagai pendamping nanti di acara pentas seni.
"Ning, saya mana bisa," gerutu Syifa, "Saya tidak lancar membaca Al-Qur'an."
"Tidak membaca arabnya, Syifa. Tapi artinya."
"Sama saja, Ning. Apalagi nanti kalau tampil saya pasti akan semakin gugup dan gerogi. Seperti yang saya bilang kalau saya sudah lama tidak publik speaking." Syifa mengiba kepada Ning Khanza, "Jangan saya, Ning. Lempar tugas itu kepada yang lebih mampu saja, ya."
"Loh, nanti kita belajar bareng-bareng semua, Syifa. Sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Dan nanti pembawa acaranya dipindah alihkan ke ...." Ning Khanza terlihat mengamati sekitar. Seolah tengah memeriksa santriwati yang tengah berkumpul saat ini, "Nanti pembawa acaranya dipindah alihkan ke Sindi."
Sementara Sindi yang merasa namanya dipanggil pun tersentak. Dia baru sampai ke posisi mereka tapi namanya sudah menjadi pacuan begitu saja.
"Afwan. Apa, ya, Ning?" tanya Sindi ragu-ragu.
"Kamu mendapat tugas menjadi pembawa acara pentas seni malam ini. Bisa, kan? Lagipula semua santriwati di sini sudah mendapatkan tugasnya masing-masing. Apalagi nanti para adik-adik kelas kita yang turut tampil."
Sindi menggaruk jidatnya yang sama sekali tidak gatal. Meski pada akhirnya dia menyetujui tanpa keberatan. Lagipula Sindi juga sudah terbiasa mendapatkan tugas menjadi pembawa acar setiap ada acara seperti sekarang, "Baik, Ning. Teks-nya di mana, Ning?" tanya Sindi.
"Ada. Di meja asrama sana."
Sindi mengangguk, "Baik, Ning. Kalau begitu saya permisi dulu, ya."
Ning Khanza mengangguk, mempersilakan perempuan itu beranjak pamit memasuki asrama.
"Tapi kenapa mendadak sekali, Ning. Seharusnya diberi waktu latihan beberapa hari sebelum hari H. Biar nanti hasilnya maksimal." Syifa kembali bersuara.
"Loh, kamu tidak tau? Sudah diberi waktu dan yang tampil nanti juga sudah mempersiapkan diri. Lihat adik-adik kita di sana. Mereka sibuk latihan hadrah dengan pembimbingnya. Memang latihan mereka tidak di asrama hingga kamu mungkin tidak mengetahuinya."
"Memangnya mereka latihan di mana, Ning?"
"Di ruangan khusus latihan sendiri, Syifa."
Syifa ber-oh ria. Pantas saja kalau dirinya tidak tahu.
"Hanya saja untuk pembawa acara dan semacamnya memang selalu mendadak seperti ini. Lagipula masih ada waktu setengah hari sebelum nanti tampil." Ning Khanza kembali menimpali.
"Baiklah. Nanti Ning Khanza ajari saya, ya."
Ning Khanza mengangguk, "Dengan senang hati. Kita belajar bersama-sama, Syifa."
***
Malam beranjak naik, seperti yang tadi dibahas kalau malam ini akan diadakan pensi, saat ini para santriwan dan juga santriwati berkumpul di tempat acara. Para santriwan yang duduk di kursi sebelah kanan, sedangkan para santriwati duduk di sebelah kursi kiri.
Gus Arfan turut bergabung dengan teman-teman yang lainnya. Dia kebetulan malam ini hanya menjadi panduan silat yang nanti akan ikut tampil juga.
Sementara Syifa duduk di dekat Ning Khanza di barisan paling depan. Kedua tangannya saling meremas. Dia merasa gerogi padahal belum juga tampil saat ini.
Namun, Syifa sebisa mungkin harus tampak biasa saja. Tatapannya kini fokus ke arah Sindi yang tengah membawakan acara.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh."
Sindi terlebih dahulu mengucapkan salam dan menyapa para hadirin yang ada di tempat. Dia juga menambahkan sedikit bumbu-bumbu komedi agar suasana tidak terlalu tegang.
Sindi turut memberikan panduan untuk terlebih dahulu memanjatkan segala puja dan puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa.
"Baik, langsung saja. Acara selanjutnya adalah pembacaan ayat suci Al-Qur'an diikuti dengan makna yang terkandung di dalamnya. Yang akan dibacakan oleh Ning Khanza dan ...." Sindi sejenak menahan ucapannya ketika matanya menatap ke arah Syifa, "Syifa!" Meski begitu dia tetap menyebutnya. Tidak mungkin juga rasa ketidaksukaannya terhadap Syifa membuatnya malu di atas panggung karena tidak kunjung melanjutkan ucapannya.
"Kepada yang bersangkutan, waktu dan tempat kami persilakan. Beri tepuk tangan yang meriah!" seru Sindi membuat suasana semakin terdengar begitu ramai dan meriah.
"Ning, saya tidak bisa." Syifa menatap Ning Khanza dengan sendu. Meski mencoba tampak biasa saja, tetapi tetap saja ketika gilirannya untuk maju ke panggung membuatnya kembali gugup.
"Syifa, pasti bisa. Jangan gugup dan gerogi, ya. Tarik napas dalam-dalam, kemudian hembuskan secara perlahan." Syifa menurut. Dia mulai memejam dan menarik napas, kemidian mengembuskannya pelan.
"Bagaimana jika nanti saya salah dalam membacanya, Ning?" panik Syifa.
"Jangan khawatirkan itu. Aman. Insyaa Allah aman. Serahkan semua kepada Allah." Ning Khanza mulai bangkit dengan mengajak Syifa, "Ayo, Syifa. Mereka sudah menunggu kita," ucapnya.
Syifa mengembuskan napas kesekian kalinya. Dia kemudian bangkit dan turut mengikuti langkah Ning Khanza.
Awalnya Syifa tampak gerogi ketika sedang naik di atas panggung, tetapi lama kelamaan, dia bisa menyesuaikan diri dan bahkan berani menatap para hadirin di depannya. Begitu ramai sekali ternyata.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ning Khanza dan Syifa kompak mengucapkan salam.
"Audzubillahiminasyaithanirrajiim." Bacaan taawuz sebagai pembukaan terdengar begitu merdu dan menyentuh hati. Syifa bahkan menunduk dan turut larut. Namun, mengingat tugasnya yang tidak hanya diam di sini, Syifa mulai membaca artinya yang kebetulan Ning Khanza memberikan waktu jeda sebentar.
"Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Syifa membacakan terjemahannya dengan menirukan logat yang diajari Ning Khanza tadi siang.
"Masyaa Allah, suara Syifa bikin merinding juga ternyata. Merdu banget Ya Allah." Zul memuji Syifa.
"Idaman calon istri saya." Kali ini Bagas yang memberi sahutan dan mendapatkan susulan jitakan dari Syams, "Ada yang baca ayat suci Al-Qur'an itu didengar, dihayati, bukan malah menghalu sana-sini," ucap Syams dan mendapat gerutuan dari Bagas.
"Mampus. Jitak terus aja, Syams," timpal Zul.
"Kamu ini paling suka lihat manusia sengsara," gerutu Bagas yang nyaris membuat Zul dan Syams terkekeh pelan.