Sementara Gus Arfan hanya terkekeh melihat ketiga sahabatnya itu yang terus saja bercanda. Dia kemudian kembali fokus ke depan. Enggan turut bercanda bersama ketiga sahabatnya, tetapi memilih untuk melihat acara yang sedang berlangsung di depan mata.
Tatapan Gus Arfan terpacu tepat di posisi Syifa. Perempuan itu terlihat sangat berbeda dari biasanya. Terlebih ragi suaranya ketika membaca terjemahan ayat Al-Qur'an yang terdengar begitu merdu, tetapi terkesan tegas.
Intinya, ada aura tersendiri di Syifa sana.
'Astaghfurullah.' Gus Arfan menggeleng berulang kali, menyadarkan dirinya yang baru saja melamunkan perihal Syifa.
Dia bahkan sedari tadi tidak menyadari kalau ketiga sahabatnya tengah memperhatikan dirinya dengan menahan tawa. Mereka mengetahui arah pandang Gus Arfan tadi terpacu ke arah salah satu perempuan yang ada di panggung sana.
Merasa ada yang aneh, Gus Arfan mulai menoleh. Dia nyaris tersentak mendapati Syams, Zul dan juga Bagas fokus menatap dirinya.
"Astaghfirullah. Kalian ini," gerutu Gus Arfan.
"Lagian, Gus, melihat sampai tidak kedip begitu," ucap Bagas yang nyaris membuat Syams dan Zul terkekeh.
Gus Arfan tersentak, "Kalian sedari tadi memperhatikab saya?" tanya Gus Arfan.
Sementara Syams, Bagas dan Zul menunjukkan cengiran tanpa dosa. Membuat Gus Arfan menghela napas kemudian kembali menatap depan, "Acaranya ada di depan, bukan di saya." Dia kembali bersuara. Seolah suaranya seperti magnet, berhasil membuat ketiga sahabatnya itu spontan mengikuti arah pandang Gus Arfan. Namun, tidak dengan Bagas yang bertahan. Dia spontan kembali menatap gusnya.
"Gus merhatiin Mbak Syifa mulu, nih," goda Bagas berhasil membuat Zul dan Syams kembali menoleh.
"Hati-hati, Gus, zina mata." Bagas masih terus saja menggoda.
"Bagas, saya sedang menyaksikan acara."
"Tapi, Gus--"
"Astaghfirullah, Bagas. Sudah, kamu lebih baik turut menyaksikan. Dan mendengarkan bacaan Al-Qur'an," sahut Gus Arfan.
Sementara di lain posisi, Syifa sudah turut hanyut dalam segala terjemah yang dibacanya. Dia bahkan nyaris hampir lupa kalau dirinya kali ini sedang di depan banyak orang. Dirinya sedang menjadi pusat perhatian.
Hingga Ning Khanza sudah membaca bacaan pengakhiran ayat suci Al-Qur'an, Syifa kembali tersadarkan ketika dirinya kembali menatap depan.
Hampir keseluruhan pasang mata fokus menatap dirinya dan juga Ning Khanza. Tatapan Syifa kini berhenti tepat di tempat Gus Arfan dan juga para santriwan lainnya yang ada di sana.
Gus Arfan terlihat tengah bercengkerama dengan Zul, Bagas dan juga Syams.
Hingga sesaat Gus Arfan beralih menatap depan, Syifa yang tanpa persiapan, tatapannya spontan terlebih dahulu bersitatap dengan gusnya.
"Syifa, yuk, kita turun," bisik Ning Khanza yang spontan membuat Syifa tersadar. Bahkan dia sedari tadi tidak mengerti kalau Ning Khanza sudah mengucapkan salam guna sebelum mereka turun dari panggung.
Syifa mengangguk cepat, mengikuti langkah Ning Khanza dari belakang.
Sepanjang berjalan menuju posisinya semula, dia terus saja merutuki dirinya dalam hati. Bisa-bisanya dia memperhatikan Gus Arfan sampai ketahuan gusnya itu.
"Syifa, kenapa kamu ini aneh sekali," gumam Syifa.
"Aneh? Apanya yang aneh, Syifa?" tanya Ning Khanza heran.
Mendengar itu, Syifa mengalihkan pandang ke arah Ning Khanza, "E--eh, tidak ada, Ning." Dia langsung duduk di tempatnya semula.
Sementara Ning Khanza hanya manggut-manggut. Dia tidak bertanya banyak dan memilih kembali menyaksikan pentas selanjutnya.
Berbagai macam jenis pentas perlahan bergantian. Bahkan, penampilan mereka juga terkesan sangat memuaskan dan luar biasa.
Kali ini giliran penutupan yang diakhiri dengan adegan silat.
Syifa mengembuskan napasnya. Rasa kantuknya sudah menggelora pada dirinya. Dia bahkan berkali-kali menguap. Menyenderkan tubuhnya di punggung kursi.
Udara malam yang menyejukkan dan perlahan melambai di wajahnya membuat Syifa merasakan kenyamanan. Dia bahkan perlahan memejam. Namun, hampir saja larut dan tertidur, suara tepuk tangan yang membahana spontan membuatnya tersentak.
"Syifa, keren banget mereka." Ning Khanza menepuk pundak Syifa untuk memberitahu. Perempuan itu tadi tidak mengetahui Syifa yang mengantuk, sebab dirinya fokus dengan acara yang tampil di depan mata.
"E--eh ya ampun, itu api dimasukin mulut." Ning Khanza berucap dengan panik tetapi salut.
Mendengar segala ucapan Ning Khanza, Syifa dengan kesadaran setengah beralih menatap depan.
Kedua matanya nyaris terbelalak. Dia juga tersenyum lebar, "Wah, bagus banget," pujinya.
Rasa kantuk yang tadi menguasai Syifa sekarang sudah terasa hilang seketika. Bahkan kedua matanya kembali jernih ketika melihat adegan-adegan menegangkan yang tengah ditampilkan.
Kali ini Gus Arfan turut andil. Dia melakukan aksi seperti halnya Syams tadi yang memasukkan api di mulutnya. Disusul dengan salah satu santriwan yang mematahkan batu bata di kepala Bagas.
Syifa menggeleng berulang kali, heran. Dia sangat suka menyaksikan adegan seperti itu.
"Meski ini acaranya tidak pertama kali, tetapi tetap bikin tegang penampilan yang satu ini, Syifa," ucap Ning Khanza.
"Berarti mereka sudah lama, ya, Ning, tampil seperti ini?"
Ning Khanza mengangguk.
"Tapi kalau misalnya yang menonton. Misal ada santriwan atau santriwati yang mengikuti adegan mereka tanpa ada latihan khusus bagaimana?"
Ning Khanza menoleh menatap Syifa, "Pertanyaan yang bagus, Syifa. Dulu ada salah satu santriwan yang diam-diam mengikuti adegan seperti itu. Alhasil kepergok Gus Arfan. Dia tidak dapat hukuman, tetapi justru ditanyai, apa keinginan dia melakukan itu."
"Terus Gus Arfan memberi penjelasan kalau melakukan itu bukan sembarang melakukan. Apalagi buat ajang terlihat keren."
Syifa manggut-manggut, "Di sini tidak ada silat untuk perempuan, Ning?" tanya Syifa.
"Lebih tepatnya belum ada, Syifa. Para santriwati yang ada di sini, minatnya belum terpacu di sana."
"Tapi kan, perempuan juga penting, Ning, latihan seperti itu. Buat ajang menjaga diri. Apalagi kita sudah tahu hal di luaran sana. Banyak kasus yang menjadi korban perempuan."
Ning Khanza menyetujui, "Nah, itu, benar sekali. Tapi sayangnya minat santriwati di sini belum ke sana. Saya pribadi juga belum ada minat ke sana, Syifa."
"Memangnya kamu ada minat di sana?" tanya Ning Khanza.
Syifa mengangguk, "Dulu saya sangat meminati silat, Ning. Ketika saya di panti, ada kegiatan silat yang diadakan saya tidak pernah absen. Bahkan sampai sakit juga tidak saya gunakan untuk alasan."
"Wah, kamu sangat suka sekali berarti, ya?"
Syifa mengangguk. Dia bahkan kembali teringat masa kecilnya dahulu ketika dirinya berada di panti. Selain dia selalu menjadi juara lari, dia juga selalu mengikuti kegiatan silat seperti yang dikatakan tadi.
"Tapi sayangnya saya sekarang sudah lupa dengan itu semua. Hanya lari yang saya amalkan sampai sekarang. Sudah lama banget soalnya. Dan sekarang saya menjadi wanita lemah."
Ning Khanza menggeleng, "Kamu tidak lemah, Syifa. Saya jadi ada ide sekarang," sahut Ning Khanza. Raut wajahnya juga semakin menunjukkan kebahagiaan.
"Ide?" Syifa memastikan dan mendapat anggukan langsung dari perempuan yang ada di dekatnya.
"Ide apa memangnya, Ning?" tanya Syifa.