Prolet membalik halaman novel yang sedang dibacanya. Matanya sedikit mengembun. Kisah dalam novel ini menarik perasaannya jauh ke sebuah khayalan tentang hidup terlunta-lunta, yatim piatu, sebatangkara, berjuang mempertahankan selembar jiwa dari kesewenang-wenangan kota dan manusia.
Hari minggu ini Prolet memang berniat menghabiskan waktu untuk membaca. Cukup Senin sampai Jumat saja dia menguras energi untuk bekerja. Sabtu, adalah saat dimana dia selalu beredar di pelosok dan jantung ibukota. Mencari-cari sebuah keajaiban kecil untuk memenuhi buku catatan kecilnya yang sudah berganti 3 kali semenjak dia memutuskan untuk selalu menulis.
Kemarin dia menemukan keajaiban kecil yang dicarinya. Sebuah rumah penampung yatim piatu di sudut Bantargebang. Tidak banyak anak-anak yang ditampung di rumah itu. Mungkin sekitar 8 orang anak saja. Usianya beragam. Dari usia SD sampai SMA. 6 perempuan 2 laki laki. Yang mengejutkan adalah, pengelola rumah itu bukan yayasan atau lembaga. Tidak ada papan nama yang mencolok atau SK Kementrian yang tertera.
----
Prolet tahu secara tidak sengaja. Dia sedang beristirahat di sebuah warung kopi tidak jauh dari tempat pembuangan sampah raksasa Bantargebang. Dia melihat beberapa anak kecil berseragam SD digandeng oleh remaja usia SMP dan SMA. Mereka dengan ceria memasuki sebuah rumah sederhana bercat hijau. Lalu sunyi melingkupi.
Wah rumah itu pasti dihuni keluarga besar. Anaknya banyak. Tapi kenapa mukanya tidak ada kemiripan sama sekali ya? Prolet sepintas lalu mempertanyakan dalam hatinya yang hangat setelah tersiram beberapa teguk kopi.
"Mak....itu rumah siapa? Banyak amat ya anaknya?" rasa penasaran Prolet belum tercukupi. Bertanya pada si emak penjual kopi.
Si emak menoleh sambil tersenyum,"itu anak-anak yatim piatu nak. Mereka sudah lama tinggal di situ. Rata-rata sejak bayi. Anak-anak yang dibuang orang tuanya di jalanan. Kasian...."
Prolet menghentikan suapan pisang gorengnya, "Itu yayasan yatim piatu atau semacam panti gitu ya mak?"
Si emak mengaduk kopi pesanan pelanggannya,"Bukan nak. Ada bapak tua yang menampung mereka. Itu rumahnya."
Prolet ternganga. Melanjutkan pertanyaannya,"Waahh, pastilah bapak itu seorang kaya ya mak? Bisa menampung, merawat dan menyekolahkan mereka...luar biasa!"
Si emak sejurus menghentikan aktifitasnya. Menatap Prolet dengan sungguh-sungguh.
"Bukan nak. Bapak itu malaikat yang kesasar sepertinya. Kerjanya loper koran kalau pagi. Sopir angkot kalau siang. Penjaga gudang kalau malam."
Prolet ternganga! Ini lebih dari luar biasa!
----
Prolet memutuskan untuk mengamati lebih jauh. Keajaiban yang didengarnya harus disaksikan langsung. Jadinya seharian penuh Prolet duduk di warung kopi. Mengamati seperti apa kegiatan di rumah ajaib itu sabtu depannya sedari pagi. Prolet berpesan pada si emak warung kopi akan duduk seharian di warungnya. Mengatakan bahwa dia adalah seorang penulis dan akan menulis kisah rumah bercat hijau itu. Si emak hanya mengangguk. Tidak heran.
Terlaksana. Sejak subuh Prolet sudah nongkrong di warung kopi si emak. Warung kopi si emak memang buka 24 jam. Tidak kalah sama SPBU dan waralaba.
Sambil menyesap kopi hitam pekat manis lekat, ditemani udara pagi Bekasi yang tidak segar sama sekali, Prolet menselonjorkan kaki. Menatap rumah bercat hijau yang masih sepi dari suara penghuni.
Suara motor mendekat. Ujung mata Prolet mengikuti. Seorang pria setengah baya turun. Mengambil bungkusan plastik di gantungan motornya Membuka pagar kecil berkarat lalu masuk dan mengucapkan salam dengan parau namun lembut. Pintu rumah terbuka. Seorang anak laki-laki kecil menghambur keluar dan memeluk pria itu. Disusul oleh seorang gadis mungil yang melompat ke gendongan si bapak tua.
Tawa renyah mengiringi mereka masuk rumah. Prolet masih mendengar ucapan si bapak.
"Bapak bawa gorengan buat kalian...buat sarapan...masih panas lho...mana kakak-kakak kalian..."
----
Tak lama kemudian si bapak keluar. Kali ini diikuti oleh semua anak-anaknya. 8 orang.
"Bapak antar antar koran dulu ya. Baik-baik di rumah. Do'akan angkotnya laris hari ini ya..."
Semua anak itu mencium tangan si bapak dengan khidmat. Lelah yang tadi membayangi muka si bapak, lenyap seketika. Prolet mulai berkaca-kaca.
Motor yang sarat dengan koran itu beranjak membawa pengharapan. Prolet meraih buku catatan. Menulis, sambil sedikit sedikit mulai menata guncangan hatinya.
----
Tengah hari. Prolet masih bertahan. Dia sengaja membelikan si emak warung, makan siang yang lumayan istimewa. Ayam cepat saji! Si emak tersenyum riang sambil memamerkan giginya yang tanggal.
Anak-anak itu sudah pulang sekolah beberapa saat yang lalu. Sebuah angkot berhenti. Membawa turun si bapak yang lagi-lagi membawa bungkusan besar. Prolet bisa memastikan isinya adalah bungkus-bungkus nasi.
Salam diucapkan. Parau namun lembut. Suara kaki kecil berlarian membuka pintu. Dua anak kecil berhambur memeluk si bapak. Bersama-sama masuk sambil tertawa riang.
"Ayo kita makan setelah sholat dhuhur berjama'ah ya. Bapak dapat borongan hari ini. Cukup untuk menambah porsi telor dan beli buku. Alhamdulillah!" suara itu menancap dalam ke hati Prolet yang buru-buru meraih buku kecilnya. Tapi tidak menulis apa-apa. Hatinya sudah dipenuhi kalimat-kalimat takjub!
Pintu rumah membuka. 8 orang berjajar bersalam cium tangan. Si bapak melangkahkan kaki keluar. Tetap dengan tawa renyah. Mengikuti suara mesin angkotnya menghilang di tikungan.
----
Sore hari. Prolet menyogok si emak warung dengan membelikannya makanan ajaib berikutnya. Burger! Si emak tersenyum lagi sambil memamerkan giginya yang tanggal.
Seperti sudah diduga Prolet. Sebelum adzan magrib mengetuk bumi. Suara motor berhenti. Meraih bungkusan besar berisi nasi. Derit pagar menjerit. Salam parau namun lembut. Teriakan girang dua anak kecil yang menghambur ke pelukan.
"Ayo kita makan malam setelah sholat magrib berjama'ah ya. Menunya berbeda kali ini. Masing masing ayam satu potong. Bapak tadi membantu orang selamatan. Dapat jatah bawa pulang ayam 8 potong...Alhamdulillah!"
Rasanya Prolet ingin menghambur ke pelukan si bapak.
----
Dia harus pulang sekarang. Sudah cukup hatinya terisi keajaiban rumah bercat hijau. Prolet ingin berterimakasih secara istimewa kepada si emak warung. Kebingungan harus menyogok si emak warung apa lagi. Ah, roti dari bakery terkenal. Sengaja dia membeli banyak biar si emak senang. Si emak tertawa lebar. Tidak lagi memamerkan giginya yang tanggal. Diambilnya sepotong roti. Dipotongnya separuh dan dimakannya. Separuh lagi dimasukkan lagi ke bungkusnya. Diangsurkankannya bungkusan besar roti enak itu ke Prolet.
"Emak cukup separuh dari sepotong ini saja nak. Bawalah semua roti ini ke rumah itu. Emak selalu senang mendengar tawa renyah mereka..."
Prolet lagi lagi ternganga. Sebuah keajaiban kecil lagi di depan matanya. Memenuhi hatinya.