Prolet membolak-balik tubuhnya yang lesu. Bulan puasa sudah melewati tiga perempatnya. Namun dia merasa belum menemukan apa-apa. Puasanya memang lapar. Puasanya memang kering. Tapi tak lebih dari itu. Seperti juga tahun-tahun yang lalu.
Prolet hanya bersemangat bila teringat tak lama lagi akan berjumpa dengan simboknya. Berjalan beriringan menuju masjid untuk sholat Iedul Fitri. Mencium tangan simboknya yang keriput namun berlimpah kasih sebesar semesta untuknya. Itu bayangan luar biasa yang selalu dinanti Prolet tiap tahunnya.
Satu hal yang selalu dicarinya setiap tahun dan tidak pernah ditemukannya adalah malam seribu bulan yang terkenal itu. Prolet sendiri tidak bisa membentuk sebuah bayangan seperti apa malam seribu bulan itu. Namun paling tidak dia meyakini bahwa itu adalah sesuatu yang istimewa dan pastilah terasa di jiwa.
Prolet bangkit dari tempat tidur. Membuka jendela kamarnya agar ada angin masuk. Malam ini gerah luar biasa. Dia sudah bersiap menanggung resiko dikerubuti nyamuk-nyamuk kelaparan. Biarlah. Yang penting dia tidak terlalu terpanggang di dalam. Kipas anginnya sedang rusak dan sedang coba diperbaiki oleh Sahwat. Yang katanya jago servis elektronik. Itupun kata Sahwat sendiri.
----------
Prolet memandang langit sambil bersandar di jendela yang terbuka. Langit sedang tidak ramah. Tidak setitikpun cahaya bulan sanggup menerobos ke permukaan bumi. Prolet memenuhi benaknya dengan seribu pertanyaan. Apa tanda-tanda bahwa sebuah malam adalah malam seribu bulan? Apakah itu bisa terlihat kasat mata? Siapa saja yang sanggup melihatnya?
Seribu pertanyaan, seribu pula tak ada jawaban. Prolet nyengir lebih jelek dari kuda. Dia sedang banyak mengira-ngira. Untuk apa? Bukankah itu semua hanya Maha Pencipta yang tahu persis jawabannya? Wah pertanyaan lagi. Prolet semakin nyengir saja.
Suara gaduh di luar pagar rumah kos Prolet membuatnya keluar untuk memastikan ada apa. Pak RT terlihat sibuk dan panik. Mondar mandir sambil berbicara tak habis-habis di hape. Kelihatannya sangat gawat. Pikir Prolet yang ragu-ragu untuk bertanya. Takut mengganggu.
Semakin ramai saja orang berkumpul. Saling berbisik dan saling berbicara. Prolet yang masih belum berani bertanya hanya mencoba menyimpulkan dari potongan gaduh pembicaraan orang orang.
"Suaminya belum datang dari narik ojek. Tidak bisa dihubungi...."
"Sudahlah kita bawa saja ke rumah sakit. Ayo Pak RT, segera ambil keputusan!"
"Kasihan Surti..."
"Keburu melahirkan jaaaanngg...."
Oh rupanya ada orang mau melahirkan! Suaminya belum pulang dan tidak bisa dihubungi. Prolet menduga dengan cerdas.
-----------
Di tengah kepanikan yang masih menyelubungi kerumunan orang. Seorang bapak tua menyalakan bajaj tuanya. Dia memberi isyarat kepada Pak RT agar mendekat. Dua orang itu terlibat pembicaraan serius yang tidak bisa terdengar karena gaduhnya suasana.
Prolet hanya bisa melihat Pak RT memberitahu beberapa orang masuk ke rumah petak Surti yang ramai orang. Prolet lalu melihat orang-orang tersebut menggotong Surti keluar dan membawanya menaiki bajaj si bapak tua. Prolet lupa namanya. Kalau tidak salah Pak Ujang.
Pak Ujang buru-buru menjalankan bajajnya di gang sempit itu. Surti yang mengeluh kesakitan terpaksa tidak bisa ditemani siapa-siapa menuju rumah sakit terdekat. Manalah muat bajaj yang ditempati ibu hamil tua dengan orang lain? Hanya ada seorang ibu tetangganya yang mengikuti dari belakang sambil naik ojek. Berjaga-jaga jika ada apa-apa di jalan. Prolet jadi ikut deg-degan melihat semua proses evakuasi itu. hatinya berdebar-debar bagaimana akhir dari lelakon nyata yang dramatis ini.
Setelah bajaj dan motor itu berbelok ke jalan besar dan tidak kelihatan lagi, Prolet duduk di tembok pagar sambil merenung. Apakah keputusan tadi adalah yang terbaik? Bagaimana jika terjadi apa-apa di jalan? Siapa yang akan bertanggung jawab nanti? Ah, Prolet nyengir lagi. Yang paling jelek malam ini. Dia selalu penuh dengan pertanyaan tanpa sedikitpun tindakan.
-----------
Sebelum Subuh dan setelah sahur, Prolet keluar rumah kos lagi untuk mencoba mencari tahu apa yang terjadi tadi malam. Ternyata orang-orang sudah berkumpul kembali di gang depan. Pak RT masih mondar mandir dengan hape di tangan. Entah apa yang sedang diperbincangkan dengan serius, atau siapa yang dihubunginya.
Prolet mendekati si ibu yang yang ikut mengantar tadi malam. Si ibu yang bernama Mak Sinah lalu bercerita dengan ringkas. Malam tadi saking terburu-burunya karena tidak tega mendengar dan melihat Surti terus menerus merintih kesakitan, Pak Ujang nekat mengambil jalan berlawanan arah, memutar di tempat yang dilarang, dan akhirnya dicegat dan hampir ditilang bapak polisi.
Namun setelah melihat ternyata Pak Ujang sedang membawa seorang ibu yang hampir melahirkan, bapak polisi itu malah mengawal Pak Ujang dan Mak Sinah hingga ke rumah sakit. Lucu kata Mak Sinah. Biasanya motor polisi mengaung-ngaung membuka jalan untuk pejabat atau orang berduit yang memburu cepat, kala itu membuka jalan dengan gagah untuk bajaj butut dan motor ojek.
Mereka hampir saja terlambat lanjut Mak Sinah. Surti sudah mengalami pendarahan hebat setibanya di rumah sakit. Dokter jaga langsung mengambil tindakan cepat dengan mengoperasi Surti. Ibu dan bayinya selamat. Meski Surti harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari. Mak Sinah sedikit berlinang airmatanya ketika melanjutkan cerita.
"Kamu tahu Prolet, sebelum dan setelah operasi petugas administrasi selalu menanyakan siapa yang akan menanggung biaya operasi. Surti tidak bisa ditanya apakah punya BPJS atau tidak. Tapi setahuku keluarga muda ini tidak punya kartu itu. Untunglah dokter jaga yang baik hati itu menjaminkan diri dan gajinya untuk biaya operasi Surti."
---------
Prolet tercengang. Banyak sekali keajaiban yang memayungi perjalanan Surti tadi malam. Pak Ujang yang mengambil tindakan cepat membawa ke rumah sakit dan Mak Sinah berjuang menemani meski harus naik ojek, keajaiban pertama. Pak polisi baik hati yang membuka jalan agar bajaj Pak Ujang segera sampai ke rumah sakit sehingga Surti tidak terlambat ditangani, keajaiban kedua. Dokter jaga rumah sakit yang bersedia menjamin operasi Surti, keajaiban ketiga.
Malam penuh keajaiban bagi Surti dan bayinya. Prolet memandang ke arah langit. Menyaksikan bulan separuh menampakkan wajah. Begitu terang. Begitu bersih. Rupanya inilah salah satu arti dari malam seribu bulan. Untuk Surti dan bayinya. Untuk cinta dan perjuangan seorang ibu bagi bayinya.
Prolet tersenyum lega. Melangkah masuk kamar kos mengambil sarung. Pergi ke mesjid untuk sholat subuh. Dia ingin ikut berdo'a untuk Surti dan bayinya.
---------