webnovel

Episode; Disapa Cinta

Prolet termangu-mangu di basement. Pikirannya berkecamuk seperti adonan roti yang diaduk. Dia habis dimarahi oleh atasannya, bos pantry. Dia tidak tahu apa kesalahan yang dibuatnya hingga harus mendengar kalimat-kalimat panjang yang menghilangkan kemerdekaan hati.

"Kamu memang ngga becus Prolet! Aku kan sudah bilang, pesanan Tuan Puteri itu gado-gado ngga pake lontong, cabenya tiga, jangan dikasih sayur kol! Dasar ngga punya telinga dan otak!"

Prolet coba menakar daya ingatnya. Bukankah tadi dia mencatat semua pesanan dengan baik. Tuan Puteri, anak perempuan Bos Besar, pesan gado-gado pedas, pake lontong, komplit. Bos Besar pesan sate kambing pake lontong. Bos Kecil, orang-orang di kantor memanggilnya begitu, karena lagaknya yang seperti bos, pesan sate ayam. Bos Kecil tidak ada hubungan apapun dengan Bos Besar. Dia adalah orang keuangan kantor. Selalu pegang uang. Jadilah seperti punya hak untuk berkuasa.

Prolet menyesap sisa rokoknya yang dimatikan buru-buru tadi pagi. Pikirannya melayang pulang ke rumah. Ke si mbok nya. Prolet bekerja dengan sepenuh hati. Dia tidak pernah menolak perintah. Semua dikerjakannya. Prolet selalu merasa sedih jika habis dimarahi oleh siapapun. Dia tidak pernah melawan atau membantah. Ujung-ujungnya dia hanya melarikan kesedihannya pada ingatan akan kehangatan dan kasih sayang si mbok nya. Dan itu cukup sebagai obat menentramkan hatinya kembali.

Hape di kantongnya bergetar. Prolet tahu persis siapa yang menelponnya. Tetap saja, sambil berlari menuju lift dia menengok layar kecil itu. Ah, ini bukan nomor yang dikenalnya. Mungkin bos pantry menggunakan nomor lain. Dia tidak akan mengangkat telpon itu. Yang paling penting secepatnya dia sampai di kantor lantai 5 bangunan tua itu.

Begitu tangannya menyentuh pintu kantor, setelah terlebih dahulu mengenalkan jarinya pada sebuah mesin kecil aneh pembaca jari, saking terburu burunya Prolet hampir menabrak seseorang yang mau keluar.

"Duuuhh...maaf Tuan Puteri. Sa...saya tidak sengaja.." tergopoh gopoh kalimat itu mengalir dari mulut Prolet. Dia lupa bahwa Bos Besar pernah mengingatkan dia untuk tidak memanggil Tuan Puteri lagi, tapi cukup dengan namanya, Rara Ratri.

Di depan Prolet berdiri anggun sesosok manusia yang tidak mirip manusia. Lebih mirip bidadari kalau kata Prolet dalam hati. Tinggi semampai meski tidak setinggi Prolet, kulit sawo matang tapi bening seperti air telaga, matanya seperti mata elang betina, caranya berucap halus lembut seperti putri solo yang sedang menari serimpi. Ini adalah gambaran yang ditulis Prolet di buku hariannya yang kumal.

Tuan Puteri menatap Prolet penuh simpati dan terimakasih." Prolet, terimakasih ya. Gado-gado yang kamu belikan tadi pas sekali sesuai seleraku. Lain kali kalau aku kesini, aku akan memesannya lagi. Eh, aku menelponmu tadi sebetulnya untuk sampaikan terimakasih. Tapi ngga kamu angkat. Syukurlah bisa ketemu sebelum aku pulang."

Sosok manusia yang tidak mirip manusia itu berlalu dengan senyum yang masih ketinggalan di hati Prolet. Pemuda ini baru tersadar ketika di depannya telah berdiri manusia yang kali ini sangat mirip sekali dengan manusia, bos pantry.

Prolet masih berusaha mengangakan mulutnya untuk menyapa hormat, bos pantry sudah berucap setengah berteriak sambil melirik Tuan Puteri yang masih terlihat mendekati ujung koridor.

"Untung aku tadi mengingatkanmu tentang pesanan gado-gado Tuan Puteri yang pas seperti apa, Prolet! Tuan Puteri sangat menyukainya...!"

Prolet buru-buru menutup mulutnya. Mencegah sumpah serapah mengalir melalui nafasnya yang tersengal-sengal menahan marah. Bos pantry tersenyum bangga sembari melangkah masuk ruangan. Prolet menghela nafas lalu mencabut buku harian kecil kumal di saku belakangnya. Menulis; di hari aku disapa oleh cinta, sekaligus juga aku bertemu bidadari dan iblis secara hampir bersamaan. Terimakasih Tuhan. Ini hari yang menggemparkan...