webnovel

Pernikahan Paksa Gadis Desa

Siapa kamu? Seorang gadis desa? Oh, iya. Namanya Laila Fatihani, seorang gadis desa dari desa Wanadadi. Saat masih kecil, ia telah ditinggal kedua orang tuanya ke surga. Dari kecil Laila telah dijodohkan dengan Hilman Syahputra. Tetapi siapa sangka, Hilman telah menikah dengan seorang wanita malam yang pernah ia tolong. Membuat orang tua Hilman murka. Karena sudah menjadi sumpahnya, Redho yang merupakan orang tua Hilman pun memaksa Hilman untuk menikahi Laila. Dengan status Hilman yang sudah memiliki istri itu pun harus menikahi Laila. Pernikahan mereka pun terjadi bukan karena saling suka dan cinta. Hilman terpaksa menikahi Laila karena terkait harta keluarga yang sudah beratasnamakan Laila. Lalu bagaimana kehidupan Hilman, Laila dan istri pertama Hilman berjalan? Kita temukan jawabannya di sini.

Wanto_Trisno · Urbano
Classificações insuficientes
445 Chs

Kebersamaan Dengan Tiga Kurcaci

Laila dan tiga kurcaci meninggalkan Hilman. Kebetulan letak gubuk di kebun itu tidak terlalu jauh dari jalan. Sepeda motor pun terparkir di situ. Para pekerja di kebun tersebut menggunakan sepeda motor agar cepat sampai ke tempat yang mereka tuju.

Sepanjang jalan, Laila mengamati kebun buah yang sangat luas. Andaikan ia punya kebun seluas itu, rasanya pasti sangat senang. Setiap hari ia akan mengajak kakeknya untuk memetik buah di kebun.

"Dor!" Suara itu keluar dari mulut Diyon. Ia mengagetkan Laila yang berjalan di depannya.

"Eh ... kamu mengagetkanku saja!" celetuk Laila yang kaget.

Lamunan Laila tentang kebun itu pun buyar karena Diyon yang mengagetkannya. Laila hanya bisa bersabar dengan tingkah anak-anak itu.

"Abisnya kakak ini. Kok ngalamun terus. Apalagi tingkah Kakak begitu saat bertemu dengan pak Hilman. Itu orangnya sudah tua lho, Kak! Masa kakak suka sama orang tua sepertinya?" seloroh Diyon dengan menyengir kuda.

"Huh ... jangan sembarangan yah. Kakak itu nggak suka dengannya. Lagian kita tidak saling kenal. Apa orang tua kalian kerja di kebun itu?" tanya Laila.

Hampir separuh warga di desa Wanadadi merupakan buruh tani di perkebunan milik keluarga Redho itu. Tidak perlu diherankan, mereka tahu banyak soal perkebunan itu.

Berbeda dengan Laila yang jarang masuk ke kebun tersebut. Saat usianya baru dua belas tahun, Laila sudah melihat perkebunan yang ia datangi ini sudah cukup banyak. Sekarang pohon buah itu sudah semakin besar dan berbuah lebat.

"Iya, Kak. Makanya kami berani memetik buah di sana. Kata ayahku, kita boleh memetik buah di kebun ini, asal jangan banyak-banyak, dan jangan untuk di jual. Orang tua kami boleh makan buah-buahan di kebun itu oleh pak Hilman itu." Ayub menerangkan kebenarannya kepada Laila. Sebenarnya ia mau mengatakannya tadi sebelum bertemu dengan Hilman. Tetapi karena perasaan bersalahnya, ia tidak mau membantah ucapan Laila.

"Kenapa kamu nggak ngomong dari tadi?" Laila menahan rasa malunya. Ia tidak tahu kalau boleh memetik buah di kebun milik pak Redho, yang sekarang sedang di urus oleh Hilman.

"Lupa, Kak. Hehehe ..." jawabnya polos, menyunggingkan senyum dan memperlihatkan giginya yang putih bersih.

Laila tidak bisa menyembunyikan rasa malunya saat ia mengingat kejadian itu. Kalau mereka bilang sejak tadi, ia tidak mungkin membawa tiga kurcaci bersamanya.

"Duh ... kakak yang malu jadinya, kan?" Laila yang malu, menutup wajahnya. Ia tidak bisa membayangkan respon dari Hilman, atau ekspresi orang itu. Bisa saja ia malah ditertawakan.

"Maaf, Kak. Tapi aku liat ada pohon jambu yang buahnya banyak. Kata bapak, buahnya boleh kita ambil sepuasnya. Karena itu jambu sisa yang sudah tidak dijual lagi. Katanya jumlah buahnya berlebihan. Jadinya kita boleh mengambil sepuasnya, Kak." Diyon mendengar itu dari ayahnya yang bekerja di perkebunan itu.

Laila tidak menyangka keluarga Redho sebaik itu pada orang-orang desa. Sebagai seorang yang memiliki kekayaan nomor satu di desanya itu, tidak membuatnya sombong. Walau hanya sepele, membebaskan anak-anak untuk memetik buah itu merupakan hal yang baik.

Meskipun diberi kebebasan, ada juga aturan yang harus mereka taati. Di sebuah papan dari kayu bertuliskan, 'Boleh memetik buah sepuasnya, asal jangan yang diberi tanda. Buah itu sudah masak dan habiskan di kebun. Jangan dibawa pulang atau dijual.' Mereka bisa membaca tulisan itu.

"Oh, ini, Kak. Kita nggak bohong, kan?" ungkap Ayub.

"Eh, iya. Ya sudah ... kalau sudah diperbolehkan. Tapi jangan banyak-banyak, yah."

"Asiik! Serbu!" seru Diyon. Anak itu berlari sambil melompat-lompat.

"Ayo, Kak! Kita petik jambu nya!" ajak Wawan yang merasa senang. Ia menarik tangan Laila, membawanya berlari.

Memang tadi Ayub yang mengajak mereka memetik buah mangga. Ia tahu, kalau ada buah jambu. Mereka dengar, jambu kristal yang ada di perkebunan itu sangat enak. Jadi ia tidak bisa menahan diri lagi.

"Ayo, Kak! Mumpung dibolehin sama yang punya!" imbuh Ayub. Ia sangat bersemangat sekali.

"Duh kalian ini ... eh, kakak sampai lupa! Ya Allah ...." Laila baru mengingat sesuatu. Ia lupa kalau kakeknya memintanya untuk membelikan balsem. Dia juga sampai lupa kalau ia belum memplester lukanya.

Tiba-tiba rasa nyeri di kakinya kambuh lagi. Tidak seperti tadi yang sampai kelupaan. Laila harus segera pulang karena hari semakin siang. Ia takut kakeknya mencarinya.

"Kenapa, Kak?" tanya Ayub.

Laila menatap Ayub dan kedua temannya. Ia sebenarnya ingin bersama ketiga anak itu. Keadaan membuatnya harus kembali pulang mengantarkan balsem pada kakeknya. Kakinya pun masih sakit. Apalagi tadi ditarik oleh Wawan dan sempat terbawa.

"Aku lupa. Kakak disuruh kakek buat beliin balsem. Aku pulang dulu yah!"

"Yah, Kakak ... kami kan pengennya metik buah sama Kakak," rengek Ayub kecewa.

Kalau bersama dengan Laila, mereka akan baik-baik saja. Karena ada orang yang lebih dewasa yang mengawasi. Jika ada orang tua yang memarahi, mereka akan berlindung pada Laila.

"Duh, nih anak-anak. Bentar dulu yah! Kakak cuma pulang sebentar saja, kok. Nanti Kakak pasti nyusul! Kasih tau aja, di mana kita bisa memetik jambunya? Setelah mengantar balsem, aku nyusul kalian!" tandas Laila.

"Oke deh, Kak. Kakak kami tunggu di sana, yah. Di sana ada jalan lurus, Kakak jalan lurus ke sana!" tunjuk Ayub. "Kakak jalan kaki sekitar seratus meter ke arah timur. Di sana ada pohon kelapa gading yang melengkung ke bawah. Nah, Kakak cari deh, kami nggak jauh dari situ!" terang Ayub. Ia mengetahui seluk beluk kebun milik pak Redho itu.

"Oohh ... oke-oke. Aku pulang dulu. Assalamualaikum ...." Laila meninggalkan ketiga anak tersebut.

"Waalaikumsalam, Kak. Hati-hati di jalan!"

"Oke!" Laila kembali ke tempat ia memarkirkan sepeda. Ia kemudian menuntun sepeda itu karena ia tidak bisa mengayuh sepeda itu lagi. Kakinya terasa lelah setelah tadi bersepeda dengan kecepatan tinggi. Selain itu, efek keseleo yang mengakibatkan kakinya nyeri, kembali terasa.

Di sepanjang jalan, Laila bertemu dengan para buruh tani yang sedang membawa hasil panen dengan karung-karung besar. Mereka rata-rata menggunakan sepeda motor untuk membawa hasil panen berupa buah-buahan itu.

"Siang, Pak. Assalamualaikum ..." sapa Laila pada seorang pria paruh baya.

"Siang juga, Laila. Tumben dari arah kebun pak Redho." Lelaki itu merasa aneh. Tidak biasanya Laila memasuki kebun milik keluarga Redho tersebut. "Apa Laila mau kerja di sini, juga?" Lelaki itu turun dari sepeda motornya.

"Tidak kok, Pak. Aku hanya main sama tiga kurcaci, tadi," jawab Laila.

"Oh, anak-anak itu." Lelaki itu tahu persis siapa mereka. Yang jelas tiga anak itu adalah anak-anak yang senang bermain dan biasanya bermain dengan Laila. "Eh, Kamu kenapa jalannya pincang gitu? Habis jatuh?"

"Iya, Pak. Tadi keseleo. Mari, Pak. Laila mau pulang," pamit Laila.

Lelaki paruh baya itu mengangguk. Ia kembali menaiki motornya. "Hati-hati di jalan, Nduk. Bapak mau anter buah ini dulu."

Laila menaiki sepedanya dan mengayuh dengan pelan. Di jalan yang agak menurun, Laila pun hanya duduk menyeimbangkan sepedanya. Hingga sampai di depan rumah, ia melihat sosok lelaki.

"Assalamualaikum," sapa Laila, lelaki itu menoleh padanya.

***