webnovel

2 - Skandal

"Apakah kau mau minum?" Jacob menawari Adeline untuk 'minum', namun Adeline menggeleng.

"Apakah kau tidak melihat ada segelas milkshake di depanku?"

Jacob baru menyadarinya, pria itu terkekeh. "Ternyata kau bukan hanya membenci klub malam saja ya," katanya.

Adeline mengedikkan bahunya. "Aku benci klub malam dan seisinya."

"Kau harus minum, Adeline. Aku jamin rasanya tidak seburuk itu." Jacob membujuk Adeline untuk mencoba minuman lain di klub malam itu yang artinya Adeline harus merasakan minuman beralkohol itu.

"Jangan memaksaku, Jacob. Sudah ku bilang aku tidak suka minuman beralkohol."

"Apakah kau pernah mencobanya sebelumnya?" tanya Jacob memastikan. Adeline menggeleng pelan.

"Belum."

Mendengar itu Jacob terkekeh. "Kau belum pernah mencobanya, lantas bagaimana kau tahu dengan rasanya?"

"Aku hanya pernah mendengarnya dari teman-temanku, lagipula aku juga tidak tertarik untuk mencobanya."

Jacob menggelengkan kepalanya. Pria itu mengisyaratkan kepada Adeline untuk mengikutinya. Dia menuntun wanita itu untuk duduk di sebuah kursi yang mengarah ke arah dimana bartender sedang meracik minuman para pengunjung.

"Jacob, mengapa kau menuntunku untuk duduk disini?"

"Aku akan menunjukkan padamu hal yang menyenangkan."

"Tapi--"

Belum selesai Adeline memprotes, kalimatnya terpotong karena Jacob mengajak berbicara seorang bartender yang sedang meracik minuman.

"Two tequila, please."

"Wait a minute, pesanan akan segera meluncur," jawab bartender itu merespon pesanan Jacob.

Adeline nampak terdiam di tempatnya. Ia memandang Jacob dengan pandangan tak percaya. Mengapa pria ini keras kepala sekali?

"Jacob, aku benar-benar tidak ingin mencobanya."

"Tidak, Adeline. Justru kau harus mencobanya agar kau tahu bagaimana rasanya."

"Dua gelas tequila untuk pasangan yang sangat cocok ini," ucap bertender tadi memberikan pesanan Jacob.

"Kami bukan pasangan." Adeline langsung membantah perkataan bartender itu.

"Oh benarkah? I'm so sorry about it."

Jacob mengibaskan tangannya agar bartender itu tidak perlu merasa bersalah atau meminta maaf. Kini titik fokus Jacob mengarah ke arah Adeline.

"Are you ready?"

Adeline benar-benar ingin melarikan diri saja rasanya. Namun ia berusaha untuk menerima saran Jacob. Mungkin rasanya tidak seburuk yang teman-temannya katakan. Ya, setidaknya Adeline harus mengetahuinya sendiri karena sejujurnya ia juga penasaran.

"Okay, just one shoot!" Tanpa di duga Adeline meminum tequila itu dengan sekali tegukan. Hal itu membuat Jacob syok.

"Oh Adeline, aku tidak menyuruhmu meminum semuanya."

"What?" Adeline juga syok. Namun ia pikir rasanya tidak terlalu buruk. Awalnya memang membawa kesan pahit, tapi akhirnya malah meninggalkan rasa ketagihan. "Rasanya enak," tambahnya.

"I told you, do you want some?" Jacob menawari Adeline lagi. Sementara wanita itu nampak berpikir sejenak. Ia merasa ragu, apalagi lama-kelamaan kepalanya terasa berat. Namun Adeline juga merasa tidak bisa menghentikan dirinya dan ingin minum lebih banyak.

"Aku pikir dua atau tiga gelas lagi tidak masalah."

Jacob bertepuk tangan. "That's my girl. Inilah mengapa tequila diciptakan, Adeline."

"Yupp, it was amazing. Kau benar-benar memberikan pengalaman yang luar biasa untukku."

"No problem, girl. As long you happy, i'm happy too."

Dan Jacob pun memesan tiga gelas minuman lagi untuk Adeline. Dan wanita itu meminum ketiga gelas itu bergantian tanpa jeda.

"Grhhkkk!" Adeline merasa tenggorokannya terasa panas. Tapi efek setelahnya yang ia rasakan membawa kesenangan untuknya. Tanpa sadar Adeline sudah sampai pada level tertingginya, ia sudah tidak mampu mentolerir cairan alkohol yang sudah berada di dalam tubuhnya itu. Kesadarannya pun hilang, Adeline pingsan.

Sementara itu, Jacob yang sedari tadi berada di samping Adeline pun hanya memandang diam wanita itu di tempatnya. Tidak berapa lama ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Kamarnya sudah siap, kan?"

"Sudah, sir. Kami sudah menyiapkan kamar anda," jawab seseorang dari sebrang sana.

"Kerja bagus! Aku akan membawa wanita ini kesana sekarang," katanya memberitahu lalu menutup telepon. Jacob masih mempertahankan pandangannya ke arah Adeline. Pria itu tersenyum miring.

"Permainan akan segera dimulai, sayang."

****

Kedua mata itu mengerjap berkali-kali ketika sinar matahari terasa menusuk kedua matanya yang tertutup. Adeline berusaha bangkit dari baringannya, namun pusing langsung melanda kepalanya. Tengkuknya pun juga terasa amat berat.

Sempat bersusah payah, Adeline berhasil duduk sepenuhnya di atas ranjang berukuran king size itu. Namun ketika menyadari jika saat ini ia sedang berada di kamar yang terasa asing, sontak hal itu membuat kedua matanya membulat kaget.

"Tempat apa ini?"

Adeline segera menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, ia baru sadar jika gaun yang ia pakai semalam sudah berganti dengan kemeja kebesaran milik seseorang. Tentu saja hal itu makin membuat Adeline berpikir aneh-aneh. Pasalnya ia baru saja terbangun di kamar seseorang dengan kemeja kebesaran yang jelas bukan miliknya.

Tiba-tiba ia teringat kejadian dimana sebelum ia pingsan karena mabuk. Benar, Jacob.

Ia memastikan keberadaan pria itu di seluruh penjuru ruangan, namun ia tidak menemukan siapapun disana. Adeline terdiam untuk beberapa saat, kemudian ia berinisiatif untuk turun dari ranjang dengan jantung berdegup dan juga rasa khawatir yang merasuki perasaannya.

Helaan nafas lega keluar dari mulutnya, ternyata apa yang ia takutkan tidak terjadi. Ya, Adeline memastikan jika selangkangannya tidak terasa sakit ketika ia bergerak, karena apa yang ia tahu jika seorang wanita yang baru saja pecah perawan, timbul rasa sakit dan perih di antara pahanya. Dan beruntungnya ia tidak merasakan hal itu. Berarti Jacob tidak melakukan apapun padanya semalam. Pria itu pasti membawanya kemari karena tidak tahu harus memulangkannya kemana. Dan mengenai kemeja kebesaran ini, mungkin saja semalam ia muntah. Adeline berusaha berpikir positif tentang itu, dan mengenai siapa yang memakaikan kemeja ini ke tubuhnya, Adeline tahu Jacob pasti tidak punya pilihan, kan?

Dari yang Adeline tahu meski semalam adalah pertemuan pertama antara dirinya dan Jacob, pria itu adalah pria yang baik dan menyenangkan. Jacob tidak mungkin melakukan hal buruk padanya, buktinya ia baik-baik saja sekarang. Jika pria itu bermaksud buruk padanya, mungkin ia sudah berakhir dalam keadaan naas.

Pria itu tidak meninggalkan jejak seperti selembar kertas dan lainnya jika dialah yang membawanya kemari. Padahal Adeline hanya ingin berterima kasih. Semoga suatu hari nanti ia bisa bertemu dengan pria itu lagi karena sudah membawanya ke kamar ini tanpa melakukan apapun padanya.

Melupakan Jacob, Adeline baru ingat jika ia harus pergi kerja pagi ini, ia pasti sudah terlambat. Dirinya pun bergegas meninggalkan kamar itu dengan kemeja kebesaran itu. Ya, Adeline tidak punya pilihan lain selain menahan malu. Dan baru ia sadari ternyata kamar itu juga menjadi satu dengan klub yang ia datangi semalam.

Adeline memesan taksi untuk pulang ke apartemennya. Kan tidak lucu dirinya ke kantor hanya mengenakan kemeja kebesaran itu. Beruntungnya letak apartemennya berada tidak jauh dari klub tadi. Dengan kecepatan super, Adeline membersihkan diri dengan kilat dan memakai kemeja putih dengan dipadukan blazer dan juga rok span di bawah lutut. Adeline tidak lupa membawa kartu pengenalnya dan langsung ia gantungkan ke lehernya.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit, ia sudah terlambat. Lebih baik terlambat daripada membolos kerja. Adeline hanya memakai riasan simpel dan kemudian memesan taksi kembali untuk membawanya pergi ke kantor dengan selamat. Tidak butuh waktu lama, Adeline tiba di kantornya. Setelah membayar ke driver taksi, Adeline bergegas masuk ke dalam. Tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya, Adeline terus berjalan menuju ruangan dimana divisinya berada.

Klik!

Adeline berhasil absen di mesin kehadiran di ruangan divisinya pada pukul delapan pas. Jadi ia terlambat tepat satu jam. Adeline menghela nafas lega, namun ia tidak sadar jika saat ini semua orang yang berada di divisi itu tengah memusatkan pandangan mereka ke arahnya. Setelah menyadarinya, Adeline pun meringis.

"Maaf teman-teman, aku terlambat," ucap Adeline meminta maaf kepada teman-teman sedivisinya.

"Tidak apa-apa, Adeline. Kami memakluminya kok," ujar Christ menjawab dan kemudian menahan tawa diikuti teman-temannya yang lain. Adeline mengernyitkan dahinya heran, namun ia berusaha tidak memikirkan hal itu dan segera duduk di kursinya.

Tidak berapa lama Lia menghampirinya dan seperti ingin memberitahukan sesuatu.

"Adeline, apakah kau tidak melihat grup chat divisi kita pagi ini?"

"Grup chat?" Adeline menggelengkan kepalanya. Ia tidak ada waktu untuk membuka ponsel karena kejadian tadi. "Memangnya kenapa?"

Lia menunjukkan layar ponselnya ke arah Adeline. "Fotomu dengan sesosok pria tersebar di grup chat. Bahkan bukan hanya di grup chat di divisi kita saja, tapi seluruh kantor mengetahuinya."

Adeline membeku di tempatnya. Itu memang dirinya, dan pria di sampingnya yang nampak misterius itu karena tidak kelihatan wajahnya adalah Jacob. Keadaannya amat berantakan, foto itu diambil di dalam kamar yang ia tiduri. Tapi bagaimana foto ini bisa tersebar kemana-mana?