"Kamu dan Panji."
Butuh waktu sekitar sepuluh detik bagi Laras agar bisa menarik kembali fokus yang tiba-tiba berhamburan.
"Aku?" tanyanya sekali lagi. Berharap ia hanya salah paham saja.
"Iya, kamu sama Panji." Iwan menjawab dengan tenang. Ada senyum jumawa pada wajah pria itu. Seakan ia puas dengan hal ini.
"Kenapa harus aku? Aku kan gak saling kenal sama Panji, gimana bisa kita tunangan? Jangan ngaco, ya, Paman. Aku cuma mau Randi, gak mau yang lain!" Alis Laras mulai menukik. Detak jantungnya mulai terasa lebih cepat dari biasanya.
"Laras!" Yuni menyentak. Ia menyenggol lengan Laras dengan sikutnya.
"Begini, Laras." Satya mengambil alih untuk berbicara.
"Baik Saya, Widia ataupun Panji sudah tahu mengenai keadaan kamu sekarang. Jadi, ketika saya memutuskan untuk menyetujui perjodohan ini, itu artinya kami bersedia untuk menerima kamu apapun keadaannya." Satya berucap dengan lembut dan tenang. Berharap Laras bisa menerima semua ini tanpa ada amarah sama sekali.
"Loh? Menyetujui? Memangnya kapan aku minta dijodohkan? Aku gak pernah mau dijodohkan dengan siapapun karena aku punya pacar!" Laras berujar tegas. Matanya menatap semua orang dengan tajam.
"Laras! Jaga ucapan kamu!" Yuni kini berani untuk mencubit lengan Laras.
"Apa Bibi dalang di balik semua ini?! Oh, atau memang baik Bibi ataupun Paman sengaja mau merawat aku karena untuk dijodohkan dengan dia?!" Laras benar-benar marah. Dia bahkan menunjuk Panji dengan jari telunjuknya.
Yuni segera menepis tangan Laras agar berhenti menunjuk Panji. "Jangan malu-maluin, Laras!"
"Gak! Aku gak akan mau dijual sama kalian. Jangan kira aku bodoh karena gak tahu kebusukan kalian, ya! Aku tahu kalau Bibi cuma mau menjual aku berkedok perjodohan agar perusahaan Bibi bisa dapat investor besar dari Om Satya iya kan??!"
Yuni mengetatkan rahangnya. Ia menatap tajam Laras. "Hei, bodoh! Kamu kira saya mau mengatasnamakan perusahaan saya untuk menutupi aib kamu?! Asal kamu tahu, ini semua permintaan ibu kamu sendiri sebelum dia meninggal. Seharusnya kamu sadar diri! Kamu sudah tidak ada harganya lagi sebagai perempuan. Kamu sudah ternodai, kamu sudah tidak pantas bahkan untuk bersanding dengan Panji. Tapi lihat? Keluarga Panji bahkan masih mau melanjutkan perjodohan kamu padahal mereka tahu kalau kamu itu sudah rusak!!"
Plak!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Yuni, Laras pelakunya. "Jaga mulut Bibi!!"
"Berani kamu tampar saya?!!"
Plak!! Plak!!
Yuni membalas dengan dua kali tamparan di pipi kanan dan kiri Laras. Dia berdiri, menatap Laras dengan nyalang. "Mau kamu apa?! Saya sudah menerima kamu di rumah, menganggap kamu sebagai anggota keluarga, mencari solusi atas permasalahan kamu, tapi ini balasannya?!! Kamu tidak tahu yang namanya sopan santun, iya Laras?!!
Laras menunduk. Ia berusaha keras untuk meredam emosinya yang memuncak. Menahan segala hasrat di mana ia ingin sekali mendorong Yuni dan membenturkan kepala wanita itu pada sudut meja yang lancip.
"Kenapa diam saja?!! Jawab! Ayo tampar saya lagi! Akan saya pastikan hidup kamu lebih kacau dari sekarang, Laras! Atau kamu mau saya kirim ke neraka untuk menyusul ibu kamu?!"
Cukup sudah!
Laras tidak kuat mendengar teriakan serta caci maki dari Yuni. Maka tanpa kata, dia berdiri dari tempatnya, segera berlari ke sembarang arah agar terhindar dari teriakan Yuni yang terus menyerukan namanya.
"LARAS!! MAU KE MANA KAMU!!"
Keluar dari area restoran, menyebrang sembarangan dan dihadiahi umpatan-umpatan keras oleh para pengguna jalan. Laras tidak peduli, yang ia mau hanya pergi dari Yuni. Wanita bak iblis yang selalu menyalahkan dirinya. Kepala Laras masih pening, namun bersyukur sebab kini ia tak menangis lagi. Mungkin sedari tadi Laras tidak bisa berhenti untuk menancapkan kuku panjangnya pada lengan. Tapi setidaknya, Laras tidak menangis. Dan orang-orang tidak akan menganggap Laras sebagai orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa.
"Huh!!" Laras menghembuskan napas berat ketika ia mendudukkan dirinya pada sebuah bangku taman yang sudah usang.
"Sial! Ponselku ketinggalan," rutuknya ketika menyadari bahwa ponselnya masih disita oleh Yuni. Kalau saja ia membawa ponsel, sudah pasti akan menghubungi Nindy agar menjemputnya. Pasti perempuan itu juga bertanya-tanya, mengapa Laras tidak bisa dihubungi sejak peristiwa di kantor polisi itu.
Langit Jakarta masih cerah, cerah sekali bahkan. Terik sinar matahari membuat kulit Laras sedikit terbakar. Tapi tidak masalah, dia tidak mau beranjak dari taman ini. Taman dengan sepi pengunjung. Sangat cocok untuk dirinya yang perlu ketenangan diri.
"Randi, aku kira kamu yang akan datang untuk dijodohkan denganku, nyatanya bukan." Laras berucap pada sebuah gelang serut emas yang dikenakannya. Gelang itu diberikan Randi sebagai hadiah ulang tahun Laras kemarin. Sayang, belum dipakai, tapi orang yang memberikan sudah menghilang.
Sedang menyelami pikirannya yang keruh, Laras merasakan ada seseorang yang duduk di sampingnya. Ketika menoleh, Laras tersentak. "Kamu?"
"Gak baik melamun sendirian di taman sepi." Laras mendengus melihat Panji yang berbicara tetapi tidak menatapnya.
"Kenapa kamu ke sini? Pasti disuruh sama bibi, iya kan?" tuding Laras.
"Jangan berburuk sangka pada bibimu sendiri." Laki-laki itu masih belum menatapnya. Dia hanya menatap lurus pada hamparan rumput-rumput liar di depan. Dengan sorot matanya yang hangat juga teduh, Laras dapat melihat kalau Panji adalah laki-laki penyabar. Buktinya, di dalam nada bicaranya, tidak sedikitpun tersirat emosi padahal Laras sudah kesal sendiri.
"Gimana nggak? Dia itu bibiku, tapi dia mau memanfaatkanku hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Dia pasti menjodohkan aku dengan kamu itu supaya Om Satya mau jadi investor tetap di perusahaannya. Ini sama aja kayak dia ngejual aku kan? Pantas aja tiba-tiba bibi muncul dan mau merawat aku ketika orang tuaku meninggal. Ternyata, ada banyak maksud tersirat dari sikap baiknya. Memang, bibi Yuni bukan orang baik. Entah aku maupun ibuku, nggak pernah berhubungan baik sama dia." Laras menjabarkan rasa kesalnya. Masa bodoh jika Panji geram, malah bagus karena Laras masih mau sendirian di sini.
Belum ada tanggapan dari Panji. Dia masih menatap ke depan, tapi ketika laki-laki itu menoleh dan menatap Laras dengan sorot matanya yang tenang, saat itu juga Laras merasakan sebuah kehangatan. "Laras," panggilnya.
"Kamu tahu? Perjodohan kita bukan atas kemauan bibi maupun paman kamu. Tapi kemauan mendiang ibumu. Dia sudah merencanakan ini jauh-jauh hari sebelum dia pergi. Dan saya, sudah mengenal kamu sejak lama. Mungkin kamu tidak mengenal saya, tapi saya cukup mengenal baik kamu. Jadi, tolong, terima perjodohan ini, ya?"
"Kenapa aku harus?"
Ada jeda sebelum jawaban Panji yang membuat jantung Laras terasa seolah ingin lepas. "Karena saya mencintai kamu."