Duduk di ujung meja kasir sembari memijat pergelangan kakinya adalah kegiatan yang tengah dilakukan oleh Lena. Jam kerja kafe ini sebentar lagi selesai, begitupun dengan semua kerjaannya yang tinggal sedikit lagi akan selesai. Namun, sebelum menyelesaikan pekerjaan itu, dirinya memilih untuk beristirahat sejenak, lantaran kakinya sudah terasa tidak kuat untuk bergerak.
Hanya saja, ia tak bisa banyak beristirahat setelah mendengar dari salah satu pegawai jika dirinya dipanggil menuju ruangan Jay. Pun Lena langsung berdiri dan berjalan ke sana, dirinya juga bertanya-tanya apa yang membuatnya dipanggil. Padahal pekerjaannya juga tidak ada yang salah. Dan detik berikutnya, ia kembali merasa jika ini ada hubungannya dengan keterlambatannya tadi siang. Lena hanya mampu menepuk dahinya sendiri ketika membuka pintu ruangan Jay.
"Bapak memanggil saya?" tanya Lena.
Laki-laki dengan setelan kasual itu tengah melihat luar kafe dari jendela ruangannya. Ia menyuruh Lena untuk duduk di sofa, karena ada hal penting yang ingin dia tanyakan pada pegawai barunya itu. Dirinya menyusul Lena dengan ikut duduk di sofa yang berukuran lebih kecil. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku blazernya, menarik nafas sebelum bersuara.
"Loker siapa yang kau pakai?" tanyanya langsung.
Yang tadinya Lena menunduk, ia langsung mengangkat dagunya dan memperhatikan sang atasan dengan kedua netra yang terbuka lebar. Dia agak terkejut dengan pertanyaan itu, karena tidak sesuai dengan apa yang ada dipikirannya. Itu juga melegakan untuk Lena karena ia rasa tidak akan mendapatkan masalah dari keterlambatannya itu. Dan untuk pertanyaan itu, Lena saja tidak tahu siapa pemilik sebelumnya loker yang ia gunakan saat ini. Saat pertama kali bekerja, hanya loker itu yang kosong, dan dia juga butuh tempat untuk meletakkan barang-barangnya.
Kedua mata Lena bergerak acak, ia tersenyum tipis dengan air muka yang sedikit kebingungan. "Maaf, pak. Tapi, saya tidak tahu siapa pemilik loker sebelum saja," jawab Lena dengan sopan.
"Apa tidak ada nama yang tertempel di sana? Atau mungkin sesuatu yang ditinggal?"
Lena terdiam beberapa saat, dirinya tengah mengingat benda apa saja yang berada di dalam loker itu.
"Tidak ada nama yang tertempel di sana," Lena menjeda ucapannya, ia menarik nafas panjang dan kembali melanjutkan ucapannya. "Namun, ada sebuah foto yang tertempel di sana," tukasnya.
Detik itu juga raut wajah Jay berubah, ia pun menegakkan punggungnya ketika mendengar jawaban Lena itu. Agak khawatir jika foto itu adalah fotonya bersama dengan kekasihnya yang menghilang. Jay berusaha untuk bersikap biasa saja, walaupun sedikit terlihat tegang.
"I-itu bukan foto yang seharusnya kau lihat,"
"Memangnya kenapa, pak?" Lena mengerutkan dahinya. "Itu hanya foto boneka beruang coklat dan buket mawar merah. Lagipula, foto itu berdebu, pasti sudah lama tertempel di sana,"
Jay menelan ludahnya, ia salah kira. Ia pun terkekeh kecil untuk menutupi rasa malunya. "Tentu saja, foto itu bukan milikmu. Seharusnya, kau menyadari itu," alibi Jay.
Tepat setelahnya, Jay menyuruh pegawainya itu untuk keluar dari ruangannya. Dia rasa cukup untuk mengetahui hal itu.
-
-
-
Lena sempat menoleh ke arah pintu ruangan Jay yang sudah tertutup. Bukan karena tertarik dengan pintu itu, melainkan heran terhadap atasannya. Hanya karena sebuah foto yang tertempel di lokernya, ia sampai dipanggil seperti ini. Lena memutar bola matanya jengah, dan berniat pergi dari sana. Baru beberapa langkah, ia kembali terhenti saat menyadari persoalan obrolannya dengan Jay. Entah kenapa, ia menaruh rasa sedikit curiga jika Jay seperti menyimpan sesuatu yang berhubungan dengan foto di lokernya.
"Tidak mungkin dia yang menempelkannya," gumam Lena saat berjalan kembali ke kasir.
Dia terduduk dengan kedua tangan berada di meja, masih memikirkan hubungan antara foto itu dengan Jay. Tanpa ia sadari, para pegawai di sini sudah berkurang, hanya tinggal tiga orang yang masih berada di dapur. Pun akhirnya, Lena bergerak pergi untuk bersiap pulang. Hari ini bukan dia yang bertugas mengunci seluruh pintu kafe.
Karena jam kerja yang telah berakhir, Lena menggerai rambutnya dan mengambil ikat rambut yang biasa ia gunakan pada saku kemejanya. Berdiri cukup lama sembari memeriksa ponsel. Tak lama, ia merasa sebuah tangan yang menyentuh pundak kanannya dan memanggil nama seseorang.
"Hana," panggil orang itu.
"Saya Lena, pak," ucap Lena setelah memutar tubuhnya dan mendapat Jay berada di belakangnya.
Keduanya sama-sama cukup terkejut dan saling memandang. Terdiam beberapa detik sebelum akhirnya Lena memilih untuk pergi dari tempat itu, dan meninggalkan Jay berdiam diri di ruangan itu.
Berhasil keluar dari kafe, Lena masih terbawa dengan keadaan terakhirnya di dalam sana. Dia sempat menatap lekat wajah Jay, bagai mayat hidup. Dan juga, ia mendengar saat Jay memanggil nama 'Hana', yang bahkan Lena sendiri tidak tahu siapa orang dengan nama itu. Nama itu pasti dimiliki oleh seorang perempuan, jika Lena menebak, pasti gadis itu orang yang berkesan untuk Jay. Kekasih, mungkin?—begitulah yang ada di kepala Lena.
Selepas lima belas menit, akhirnya Lena mendapatkan taksi untuk ia pulang. Saat di dalam, ia menoleh ke arah kafe dan melihat Jay yang berdiri di depan pintu kafenya. Seketika kedua alis Lena terangkat heran. Walau taksi sudah mulai meninggalkan tempat kerjanya, Lena masih menatap kafe. Tidak, lebih tepatnya Jay. Tidak mungkin secara tiba-tiba jalan hidupnya berubah menjadi horor. Ketika dirinya menyandarkan tubuh, dia rasa memang hidupnya akan berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. Di film, kejadian seperti ini pasti salah satu dari pasangan itu meninggal dan dia bertemu dengan orang baru yang serupa dengan orang yang telah meninggal itu. Atau jangan-jangan, Lena mirip dengan wanita bernama Hana yang tadi sempat Jay sebutkan namanya.
"Wah, bagaimana jika itu benar terjadi?" tanyanya pada diri sendiri dan sedikit merasa khawatir. "Pantas saja, foto itu sudah berdebu. Pasti sudah lama tidak ada yang menggunakan loker itu. Bagaimana ini?"
Gadis itu sedikit menjambak rambutnya, kedua matanya terpejam ketika mencoba memikirkan hubungan antara foto itu dengan Jay, dan juga wanita bernama Hana. Dia ini baru saja bekerja di kafe itu untuk melunasi hutang-hutangnya dengan Jay dan Steve, Lena tidak ingin tidak dapat bekerja dengan tenang jika nantinya arwah Hana akan mendatanginya karena lokernya ia gunakan.
"Lagipula, Jay itu bagaimana, sih? Jika ada pegawai yang sudah meninggal, seharusnya dia bisa memeriksa fasilitas apa yang digunakan oleh orang itu. Paling tidak dibersihkan dari sisa-sisa terdahulu," racaunya tidak jelas.
Akhirnya, Lena terdiam setelah lelah memikirkan semuanya. Ia menatap jalanan luar yang terlihat tidak terlalu jelas karena tak lama sebelumnya turun hujan deras hingga saat ini. "Rasanya aku tidak ingin berangkat bekerja besok," cicitnya.