Sudah seminggu lebih sejak gadis itu memulai ujiannya, pun dirinya berhasil mendapat kelonggaran waktu dari tempatnya bekerja. Pun pribadinya juga diizinkan bekerja tiga puluh menit lebih lambat dari biasanya. Layar laptop yang berdenyar tengah menampilkan materi yang tengah dibaca dalam diamnya. Duduk bersila di lantai, dengan sebuah kursi menjadi pengganti meja untuk barang miliknya. Ruangan penuh loker ini menjadi saksi bisu keseriusan Lena dalam mengejar gelar sarjananya.
Barang sedikitpun iris gadis itu sama sekali tidak terputus dari semua tulisan yang tampil di sana, bahkan hingga membuat kedua alisnya bertautan. Tangan kanan bertugas pada touch pad, dan jari lentik kirinya bertugas membuka lembaran demi lembaran sebuah buku yang tebalnya melebihi dua ratus halaman. Hingga saat maniknya terasa lelah, daksanya dibawa untuk bersandar pada loker di belakangnya. Kepalanya juga turut ia sandarkan hingga timbul suara gebrakan kecil.
Sudah tiga puluh menit berkutat di tempat ini, waktu untuk belajarnya juga sudah habis tuntas. Tangannya bergerak guna merapikan semua sebelum keluar dengan sikap yang siap untuk bekerja. Lengannya menutup pintu ruang itu, menciptakan suara deritan dan debuman saat tertutup. Begitu ia menapakkan sepasang tungkainya pada lantai kasir, maniknya merasa menangkap seseorang yang tak asing baginya. Lena sendiri hanya mampu memandang dari kejauhan, hingga pada akhirnya Dita memberitkan teguran padanya agar menghampiri presensi yang sudah menunggunya selama sepuluh menit tanpa memesan apapun.
Keningnya berkerut lantaran terkejut, rupanya memang benar ia merasa tak asing dengan punggung Doni. Lantas rungkaunya menghampiri presensi temannya yang tengah menatap keluar kafe, membawa dirinya untuk langsung duduk tepat di belakangnya. "Kenapa kau datang?" tanyanya dengan kedua tangan yang terlipat di atas meja.
"Akhirnya kau keluar," Doni memutar tempat singgahnya menghadap gadis itu. "Aku ingin mengajakmu belajar bersama," ajaknya.
"Kau menungguku selama sepuluh menit hanya untuk mengajakku belajar bersama? Seperti anak kecil saja,"
Tak ada kalimat apapun yang Doni lontarkan, ia hanya terdiam memandang Lena tanpa alasan.
"Lagipula, aku juga sudah belajar," tambahnya lagi.
Sebuah hembusan nafas panjang berasal dari laki-laki itu. Lantas bangkit dari kursi dan berniat untuk pergi meninggalkan tempat ini. Hal itu memicu kerutan di dahi Lena yang penuh dengan kebingungan. Doni baru saja menyusahkan diri untuk melakukan adegan seperti ini. Diperhatikannya ketika tungkainya berhenti di ambang pintu, menoleh kembali ke belakang guna menatap Lena.
"Tak ada yang baik di sekelilingmu, selain aku," pungkasnya yang langsung meninggalkan lokasi.
Sempat mematung untuk waktu beberapa menit saat pikirannya melayang dan menelaah ucapan temannya itu. Sampai akhirnya ia tersadar setelah seseorang menepuk salah satu pundaknya, yang rupanya adalah Steve.
"Kembalilah, sebelum kau mendapat teguran dari pegawai lainnya," tuturnya.
Pandangan keduanya saling bersirobok, Lena tengah menelisik adanya sikap lain dibalik kalimat yang dilayangkan Steve barusan, hanya sampai ia tersadar dan kembali pada pekerjaannya. Bahkan, ia dapat merasakan ketulusan dari orang-orang di sekitarnya, dan menganggap jika Doni hanya merasa iri, karena mereka berdua tidak memiliki waktu bersama lagi seperti sebelumnya.
Kau terlalu jauh untuk ikut campur dalam urusanku, Don—batinnya.
-
-
-
Memang ini jatahnya untuk beristirahat, pasalnya keadaan kafe yang tidak ramai hari ini, menjadikan waktu lebih untuk semua pegawai berisitirahat. Begitu juga dengan gadis yang saat ini tengah melamun, pikiran yang entah ia layangkan pada apa. Tangan yang digunakan untuk menopang dagunya mendadak turun, irisnya bergulir pada ruangan dimana tasnya tersimpan. Daksanya bangkit guna mengambil gawai di sana.
Pikiran yang mendadak kacau sebab ucapan singkat Doni itu cukup membuatnya enggan melakukan banyak pergerakan. Bahkan, diajak mengobrol dengan teman pergosipannya pun tidak seantusias biasanya. Terlihat gamang, namun enggan menunjukkan.
Netranya meniti setiap kotak lantai dari pintu menuju loker. Hingga pada saat terhenti pada sebuah keramik yang pecah, sepasang tungkai bersepatu itu berhenti. Secarik kertas yang menarik atensinya berada tepat di bawah pecahan itu. Bohong jika Lena tak tertarik untuk mengambil. Mengamati keadaan sekitar yang tak menunjukkan adanya presensi lain berkeliaran di sini, membuat Lena terbesit sedikit keyakinan jika tak ada pemilik dari secarik kertas ini.
Mengabaikan gawainya sejemang, gadis itu mencari sudut tenang ruangan ini untuk menyadarkan punggungnya. Niatannya ini sudah hampir sampai tujuan membuka isi kertas itu, namun terhenti saat suara gaduh dari pintu merangsak ke dalam gendang telinga. Secepat kilat telapak tangannya digunakan untuk menutupi keberadaan kertas itu.
"Di sini kau rupanya," nampak seorang pegawai masuk dan menemuinya dengan berkacak pinggang disertai ekspresi seorang pengatur. "Selesaikan tugasmu, seorang anak kecil baru saja menumpahkan minumannya," tambahnya yang seketika meninggalkan Lena sendirian.
Lena bermain dengan lidahnya dibalik labium merah mudanya, pun kelopak matanya mengerjap beberapa kali. Tungkainya lebih dulu berhenti pada loker, melempar asal kertas yang ia temukan sebelum mengambil ponselnya. Hembusan nafas yang kuat adalah salah satu caranya untuk meredam emosi. Dibawa pergi sepasang tungkainya serta wajah kecutnya keluar ruangan, mengubah cepat dengan senyuman dihadapan para pelanggan.
Ada sedikit tumpahan saat Lena meletakkan ember yang berisi air dekat meja pelanggan, seorang gadis kecil duduk di bangku khusus untuk tubuhnya yang mungil. Atensi Lena terpatri pada ibu dari anak itu yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Iya, memang keponakannya sendiri yang menumpahkan minumannya ke lantai.
Tak hanya bibir, kedua matanya pun itu tersenyum kala melihat dua pipi milik keponakannya yang memantul lembut kala mengunyah potongan bronis kecil. Lantas merendahkan diri untuk mensejajarkan dengan tinggi kursi keponakannya. Tersenyum hangat seraya mengusap lembut surai panjangnya.
"Len," panggil sang kakak ketika tersadar akan kehadiran Lena.
Gadis itu bangkit dan memberikan senyumannya juga pada sang kakak. Sepasang tangannya bergerak untuk membersihkan minuman milik keponakannya. Entah kenapa, yang tadi dadanya berkecamuk, seketika luntur melihat wajah imut nan lugu keponakannya. Ia rasa, perasaan yang tadi menghantamnya sirna.
"Kenapa tidak mengabari jika akan datang ke sini?" tanya Lena.
"Bahkan, aku tak memiliki nomor ponselmu," jawab sang kakak yang langsung menyerahkan ponselnya pada Lena. "Berikan aku ponselmu," pungkasnya.
Astaga, Lena rasanya ingin berteriak. Padahal, ia kira tadi kakaknya akan kesal ketika ia bahas soal nomor ponsel. Pasalnya, sebelum ini Lena pernah meminta nomor ponsel kakaknya lebih dulu, sayang ia ditolak mentah-mentah. Beruntung, sekarang kakaknya yang dengan sukarela menyerahkan ponselnya untuk menyimpan nomor Lena.
Jari-jarinya mengetik, bibirnya tersenyum senang. Apalagi sang kakak memperbolehkan dirinya memberi nama kontak sesuka hatinya. Tentu saja, ini menjadi kebahagiaan tersendiri yang ia dapatkan hanya dari sang kakak. Lantas, ketika ponsel itu dikembalikan, hatinya merapalkan doa agar keadaan semakin baik nantinya. Ia ingin hubungannya dengan sang kakak kembali seperti dulu.