Kotak berwarna oren yang dengan sengaja diisi dengan macam-macam pakanan berada pada genggaman. Dibawa menuju sebuah tempat yang tak asing bagi entitasnya. Tungkai bersepatu hitam itu membawa daksanya pada sebuah meja yang sering dipakai untuk melakukan transaksi pembayaran. Berlakon mencari seseorang yang dengan sadar ia mengetahui tak ada sosok yang dicari.
"Permisi, apa Lena ada?" tanyanya dengan sopan.
Penjaga kasir yang sebelumnya pernah ia lihat turut bangkit dari singgahnya lantas tersenyum simpul. Wanita yang nampak seusia dengannya meninggalkan sejemang menuju dapur. Kedua netra Rana melirik ke setiap sudut ruangan demi mencari presensi laki-laki yang mampu membuatnya rela melakukan hal ini. Hanya saja, ketika pandangannya terarah pada luar kafe, ia terpatri pada dua insan berlawanan jenis tengah bersama.
Tak perlu untuk menunggu lagi, Rana membawa tubuhnya keluar guna mencari jarak aman dari dua orang di sana. Bukan ide buruk ketika gadis itu mengamankan dirinya dibalik dinding dengan tangan yang sibuk memegang gawai. Indera pendengarannya juga ia andalkan untuk menangkap semua pembicaraan yang bisa didengar. Mungkin memang tak akan tertangkap jelas, pasalnya jarak ia bersembunyi dengan targetnya seukuran dengan panjang dua mobil. Terlebih suasana bising dari mesin kendaraan.
Rasa geram itu mulai timbul ketika suara menjadi samar dan hampir sirna. Saat naluri berkata untuk menoleh, dua presensi tadi hilang entah kemana. Terkejut pun kecewa, lantaran ia hanya mengandalkan rungunya. Rana menghentak kaki kanannya serta menegaskan rahang serta tangannya yang terkepal. Keadaan yang tak memuaskan hatinya, membuat dirinya enyah dari sana dan kembali masuk selepas mengingat kotak miliknya yang tertinggal. Langkahnya baru saja berhenti, karyawati yang sebelumnya telah berbincang dengannya membawakan kabar perihal Lena yang absen dari pekerjaan. Selain itu, Rana diberikan barang yang sempat tertinggal.
Tak ada urusan lagi eksistensinya di sini, tepat setelah mengangkut kotak bekal itu, Rana berniat membawa tungkainya meninggalkan lokasi. Sayangnya, ia terhenti setelah seorang pemuda menghalang langkahnya untuk keluar kafe. Hendak melangkah jauh, secara mendadak terdapat suara yang mengudara marangsak ke dalam gendang telinganya.
"Bukankah kau sepupu Lena?" tanya pribadi itu.
Dari helaian rambut hingga ujung sepatu yang digunakan, Rana sama sekali tak mengenal presensi yang berpijak di hadapannya. Bukankah keterlaluan jika seorang penguntit mengenalinya sepihak? Apalagi jika memiiki niatan lain yang membahayakan.
"Siapa kau?"
"Jay," laki-laki itu memberikan jeda pada kalimatnya, memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku sekaligus menatap pada kotak yang Rana bawa. "Apa kau mencari Lena? Dia tidak bekerja hari ini," tukasnya.
"Aku tahu. Dia yang menyuruhku ke sini," ketusnya yang mengalihkan pandangan.
Masih ada air muka tak mengenakkan yang menempel pada parasnya. Masih soal Steve yang bersama dengan Mina tadi. Pantas saja jika akhir-akhir ini Mina tak pernah menunjukkan batang hidungnya di area kost. Rupanya, mencoba untuk merebut miliknya.
"Lalu, untuk apa kau ke sini?"
Melihat Steve yang berjalan ke kafe, Rana memutar tubuh Jay dan mendorongnya dari belakang. Sampai berada di satu ruangan yang belum pernah ia masuki. Cukup tercengang, lantaran hanya ada mereka berdua di ruangan sepi ini, membuat Rana berspekulasi jika ia baru saja melakukan hal bodoh—kendati Jay sudah mengenalnya lebih dulu.
Pribadinya menjauhi tubuh laki-laki itu, lantas berdeham guna menetralkan tenggorokannya. Irisnya agak mendongak sesaat melihat Jay menatapnya dengan tatapan heran. Bahkan, Rana sendiri juga terheran dengan dirinya sekarang. Dua-duanya juga tak memiliki obrolan apapun, sampai pada akhirnya Jay yang membuka suaranya lebih dulu.
"Kau menghindari Steve, yang pada kenyataannya kau menyukainya?" tanyanya bersamaan dengan melipat tangan di depan dada.
"Tidak usah sok tahu," balas Rana.
"Tapi wajahmu mengatakannya semua,"
Rana mendengus kasar, gadis itu melolok sosok yang ia hindari dari dalam ruangan ini. Terjebak di ruangan ini semakin lama membuat Rana tidak nyaman, ditambah Steve yang tak kunjung pergi dari kafe ini—walaupun tadi ia mengharapkan eksistensinya—Rana sampai melempar pelan kotak bekal itu ke atas meja kerja Jay hingga isinya tampak berantakan.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Jay secara tiba-tiba.
"Dia masih terlihat tampan, dan tak ingin pergi dari sana,"
Yang tadinya Jay menunduk guna menunggu jawaban Rana, ia malah mendongak penuh keheranan. Untuk apa dia menanyai keadaan Steve jika mereka saja berada di dalam satu rumah yang sama. Mendadak kepalanya pening, ia menyentuh pangkal hidungnya lantaran kehabisan kata-kata. Memang dia yang salah menanyakan pertanyaan itu. Pribadinya memberikan gestur jari-jari tangan yang menghempaskan angin—untuk melupakan apa yang sudah tidak dia inginkan.
Tungkainya melangkah pada kursi kerjanya, meletakkan bantalan duduk bersamaan bersandar nyaman. Masih melihat tingkah sepupu Lena yang, entahlah bagaimana menyebutnya. Yang ia yakini sangat berbeda dengan Lena.
Selang beberapa menit, daksa gadis itu memutar menghadap Jay. Tak ada tanda-tanda sebelumnya, secara tiba-tiba membawa langkahnya mendekati pemilik kafe ini. Pun Jay sampai mengerutkan alisnya, merasa was-was. Jari telunjuk Rana mengarah pada wajahnya. Mungkin setelah inj Jay sudah memiliki julukan yang tepat untuk gadis itu—gadis gila.
"Kau mempekerjakan Lena seperti budak, kan?" tuduhnya tanpa basa-basi.
"Tidak usah sok tahu," balasnya dengan nada bicara yang sama seperti Rana lakukan sebelumnya.
"Saat pulang, wajahnya tampak seperti seseorang yang akan kehilangan nyawanya,"
Detik itu juga, kedua manik coklatnya menyalang. "Kau bukan manusia," tuturnya singkat dan beralih pada pekerjaannya yang jauh lebih menarik daripada obrolan mereka.
Rana memutar matanya jengah, ia juga melepaskan nafas panjang dan memberikan sedikit gebrakan pada meja Jay, menyadarkan laki-laki itu dari pekerjaannya. Kesepuluh jarinya mengambil kotak bekal yang berada di atas meja.
"Baiklah, aku sudah selesai menanyaimu. Kau memang bos yang keras. Beruntung, aku tak tertarik padamu,"
Tak mengeluarkan kata-kata lagi, dia menghilangkan eksistensinya dari ruangan Jay. Kaki jenjangnya mengarah pada pintu kaca, dan tak menghadap belakang barang sedikitpun. Bahkan, ia juga mengabaikan Steve. Suasana hatinya sedang tidak bagus, tak ingin memberikan sapaan pada siapapun lagi. Rumah adalah tujuannya saat ini.
Tanpa ia sadar jika Steve juga sudah menyadari keberadaan dirinya ketika Rana memasang wajah masam setelah keluar dari ruangan Jay. Daksanya tak akan membawanya untuk mengejar, lantaran ia memilih untuk memasuki ruangan temannya. Karena pada dasarnya, itu adalah pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Disamping itu, Steve penasaran dengan obrolan keduanya, yang mana ia mengetahui jika Lena hari ini tidak berangkat bekerja. Dugaannya tidak mengarah pada Lena.
"Jay, ada urusan apa dia datang ke ruanganmu?" tanya Steve saat membuka pintu.
"Hanya mampir untuk menuduh," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya.