Vivi dan Kia akhirnya sampai juga di Bank Berkah, tempat Haruna bekerja. Vivi menuntun Kia ke depan meja teller. Haruna tersenyum melihat Kiara datang bersama Vivi. Sari sedikit merasa heran melihat Kiara memanggil Haruna dengan sebutan Mama.
"Mama," ucap Kia.
Haruna keluar dari belakang meja teller dan duduk bersama Kia dan Vivi di kursi yang biasa dipakai untuk nasabah saat menunggu antrian.
"Mama? Sejak kapan Haruna memiliki anak? Aku tidak mendengar dia menikah?" Berbagai pertanyaan itu berputar dalam pikiran Sari. Ia adalah teman dekat Haruna, bagaimana bisa Haruna tidak mengundangnya jika Haruna memang sudah menikah.
Di dalam ruangannya, Tristan juga penasaran dengan anak kecil itu. Ia menyuruh Levi turun dan mengawasi serta mencari tahu siapa gadis kecil itu. Levi menuruti perintah Tristan tanpa menunggu lama. Levi berdiri di dekat pintu masuk dan mengobrol dengan satpam yang menjaga di dekat pintu. Tujuan utama Levi tentu saja agar bisa mendengar percakapan Haruna.
"Ma, Mama kapan pulang kerjanya? Kia nungguin Mama."
"Maaf, Kak, Vie bawa Kia kesini. Kia tidak mau makan siang, jadi Vie janjiin buat ketemu Kakak, baru Kia mau makan," ucap Vivi.
"Tidak apa-apa, Vie. Kia, sayang, Mama sebentar lagi pulang. Sekarang Kia pulang sama Tante Vie dan tunggu Mama di rumah. Nanti Mama bawakan pizza buat Kia saat Mama pulang." Haruna tidak enak hati melihat pandangan orang-orang terhadapnya dan Kia. Haruna tidak masalah jika mereka hanya merendahkan dirinya. Tetapi ia tidak mau mereka juga merendahkan Kiara. Untungnya Kiara selalu menuruti perintah Haruna. Kiara-pun pulang bersama Vivi.
"Haruna, kapan kamu menikah? Kok sudah punya anak sebesar itu? Kenapa tidak mengundangku kalau kau sudah menikah?"
"Sar, pertanyaanmu itu tidak bisa diucapkan satu-persatu apa? Lagipula … aku tidak menikah. Maksudku belum, be-lum me-nikah," ucap Haruna dengan terbatà.
Levi kembali ke ruangan Tristan untuk melaporkan hal yang ia dengar.
"Bagaimana? Sudah kau cari tahu, siapa gadis kecil itu?"
"Tuan, gadis kecil itu adalah anaknya Nona Haruna," jawab Levi.
"Anak? Bukannya di dokumen lamaran tertulis lajang, kenapa dia punya seorang anak? Apa dia memalsukan statusnya?"
"Menurut yang saya dengar tadi, dia memang belum menikah. Mungkin … anak di luar nikah, Tuan."
"Terlihat seperti wanita baik-baik yang punya harga diri tinggi, tapi ternyata hanya wanita nakal yang memiliki anak di luar nikah." Tristan menyeringai seolah meremehkan Haruna. Haruna di mata Tristan saat ini tak lebih dari wanita murahan. Ia merasa semakin marah karena harga dirinya diinjak-injak wanita seperti Haruna. Tekadnya untuk membalas dendam pada Haruna semakin besar. Amarahnya semakin membara layaknya kayu terbakar yang ditambahkan bensin di atasnya. Berkobar semakin besar dan semakin panas.
"Kirimkan para preman itu ke rumah Haruna, sekarang!"
"Baik, Tuan." Levi segera menelepon kelima preman itu untuk pergi ke rumah Haruna.
Tristan duduk di kursi dengan kedua kaki diangkat dan ia naikkan di atas meja kerjanya. Senyuman misterius tersung*ing di bibirnya. Waktu tiga hari yang seharusnya diberikan pada Kamal dan Haruna kini berkurang satu hari. Tristan sudah tidak sabar untuk menyiksa Haruna.
Jam kerja usai. Haruna segera menenteng tasnya dan berpamitan pada Sari. Ia pergi ke parkiran dan mengambil motornya lalu melaju pulang dengan tidak sabar. Haruna tidak sabar untuk bertemu Kiara. Perasaan bahagia seperti seorang ibu yang ditunggu pulang kerja oleh anaknya di rumah. Haruna tersenyum seolah dirinya benar-benar memiliki anak yang menunggu dirinya pulang. Padahal Kiara baru satu hari ia angkat sebagai anak. Ia mempercepat laju motornya.
***
Di rumah Kamal yang biasanya tenang sore itu mendadak ramai. Kedatangan para preman yang diutus oleh Tristan itu menggemparkan lingkungan tempat tinggal Kamal. Tetangga di sekitar rumahnya berkerumun saat melihat para preman itu masuk ke rumah Kamal dan berteriak-teriak pada Kamal.
"Tuan, tolong jangan sakiti mereka!" Kamal memelas pada ketua preman agar anak buahnya tidak menyakiti Anggi, Vivi dan Kiara. Karena para preman itu mengikat mereka di kursi, Kamal ketakutan melihatnya. Sekujur tubuhnya berkeringat, ia takut jika ketiga wanita itu disiksa.
"Aku hanya mengikat mereka saat ini. Besok kalau kau tidak membayar hutangmu, maka bersiaplah untuk mati!"
Haruna turun dari motornya dan memandang heran. Di depan rumahnya begitu ramai, tidak seperti biasanya. Haruna mendekat dan bertanya pada orang yang berdiri di tempat paling belakang.
"Pak Tobi, kenapa semua orang berkerumun di sini?"
"Haruna, untung kamu sudah pulang. Sana selamatkan keluargamu! Preman itu kelihatannya sangat sadis."
Haruna tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia segera menerobos kerumunan dan terkejut melihat Anggi, Vivi, dan Kiara diikat di kursi dan ayahnya, Kamal, bersujud di depan ketua preman.
"Pa! Apa yang kalian lakukan. Lepaskan keluargaku!" Haruna berteriak memanggil ayahnya dan menarik baju ketua preman. Tetapi ketua preman itu menepis tangan Haruna sampai tersungkur.
"HARUNA!" Anggi dan Kamal berteriak bersamaan saat melihat Haruna tersungkur dan menabrak dinding.
"Aku peringatkan sekali lagi, batas waktu kalian besok malam jam 7. Jika kalian belum menyiapkan uangnya, bersiaplah menerima hukumannya!"
"Bukannya lusa, kenapa kalian mengurangi batas waktu yang kalian berikan?" tanya Haruna. Namun kelima preman itu tidak menjawab dan berlalu pergi meninggalkan rumah Haruna. Para tetangga menyingkir dan memberi jalan untuk para preman. Mereka saling berbisik dan bergosip mengenai keluarga Haruna. Mereka membubarkan diri dari rumah Haruna.
Kamal membuka ikatan tali Anggi dan Haruna membuka ikatan Vivi dan Kiara. Haruna memeluk Kiara dan Vivi dengan khawatir.
"Ma, Mama tidak sakit kan? Tadi Mama nabrak tembok."
"Mama baik-baik saja, sayang. Kia dan Tante Vivi bagaimana? Apa ada yang sakit?"
"Tidak, Kak. Mereka hanya mengikat kami." Vivi bangun dan melihat keadaan ibunya yang terdiam kaku. Anggi syok karena tiba-tiba saja mereka diancam oleh preman. Kamal belum menceritakan kejadian di kedai tadi pagi pada Anggi. Kamal takut jika Anggi terkejut mendengarnya. Kini Anggi sudah tahu dan Kamal pun menceritakan semuanya pada Anggi dan Vivi.
"Kakak sudah tahu masalah ini?" tanya Vivi.
"Ya."
Vivi menghempaskan tubuhnya duduk di sofa. Ia tidak mengerti ada apa sebenarnya dengan takdir yang kejam ini. Mereka tidak pernah melukai atau mencelakai orang lain. Lalu kenapa ada orang yang tega berbuat jahat pada keluarga mereka. Hutang yang seharusnya hanya dua puluh juta kini menjadi dua miliar. Itu sama saja dengan membunuh keluarga mereka. Karena mereka pasti tidak akan sanggup membayar uang itu. Mereka hanya bisa duduk melamun.