Sementara itu Ima berjalan buru-buru ke halte bus. Ia terengah engah dan menghela napas panjang. "Ha.... Akhirnya... Aku tidak terlambat," ia melihat bus kepulangan nya masih ada di sana.
Lalu ia segera berlari masuk dan duduk di bangku seperti biasanya menunggu bis itu berhenti di halte berikutnya untuk menaikkan Regis masuk.
"(Aku tidak sabar bertemu Mas Regis, aku ingin belajar bahasa isyarat lagi hehe,)" Ima senang, tapi saat itu juga ia menguap dan mulai lelah.
"Hoam.... Aku benar-benar lelah, tentunya membersihkan tempat sebesar itu sangat melelahkan," gumam nya. Ia bahkan sampai hampir tidur.
Di bus kepulangan itu, Ima ter angguk angguk kelelahan di kursi seperti biasanya. Lalu bis berhenti dan menaikan Regis. Regis terdiam melihat Ima sebelum dia sendiri duduk. Lalu dia duduk di samping Ima dan saat itulah juga kepala Ima jatuh di pundak Regis.
Regis terdiam, ia menoleh ke Ima, lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya secara perlahan.
Rupanya kaca kecil, ia mengarahkan nya ke wajah Ima dan melihat Ima tidur melalui kaca itu. Benar-benar imut ketika dia benar benar-terlelap tidur.
Regis lalu menyimpan kaca nya kembali dan membiarkan Ima tidur di pundak nya. Tapi ia menoleh ke jendela dan melihat halte bis nya yang biasanya ia turun telah lewat, ia juga tidak bisa turun karena tak mau membangunkan Ima. Hingga akhirnya dia benar-benar tidak turun di halte bis nya.
Saat di halte berikutnya, Regis menjadi bingung karena dia tak tahu pemberhentian Ima. Jadi ia turun saja dengan menggendong Ima di dada turun dari bis. Semua orang di bus bahkan melihat nya bahkan ada yang berpikir sesuatu.
"(Wah, so sweet banget, menggendong nya dengan lembut...)" begitulah sekiranya pikiran mereka. Semua orang di bus melihatnya termasuk si supir.
"Hei kawan," dia memanggil membuat Regis menoleh ke dalam setelah turun.
"Kau mau menghantar gadis itu kah?" tanya si supir lalu Regis sedikit mengangguk.
"Oh baguslah... Karena dia sering turun di sini, semoga berhasil," kata si supir lalu pergi meninggalkan mereka.
Regis menatap ke Ima yang tidur terlelap, ia menggendong Ima di dada sehingga ia juga bisa melihat wajah Ima juga. Ia terdiam sebentar melihat wajah Ima.
Dia benar-benar tidak memiliki suara dan hanya sebatas masker menutupi sebagian wajah nya. Lalu berjalan meneruskan mencari rumah Ima.
Sekarang Regis melihat rumah sederhana di depannya. Ia sudah bisa menebak itu rumah Ima lalu mendekat.
Di dalam, ibu sudah menyiapkan makanan lalu ia mendengar pintu terketuk seseorang.
"Apa itu Ima... Baiklah sebentar," dia membuka pintu lalu terkejut melihat Regis yang menggendong Ima di dada.
"Apa yang terjadi?!" dia terlihat panik.
Regis bingung harus apa, ia menunjuk Ima dengan matanya lalu ibu Ima melihat putrinya yang tertidur pulas di dada Regis.
"Oh... Lewat sini," Ibu Ima menunjukan kamar Ima lalu Regis masuk dan meletakkan Ima di ranjang dengan hati-hati, ia terdiam ketika melihat kamar Ima yang manis dan rapi.
Kebetulan ibu Ima tidak masuk ke kamar, Regis bisa sedikit melihat lihat di sana dan matanya terbuka lebar karena melihat kaca mata hitam di meja belajar Ima. Kaca mata itu punya siapa lagi jika bukan punya Regis sendiri.
Ia menatap kembali Ima yang tertidur pulas, matanya juga membuka lebar melihat Ima benar-benar manis ketika tidur sangat lelap di ranjang begitu.
Lalu kembali menoleh ke kacamata itu, ia akan mengambilnya tapi entah mengapa tangan nya berhenti dan tak jadi mengambil kaca mata itu lalu memilih berjalan keluar dan ibu Ima sudah ada di dapur.
Ia melewati ibu Ima, tapi ibu Ima menoleh dan terkejut Regis sudah keluar dari kamar Ima.
"Tunggu, kau mau pergi?" dia menahan tangannya lalu Regis mengangguk sedikit.
"Bisakah aku mengobrol padamu?"
=Aku tak bisa bicara= Regis menggerakkan isyarat tangannya. Tapi ibu Ima sama sekali tidak mengerti.
"Apa mulutmu terluka atau apa?"
Hal itu membuat Regis terdiam dan menghela napas, ia menggeleng dan berjalan pergi begitu saja membuat ibu Ima bingung.
"(Apa yang terjadi? Sebenarnya siapa dia, dia berani mengantar Ima pulang, dia juga tidak menyentuh lebih dari apapun, dia hanya mengantar pulang Ima... Tapi kenapa dia tidak sopan sekali tidak bicara apapun, apa tubuh besar nya itu membuat nya sombong...)" Ibu Ima terdiam, ia lalu menggeleng dan kembali menutup pintu.
Ia kembali masuk ke kamar Ima, melihat tubuh Ima. "Ini harus di pastikan, apakah pria tadi menyentuh Ima," sepertinya dia khawatir Regis tadi memperlakukan Ima tidak baik. Tapi setelah di cek di bagian tertentu tubuh Ima yang masih tertidur. Ibu Ima berpikir lain. "(Apa aku salah, pria itu hanya sekedar mengantar Ima?)"
Hari berikutnya Ima terbangun dengan nyaman. Ia melihat sekitar dan ingat sesuatu yang membuatnya terkejut dan langsung duduk. "Kenapa aku disini.... Dimana aku terakhir kali."
Lalu pintu kamarnya terbuka dari ibunya. "Oh, kau sudah bangun, sarapan sudah siap cepat turun."
"A... Ibu... Kenapa aku bisa ada disini?"
"Oh... Seorang pria membawamu kemari dia sangat aneh, apa kenalan mu?"
"(Hah?! Siapa?!) Bagaimana ciri-cirinya?"
"Tubuhnya seperti pria dewasa dan dia tidak mau bicara dan menutup mulut nya itu menggunakan maskernya."
"Regis..."
"Siapa?" Ibunya menatap bingung.
"Ah, tidak... Dia hanya kenalan halte ku, aku harus berterima kasih padanya saat bertemu denganya nanti," Ima berjalan keluar dari ranjang.
"Ngomong-ngomong dia kelihatan tampan meskipun wajahnya tertutup masker, tubuhnya juga sepertinya idaman wanita yang suka pria kekar sepertinya, kau tidak mau jadi pacarnya?" lirik ibunya seketika Ima terkejut.
"Ibu... Apa yang kau lakukan!!!"
"Tak apa sayang, dia pria yang terlihat sangat misterius dan baik. Mungkin dia bisa bersikap dewasa dan mengajar kan mu apa itu dewasa," kata ibunya tapi Ima terdiam sebentar berpikir akan sesuatu yang membuat nya teringat. Lalu kembali melihat ibunya.
"Ibu.... Engkaulah yang mengajar kan ku apa itu dewasa selama ini, kau mengajarkan ku untuk tetap menjaga harga diriku sebagai seorang wanita, kau benar. Menjadi tertutup itu adalah rahasia, dan semua orang ingin tahu rahasia, itu sebab nya mereka tertarik pada ku dengan cara yang unik. Aku tidak bisa mengakui jika ada orang yang bisa menyaingi kasih sayang ibu," kata Ima yang mendekat.
"Ima... Kau benar-benar gadis yang baik, ibu harap kau bisa dan sudah mengerti soal apa yang ibu ajarkan, tapi tak apa sayang, jika kau mencintai seorang lelaki maupun pria manapun. Pilihlah sesuka mu tapi jika kau harus di beri pilihan, pilihlah yang menurutmu paling membutuhkan mu dan paling yang di butuhkan oleh mu," tatap ibunya.
"Jadi ibu akhirnya melepasku untuk mendekati seorang pria?"
"Tentu, karena kau sudah besar, sebentar lagi umurmu 20 tahun, tapi ingat. Kau boleh pacaran saat kau bertunangan nantinya, ibu akan merestui itu. Bawa pria yang kau suka di hadapan ibu maka ibu akan menentukan segala nya yang terbaik untuk mu."
". . . Terima kasih ibu," Ima menjadi memeluk ibunya dengan penuh kasih sayang. Benar-benar keluarga yang sangat manis.
"(Kasih sayang ibu memang tiada duanya, meskipun hanya merasakan kasih sayang dari satu orang tua saja.)"
--
"(Haiz.... Sepertinya aku harus berterima kasih nanti pada Mas Regis, dia benar-benar menggendong ku sampai di kamar. Pria yang kuat dan baik... Uhuy... Sayangnya dia seperti jarang berkontraksi dengan orang lain... Tunggu... Apa dia cupu?)" pikir Ima yang berjalan ke kampus. Tapi ia melihat seseorang yang ia kenal.
Yakni Hendar, ingat dokter overprotective itu, dia sedang berjalan sendirian meminum kotak teh di pinggir jalan.
Ima terdiam, lalu ragu untuk menyapa. "(Itu... Dia benar-benar Mas Hendar kan? Aduh, aku harus apa? Apa aku harus menyapa nya? Tapi... Aku tak mau, tapi kalo aku tidak mau, nanti malah canggung... Dia nanti malah menilai ku sama seperti SMP dulu, tidak menyenangkan... Salah satu kuncinya aku harus menyapa nya,)" pikir Ima, ia akhirnya mau menyapa. Lalu ia berjalan mendekat sambil memanggil.
"Mas Hendar."
Hal itu membuat Hendar menoleh dan langsung tersenyum. "Ima!" ia seperti senang ia bertemu dengan Ima.
"Pagi Mas Hendar," Ima mendekat.
"Ya, pagi juga... Apa kau akan ke kampus? Dimana kamu berkuliah? Aku belum mendengar nya," Hendar menatap.
"Ah, aku ada di kampus Nora, dekat dengan sini."
"Hah, kampus Nora?! Kampus itu bukan nya kampus terbesar di kawasan ini?"
"E... Iya, banyak mahasiswa dan mahasiswi yang ada di sana, bahkan jurusan nya lengkap."
"Wah, lalu, apa jurusan mu?"
"Sama seperti Mas Hendar kan, kesehatan," kata Ima.
"Jadi, kamu mau jadi dokter?"
"Iyap."
"Tapi, bukankah itu terlalu pusing, kamu harus belajar banyak materi, belum praktek nya... Bagaimana jika kamu pusing nanti? Aku pernah mengalaminya Ima... Itu sangat berat, pusing, strees, nilai naik turun dan yang lain nya, itu mengecewakan untuk ku," kata Hendar dengan wajah khawatir dan putus asa.
"(Hm... Aku baru tahu lelaki sepintar Mas Hendar ini, bisa gagal juga waktu kuliah.) Tapi paling tidak lihat hasilnya, Mas Hendar sudah menjadi dokter dan memiliki klinik resmi sendiri, itu benar-benar hebat bukan," Ima menatap.
"Yeah, bayaran nya juga besar, tapi tetap saja... Masa lalu tetaplah masa lalu, aku masih berdiri di belakang masa lalu dan tak bisa berjalan ke masa depan, dengan kata lain, masa lalu ku terus saja terngiang ngiang mengganggu masa depan ku ini," kata Hendar.
"Haiz.... Kenapa tidak berpikir yang baik saja, berpikir lebih baik itu akan menimbulkan sesuatu yang baik juga. Aku yakin Mas Hendar sudah baik dalam masa depan..." tatap Ima.
Lalu Hendar tersenyum kecil. "Yah, mungkin kau benar, terima kasih Ima…" Hendar menatap haru.
"Ehehe, biasa saja, oh ngomong-ngomong kenapa tadi Mas Hendar terlihat ada di kawasan ini? Apakah tidak ke klinik?" Ima menatap.
"Oh, aku sedang berjalan jalan saja, lebih enak berjalan dari pada memakai kendaraan ke tempat tujuan," balas Hendar.
"(Wah wah... Padahal dia termasuk orang kaya... Tapi hebat juga jalan-jalan tanpa memakai barang barang yang mencolok sebagai seorang yang sudah berkecukupan,)" Ima menatap senang. Lalu ia terpikirkan sesuatu. "(Oh benar, aku jadi ingin bertanya sesuatu) Um... Mas Hendar, apa aku bisa bertanya sesuatu?" tatap Ima.
"Ya, silahkan saja, aku akan menjawab nya," Hendar langsung bersemangat.