webnovel

Aku Tidak Suka Kekerasan

Jeanne berlari di tengah keramaian jalanan kota. Masih banyak pengunjung yang masih menikmasi suasana festival, membuat jalanan terlihat padat. Namun Jeanne tetap dapat berlari dengan lincah, menghindari setiap orang yang di depannya.

Pada awalnya, Jeanne ingin kembali ke rumahnya untuk mengambil uang yang diperlukan. Tapi, kali ini dia merubah arah tujuannya. Bukan rumahnya, melainkan ke tempat di mana Keluarga Amary tinggal sementara di ibukota.

Hal ini disebabkan karena Jeanne dapat merasakan beberapa orang mencurigakan mengikutinya. Besar kemungkinan mereka adalah suruhan orang yang mendengar kabar akan adanya benda magis yang dijual.

Mereka mengikuti untuk merebut Fire Glove!

Itulah yang ada di benak Jeanne saat ini. Untuk karena itu, demi melindungi dirinya dan juga benda magis yang langka ini. Dia membutuhkan bantuan, bila dia kembali ke markas militer itu mungkin akan menjadi hal teraman yang ada saat ini, namun permasalahan akan menjadi rumit bila pihak militer juga menginginkan Fire Glove.

Tapi kalau Jeanne pergi ke Keluarga Viscount Amary, mereka akan mendukung penuh dirinya. Karena Fire Glove akan menjadi harta bagi keluarga Amary, dan bisa saja menaikkan derajat keluarga kalau Jeanne mendapatkan banyak merit di masa depan.

'Belum lagi karena Veronica sudah aku gadaikan, kuharap Paman tidak marah.'

Membutuhkan waktu lebih dari setengah jam sebelum Jeanne akhirnya sampai di depan sebuah kediaman pribadi milik Viscount Amary. Sesampainya dia di depan gerbang, terdapat dua pengawal yang selalu menjaga gerbang.

Keduanya tahu wajah Jeanne sehingga langsung membukakan gerbang. Sebelum masuk, Jeanne berpesan kalau terdapat banyak orang yang menguntitnya, meminta pengawalan kediaman lebih diperketat.

Semakin Jeanne mendekati tujuannya, dia semakin sadar kalau yang mengikutinya semakin banyak. Sepertinya kabar akan Fire Glove sudah meluas, dan semua orang menginginkannya.

Walaupun benda magis itu sudah berada di tangan Jeanne dengan menggadaikan Veronica, para pesaingnya tahu kalau itu hanyalah sebuah gimik. Fire Glove belum resmi menjadi miliknya sebelum Jeanne membayar harga yang telah disepakati. Oleh karenanya, banyak orang berpikir untuk merebut Fire Glove dari tangan Veronica, sebelum dia benar-benar membelinya.

Sebenarnya bisa saja, mereka para pesaingnya merebut benda magis itu setelah Jeanne membelinya. Namun kalau begitu, nanti mereka akan menjadi seorang pencuri, yang jelas-jelas merupakan suatu kejahatan. Kalau mereka tertangkap dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan kerajaan, habislah hidup mereka.

Jadi ini adalah satu-satunya waktu bagi mereka untuk merebut benda magis yang berharga itu.

Jeanne menyadari ini dan memilih meminta bantuan pamannya. Sebagai seorang Viscount, pamannya memiliki pasukan ksatria pribadi yang dapat melindunginya.

Setelah berhasil menginjakkan kaki di halaman depan kediaman Amary, Jeanne bisa sedikit bernafas lega.

"Sigh, aku tahu kalau bakal ada yang menghadang. Tapi tidak sebanyak ini. Sungguh, benda magis benar-benar berharga. Penjual itu memang gila, menjual benda seperti ini begitu saja di tempat terbuka. Apa dia tidak takut dirampok?"

Jeanne bergumam sendiri sambil berjalan santai ke pintu depan rumah. Sama seperti halnya di depan gerbang barusan, di depan pintu pun terdapat dua pengawal yang menjaga kediaman. Jeanne tanpa perlu melewati proses inspeksi langsung diperbolehkan masuk.

"Ah, apa Paman ada di dalam?" Tanya Jeanne, sebelum membuka pintu.

"Ada, Nona Jeanne."

"Oke."

Jeanne masuk, menginjakkan kaki di sebuah ruangan lobi yang luas dengan dua tangga putih besar di dua sisi ruangan yang mengarah ke lantai atas.

Sesaat Jeanne berjalan, seorang wanita paruh baya yang mengenakan pakaian pembantu muncul dari atas. Dia berjalan ke bawah, menghampiri Jeanne.

"Selamat datang kembali, Nona Jeanne."

"Di mana Paman, Louisa?"

"Tuan dan Nyoya Amary sedang beristirahat di halaman belakang, Nona. Umm… maaf Nona Jeanne, tapi di mana Nona Muda Veronica?"

Tanya Louisa, kepala asisten rumah tangga dari keluarga Amary, dia memicing melihat ke Jeanne dengan sedikit hawa yang mengintimidasi. Sejak Jeanne masuk, dia merasakan suatu keanehan karena tidak adanya, Veronica, putri dari Tuannya yang seharusnya datang bersama Jeanne.

Jeanne hanya bisa menggaruk-garuk pipinya agak malu. Dia tidak mungkin menyebutkan kalau dia telah menggadaikan Nona Muda-nya sekarang kepada Louisa. Lebih baik berkata langsung ke pamannya.

"Tenang saja, Louisa. Veronica aman, ada hal penting yang ingin kubicarakan dengan Paman. Ada sedikit kaitannya juga dengan Veronica."

Louisa walaupun masih agak ragu, tapi dia mengurangi inten intimidasinya, "Apa ada suatu masalah terhadap Nona Muda?"

"Tidak juga. Lebih baik saya bicarakan langsung dengan Paman."

"Baiklah kalau begitu, akan saya antar ke Tuan Amary sekarang juga."

***

Di lain tempat, di pasar terbuka tempat di mana meja konter dagang milik Cien berada. Tempat yang tadinya dihindari oleh lirikan orang-orang, kini malah sebaliknya semua mata memandang padanya. Membuat Cien agak canggung, karena setiap pergerakannya seperti selalu diperhatikan.

Terkadang, pada saat seperti inilah, rasa gatal di hidung tiba-tiba terjadi. Ingin dia mengoreknya, namun rasa malu mengalahkan keberaniannya. Jadinya dia hanya bisa menggerak-gerakkan hidungnya memakai otot muka, untuk mengurangi rasa gatal, yang sebenarnya membuat ekspresi wajahnya menjadi sangat aneh.

Untungnya Cien tidak sadar akan hal ini.

Bukan saja Cien yang diperhatikan, beberapa pihak juga memperhatikan, atau bahkan mengawasi seorang gadis kecil yang bermain dengan boneka di samping Cien. Veronica.

Gadis kecil itu tidak punya kerjaan lain selain harus menunggu kakak sepupunya kembali. Walaupun rasa sedih di hatinya tetap ada, karena dia telah digadaikan, namun Veronica tahu kalau itu adalah jalan terbaik untuk saat ini. Apalagi setelah dia melihat beberapa orang penting yang mengamatinya dari jauh.

Terdapat beberapa bawahan keluarga bangsawan lain, yang Veronica kenali ada di tengah kerumunan orang. Bukan saja mereka para bangsaman, para saudagar dan pemilik pelelangan pun ada di sana. Berdiri dengan para pengawal pribadi mereka.

Melihat semua orang itu, timbul suatu kekhawatiran pada diri Veronica.

'Tidak disangka akan seramai ini. Atau mungkin memang seperti ini seharusnya? Sial! Kalau begini hanya menunggu waktu sebelum mereka bergerak untuk menangkapku!'

Pikir Veronica yang terus berjalan, walau tangan dan rautnya terlihat senang memainkan boneka kayu yang baru dibelinya.

Bagi Veronica besar kemungkinan mereka akan menangkap dirinya untuk dijadikan barang pertukaran bagi Fire Glove. Ayahnya, Viscount Amary, pasti lebih memilih putrinya daripada benda magis.

Sungguh, kalau Jeanne tidak datang secepatnya, maka dirinya akan menjadi sandera. Veronica mulai panik dalam lubuk hatinya.

Dan benar saja, pada saat inilah, seseorang yang berbadan kekar dengan rambut pendek rancung, dan beberapa luka codet di wajahnya maju menghampiri meja Cien. Di belakang lelaki tersebut, lima orang pria lainnya, yang memperlihatkan wajah tidak ramah mengikuti.

"Hey! Kau yang menjual benda magis itu, kan?! Kalau kau tidak mau tersakiti dan rugi, sebaiknya serahkan gadis kecil di sampingmu itu?" Tanya orang dengan banyak codet dengan nada kasar.

Cien hanya tersenyum, "Maaf tapi tidak. Dia milikku, karena telah digadaikan. Aku tidak bisa membiarkanmu memilikinya."

"!"

Pria codet itu agak terkejut, karena penjual yang terlihat lemah itu berani melawan. Bukan terlihat lemah, tapi memang lemah. Karena dia tidak bisa merasakan kekuatan yang luar biasa keluar darinya.

"Apa kau sudah bosan hidup pria tua?!"

Pria codet itu mengeluarkan pedangnya, menodongnya di depan hidung Cien. Dia menatap tajan Cien, lalu dengan gerakan kepalanya, dia menyuruh para bawahannya untuk menangkap Veronica.

Gadis kecil, itu langsung waspada. Walaupun dia masih kecil, dia tetaplah seorang penyihir. Dan kekuatannya sekarang berada di rank 3!

Veronica menyimpan bonekanya di depan meja, lalu mulai merapal mantra, untuk melindungi diri. Namun sebelum dia benar-benar berhasil mengerahkan sihirnya. Suara sang penjual kembali terdengar di telinga orang-orang.

"Aku tidak suka kekerasan, tahu? Tapi, bukannya aku akan diam saja kalau ditodong seperti ini."

Sambil berkata seperti itu, dia mengeluarkan sepasang sarung tangan lain dari balik jubahnya. Memakainya dengan tenang walau tahu ada pedang di depan wajahnya.

Pria codet itu ingin menusuk Cien langsung dengan pedangnya, karena tidak menyangka penjual itu masih berani bergerak. Sayangnya sebelum dia sempat bereaksi, satu sarung tangan Cien sudah terpasang.

Ujung pedang melaju, menyerang Cien, namun dengan mudah dihindarinya hanya dengan menggerakkan kepalanya sedikit. Lalu satu tangan Cien berada di depan wajah si pria codet, dengan gestur jari menembak layaknya pistol.

Cien mengeluarkan sihir yang terekam pada Fire Glove.

"[Tongue of Fire]."

Boom!