Jam delapan malam, Nastya masih berada di rumah sakit. Ia duduk di bangku luar—bersantai—sambil mencari udara segar.
Setiap malam, ia bergelut dengan sepi karena tidak ada siapapun yang menemani. Rastya tidak pernah kembali setelah ditransfer uang olehnya. Ia pun terlalu malas untuk menelepon sekedar menanyakan keberadaannya. Nastya sudah lelah dengan sikap dan perilaku kakaknya yang tidak jelas, selalu pergi dan datang seenaknya tanpa memikirkan bagaimana kondisi ibunya.
Ketika Nastya sedang duduk sambil menatap langit malam yang penuh bintang, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia segera melihatnya.
Ada sebuah panggilan video dari Geovani—teman baiknya. Nastya segera menggeser tombol hijau.
"Halo Gio!" sapa Nastya dengan senyum manisnya. Ia melambaikan tangan, tersenyum sambil melihat ke layar ponsel. Sama sekali tidak menunjukkan kesedihannya pada Gio.
Giovani balas menyapa, lalu bertanya, "Nanas, kau sedang apa? Lihat, siapa ini yang sekarang bersamaku?"
Giovani menggeser kamera ponselnya, menyoroti seorang wanita yang duduk di sampingnya.
"Nanaaaaas!" sapa wanita itu dengan keras. "Kami sedang berada di klub 'Nightfly'. Ayo, kemarilah, kita bersenang-senang malam ini."
"Iya, Nas! Cepat, datanglah! Aku juga baru sampai, kok!" sambung Giovani.
Nastya mendengar suara yang cukup berisik di belakang mereka, juga lampu warna-warni yang terus berputar. Ingin sekali bisa ikut bergabung bersama mereka.
Tapi ....
"Aku tidak bisa! Di sini, ibuku tidak ada yang menjaga," jawabnya dengan pelan. Ia kecewa karena tidak bisa ikut bergabung bersama Giovani dan juga Alika. "Kalian, bersenang-senanglah!"
"Tidak seru bersenang-senang tanpa ada kau, Nanaaaasss!" teriak Alika lagi.
Giovani mengerutkan kening. Ia segera bertanya, "Kau sedang berada di rumah sakit? Memangnya, kakakmu pergi ke mana?"
Ia sudah bisa menebak, pasti Rastya pergi tanpa memberitahu Nastya lagi.
'Kebiasaan!'
"Rastya sedang pergi keluar. Jadi aku yang menjaga ibu," jawab Nastya. "Kalian bersenang-senanglah. Lain kali, jika ada waktu, aku pasti ikut gabung sama kalian."
Alika terlihat kebingungan sebelum berbicara lagi. Matanya tidak fokus, menatap ke samping sambil mengangguk.
"Datanglah sebentar saja. Gio akan menjemputmu sekarang, ya? Nanaaasss ... please!" Alika memohon. Berharap Nastya mau datang ke bar sekarang.
"Pergilah jika kau mau! Di sini, ada suster yang bisa menjaga ibumu." Tiba-tiba suara seorang pria terdengar, diiringi langkah kaki yang semakin mendekat. Nastya segera menoleh untuk melihat.
"Eh, Dokter Kavin! Sejak kapan kau di sini?" Nastya sedikit terkejut melihat pria itu sudah ada dibelakangnya. Dia adalah Dokter Kavin, salah satu tim dokter yang menangani ibunya.
"Aku baru selesai memeriksa pasien, lalu melihat kau sedang duduk di sini, jadi, aku kemari," jelas Dokter Kavin seraya duduk di samping Nastya.
"Pergilah!" ucap Dokter Kavin lagi. "Kau harus banyak hiburan. Jangan terus berdiam diri tanpa ada kegiatan lain. Itu bisa membuat kau stres."
"Aku tahu, selama satu minggu ini, kau terus berada di rumah sakit tanpa istirahat yang cukup. Makan pun tidak teratur. Aku khawatir, jika hidupmu seperti ini terus, kau akan sakit," tambah Dokter Kavin penuh dengan perhatian.
Bukan hanya satu minggu ini saja Dokter Kavin melihat Nastya berada di rumah sakit untuk menjaga ibunya tanpa istirahat dan makan yang cukup. Tapi, dari dua bulan yang lalu pun, ia sudah melihat keberadaan Nastya di sini.
"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja!' jawab Nastya dengan sedikit tersenyum. Ia kembali menatap layar ponsel. Melihat kedua sahabatnya masih ada di sana.
"Kalian lanjutkan saja, aku matikan dulu teleponnya, ya?" ucap Nastya tiba-tiba.
"Tidak, jangan, Nanaaass!" teriak Alika, panik. "Gio jemput kau sekarang, ya! Tunggu di sana, jangan ke mana-mana. Gio segera OTW!"
"Eh ...." Nastya menoleh ke samping. Terlihat dokter tampan itu tersenyum sambil mengangguk.
"Pergilah!" bisik Dokter Kavin
Tiba-tiba sambungan telepon ditutup dari seberang. Nastya melihat layar ponselnya sudah hitam, tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain diam ... menunggu Giovani datang untuk menjemputnya.
*
Jam sembilan lewat lima belas menit, Nastya dan Giovani sudah sampai di klub malam. Ia dibawa masuk ke dalam ruangan VIP yang ada di lantai dua.
"Masuklah! Alika sudah ada di dalam," ucap Giovani sambil membuka pintu. Mengisyaratkan Nastya untuk masuk terlebih dahulu.
Tanpa rasa curiga, Nastya masuk ke dalam ruangan. Baru dua langkah menginjakkan kakinya di dalam ruangan itu, tiba-tiba pintu ditutup oleh Giovani. Nastya dikurung dan pintu segera dikunci dari luar.
Menyadari akan hal itu, Nastya sangat terkejut. Ia segera berbalik badan dan menarik pegangan pintu yang sudah terasa keras, dan susah untuk dibuka.
"Hey, Gio ... apa yang kau lakukan? Jangan bercanda, ini sama sekali tidak lucu!" teriak Nastya dengan keras. "Cepat, buka pintunya!"
"Nanas ... bersenang-senanglah!" balas Giovani dengan singkat. Lalu ia pergi.
"Apanya yang bersenang-senang?" teriak Nastya lagi sambil memukul pintu. "Kau mengurungku di dalam ruangan ini. Bukannya senang, malah semakin jenuh!"
"Gio, buka pintunya!" Nastya masih menarik pintu. Namun tetap saja tidak bisa.
"Aish, sial!"
Tidak ada lagi suara Giovani dari balik pintu itu. Dengan frustasi Nastya menendangnya. Lalu berbalik badan, berjalan menuju sofa yang ada di sana. Tidak ada gunanya ia terus berteriak, toh teman baiknya itu sudah pergi
Ruangan berukuran 3 x 4 meter persegi itu terlihat sangat redup. Hanya lampu samar yang menerangi ruangan, dengan beberapa lampu warna-warni dari tempat karoke. Nastya terus berjalan sampai ke sofa panjang yang ada di sana.
Ketik baru akan duduk, terlihat sosok pria berpakaian hitam sedang duduk di sofa samping sambil menyilangkan kaki. Terlihat kepulan asap dari mulutnya, dengan aura yang cukup dingin.
"Narendra?" Nastya menatap pria itu dengan bingung. "Sedang apa kau di sini?"
Nastya semakin mendekat. "Apa kau yang meminta Alika dan Gio untuk terus membujukku agar datang kemari?"
Ia kira, Gio dan Alika benar-benar ingin mengajaknya untuk bersenang-senang malam ini. Nyatanya ... mereka bersekongkol menjebaknya dan mengurungnya di ruangan ini bersama dengan Narendra.
'Sahabat macam apa, mereka?'
Pria itu membuang rokoknya di asbak, bangkit berdiri lalu berjalan menghampiri Nastya.
Suara dinginnya terdengar tidak bersahabat, "Kenapa tadi siang tidak datang ke restoran yang ada di samping gedung rumah sakit, hah? Apa kau tidak mendengar ucapanku?"
Padahal tadi di telepon, ia sudah mengatakan untuk bertemu di restoran. Narendra sudah pergi ke sana, dan memilih ruang VIP untuk mereka makan. Berharap Nastya datang dan mereka bisa bicara baik-baik.
Tapi ... wanita itu malah tidak datang. Narendra masih setia menunggunya hingga jam enam sore. Tetap saja Nastya tidak datang. Narendra meneleponnya lagi, dia malah memblokir nomornya.
Jika tidak dengan cara ini, harus dengan cara apalagi agar wanita itu mau bertemu dengannya?
"Nastya!" Narendra mulai mencubit dagu lancip wanita itu. "Mengapa sekarang kau berubah menjadi wanita yang pandai berbohong?"