Aku tidak tahu, apa yang terjadi sehingga di ruang tengah sudah berkumpul orang-orang yang ku khawatirkan jika bertemu. Lagi-lagi, aku memliki rasa khawatir yang berlebihan. Lha, buktinya mereka ngobrol santai aja. Di sisi lain, aku bersyukur, mereka sudah bisa bertemu seperti ini. Aku hanya membayangkan cerita Rannu, bagaimana situasinya saat Ferdy di usir, mungkin gaduh. Aku masih berdiri di depan pintu kamar.
"Yuk Sandri, kita ke tempat Rannu," ajak Kak Lia. Barulah aku bergeser dari posisi tempatku berdiri.
"Sandri bareng Kak Lia aja, ntar Kak Arie dengan Ferdy," lanjut Kak Lia lagi.
Aku mengangguk saja dan berjalan ke mobil Kak Arie, sementara Kak Arie masuk ke mobil Ferdy. Hari Sabtu jalanan tidak sepadat seperti hari kerja, jadi kami bisa tiba lebih cepat ke rumah sakit tempat Rannu di rawat. Tadi aku sudah menelpon Kak Ika, menginfokan kalau kami akan menjenguk Rannu. Kebetulan Kak Ika sedang bertugas hari ini. Kak Ika sudah berada di Lobby ketika kami tiba.
"Gimana kondisi Rannu, Kak?" tanyaku saat kami sudah menyusuri koridor.
"Sejak ketemu Ferdy, Rannu lumayan banyak kemajuan lho," jawabnya.
"Syukurlah Kak." Aku sangat senang mendengar ini.
Saat menyusuri koridor, dari jauh kami sudah melihat Rannu sedang berada di taman dan merajut. Sepertinya ia sedang buat syal. Terlihat dari hasil rajutan yang sudah menjuntai ke bawah. Rannu terlihat normal jika melihatnya seperti itu. Ferdy berjalan di depan kami. Dia tidak sabar ingin segera berada di dekat Rannu. Kami sudah dekat, tetapi Rannu tidak terusik, dia tetap menekuri rajutannya.
"Rannu..." Ketika mendengar suara Ferdy, Rannu menegakkan kepalanya. Ia tersenyum. Tetapi senyum itu kemudian hilang dan mata Rannu mulai terlihat ketakutan saat melihat Kak Arie dan Kak Lia. Syal rajutannya ia cengkram dengan kuat. Ferdy yang melihat perubahan itu berusaha menenangkannya. Dipegangnya tangan Rannu dengan lembut.
"Kenapa? Itu Kak Arie dan Kak Lia."
Reaksi tubuh Rannu mulai berubah begitu mendengar nama Kak Arie dan Kak Lia yang disebutkan Ferdy. Dan semakin berubah ketika Kak Arie dan Kak Lia mendekat. Rannu bergumam tak jelas. Tubuhnya mulai berguncang. Aku sudah cemas, apa Rannu akan kambuh? Kak Ika pun siaga. Dan apa yang aku cemaskan pun terjadi. Rannu mulai berteriak. Kak Arie dan Kak Lia mundur, tidak jadi mendekati Rannu. Ferdy memeluk Rannu. Rannu meronta kemudian histeris. Ferdy kewalahan. Kak Ika akhirnya memanggil perawat yang lain untuk membantunya membawa Rannu ke dalam kamar. Aku hanya menyaksikan dalam diam. Harapanku akan kesembuhan Rannu pudar kembali. Rannu masih trauma melihat Kak Arie dan Kak Lia. Begitu sangat membekasnya perlakuan Kak Arie dan Kak Lia, membuat Rannu seperti ini.
Kak Arie dan Kak Lia hanya diam, tidak menyangka kejadian tadi. Mereka kemudian duduk di bangku taman. Kamar Rannu tidak jauh dari taman, jadi masih bisa terdengar jika Rannu teriak. Tapi tidak lama suara Rannu sudah tidak terdengar lagi. Mungkin Kak Ika sudah menyuntikkan obat penenang. Ferdy terlihat gelisah. Sepertinya ia ingin ikut melihat Rannu ke kamarnya tetapi dicegah Kak Ika.
"Ada baiknya kami nggak jenguk Rannu dulu, sepertinya ia trauma melihat kami," kata Kak Arie.
"Iya Sand, Rannu hanya tenang jika melihat kamu dan Ferdy," sambung Kak Lia.
Aku hanya menatap mereka dengan sedih. Aku tahu, Kak Arie dan Kak Lia sangat terpukul melihat kondisi Rannu yang trauma kala melihat mereka berdua. Jika aku pun di posisi mereka, pastinya aku juga merasakan hal yang sama.
Kak Arie dan Kak Lia memutuskan saat itu juga kembali ke Bandung. Jika biasanya mereka mampir melihat Tante Elis, kali ini tidak.
Aku dan Ferdy duduk di bangku taman. Kami masih saling berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Saya harus gimana ya Sand, biar Rannu cepat sembuh?" tanya Ferdy padaku. Pertanyaan yang aku juga tidak tahu jawabannya, kecuali menyerahkan proses kesembuhan Rannu pada Dokter.
"Saya juga bingung mas. Kemarin saya sudah senang banget lihat kondisinya mulai bisa beradaptasi dengan kita, tapi kali ini, jujur, saya kembali khawatir. Sepertinya butuh waktu lama Rannu bisa pulih."
Ferdy menunduk, wajahnya terpancar raut kecemasan. Aku tahu, ia pasti akan mencari cara demi kesembuhan Rannu. Lelaki yang memiliki rasa cinta yang tulus ini. Mungkin tidak ada yang bisa seperti dia, apalagi jika dihadapkan pada situasi seperti ini. Rannu masih punya orang yang sangat mencintainya. Aku hanya bisa berdoa, mereka berdua bisa bersatu kembali.
"Saya mau bertemu Dokter Firdaus," ucap Ferdy sambil berdiri. Aku juga ikut berdiri dan mensejajari langkahnya menuju ruang Dokter Firdaus. Kami bertemu Kak Ika di depan counter resepsionis.
"Kak, kami bisa bertemu Dokter Firdaus?" tanyaku pada Kak Ika.
"Boleh kok, beliau ada di dalam," jawab Kak Ika kemudian mempersilahkan kami masuk.
Kami pun masuk dan melihat Dokter Firdaus yang masih sibuk memeriksa berkas-berkas pasiennya.
"Selamat pagi Dok."
"Eh, selamat pagi. Silahkan duduk." Dokter Firdaus tersenyum pada kami. Dokter yang kharismatik. Sepertinya Dokter Firdaus ini cocok jadi selebriti, pikirku. Wajahnya yang sangat tampan ini, sangat cocok memerankan tokoh pria dalam sinetron yang digandrungi ibu-ibu.
"Dok, kondisi Rannu pagi ini kembali tidak stabil setelah melihat Kak Arie dan Kak Lia," ucapku.
"Iya Dok, kami harus bagaimana?" tambah Ferdy dengat raut wajah yang masih saja cemas.
"Kalian nggak usah khawatir, Rannu pasti sembuh kok. Hanya masih butuh waktu saja. Memang akan ada saatnya, jika melihat sumber yang membuat dia seperti ini, trauma itu akan ada. Harus pelan-pelan mengembalikan kondisinya agar bisa beradaptasi. Sabar ya." Kemudian Dokter Firdaus memberikan penjelasan pada kami yang membuat kami akhirnya bisa tenang kembali. Harapan itu masih ada.
Di jalan, saat kami kembali, kami lebih banyak diam. Ferdy seperti biasa bersikeras mengantarku sampai ke rumah, dan aku tidak bisa menolaknya. Aku tidak mau menambah bebannya dengan mengajak berdebat hanya karena aku tidak ingin merepotkannya, mengantarku tiba tepat di depan rumah.
"Desainnya gimana Sandri, sudah ada yang selesai nggak?" tanyanya kemudian setelah lama kami berdiam diri. Ferdy tetap profesional sepertinya. Ia bisa memisahkan urusan pekerjaan dengan masalah pribadi.
"Baru selesai satu alternatif Mas. Begitu selesai aku hubungi Mas Ferdy."
"Selesai satu alternatif juga nggak apa, kalau kamu mau ketemu saya untuk diskusi," lanjutnya.
"Nanti aja ya Mas, kalau ketiga alternatif sudah saya selesaikan." Lebih baik setelah tiga alternatif desain saja baru aku menemuinya. Repot jika satu-satu karena jika ada revisi, alternatif lainnya bakalan tertunda. Ini sih alasan aku yang sebenarnya. Tapi tentu saja alasan itu tidak kuungkapkan padanya.
"Ya udah, gimana baiknya aja menurut kamu. Minggu depan bisa kan?"
Baru juga aku lega, sudah ditodong lagi.
"Saya usahakan ya mas." Balik dari tempat Rannu, moodku berantakan dan bakalan akan berpengaruh pada desainku. Jadi aku tidak menjanjikan desainku bisa selesai atau tidak.
Kami sudah tiba tepat di depan pagar rumah.
"Makasih ya Mas," ucapku dan turun dari mobil Ferdy.
"Saya nggak diajak nih mampir Sandri?" tanyanya. Oh, saya sampai melupakan tata krama.
"Oh, maaf. Mas mampir dulu kalau gitu deh," jawabku dengan gugup.
"Nggak usah, bercanda kok. Ya udah, saya lanjut ya, mau ke kantor." Ferdy tertawa melihatku.
Untuk pertama kalinya aku melihatnya tertawa lepas seperti itu. Percayalah yang melihatnya pasti langsung jatuh hati. Pesonanya tidak bisa diabaikan.
*****