webnovel

PACU #11 Tak Bisa Menghindar Lagi

Terkadang rencana kita berbeda dengan realisasinya. Seperti juga Ferdy dan Tante Elis. Sekuat apapun aku berusaha membuat mereka tidak bertemu, ada saja kejadian yang akhirnya seperti ini. Mungkin kejadian ini sudah tidak bisa dihindari lagi. Sekilas aku mengenalkan Ferdy ke Tante Elis dan Mama, sebagai klien yang saat ini sedang bekerja sama denganku.

Ferdy langsung berdiri, begitu melihat Tante Elis. Ia membungkuk sejenak memberi hormat.

"Selamat sore Tante," sapanya dengan sopan.

"Sore. Kamu apa kabarnya?"

Aku kaget dengan jawaban Tante Elis. Tidak menyangka jawabannya akan seperti itu. Yang kubayangkan, Tante Elis akan menjawab dengan ketus. Ternyata kekhawatiranku selama ini berlebihan. Atau mungkin juga karena Rannu, jadi Tante Elis berubah.

"Baik Tante."

"Syukurlah."

Tante Elis lalu duduk dan tidak jadi pulang. Mama juga ikut bergabung. Aku hanya duduk diam memandangi interaksi mereka.

"Maafkan Tante dan keluarga ya. Sudah pernah nyakitin kamu. Dulu kami hanya berpikir kalian masih muda, dan sudah harus dihadapkan dengan tanggung jawab, kalian pasti belum siap berumah tangga. Kami nggak ingin Rannu terbebani. Sayangnya kami juga tidak tahu jika selama ini Rannu menderita. Kami hanya bisa menyuruhnya ini dan itu, tanpa pernah mau mendengarkan pendapatnya."

Lagi-lagi aku kaget dengan penuturan Tante Elis. Rannu benar-benar telah merubah keluarganya. Aku hanya berharap semoga semua pertikaian di masa lalu itu, bisa diselesaikan saat ini. Tetapi aku belum tahu reaksi kakak-kakak Rannu. Mungkin Tante Elis sudah menyadari kekeliruannya, tetapi yang lain bagaimana? Keluarga Om Fritz, apakah juga sama?

Ferdy terlihat serius mendengarkan penuturan Tante Elis tadi. Ia hanya menarik napas pelan. Kadang merenung mendengar kata-kata Tante Elis.

"Anak kalian sudah meninggal dan Rannu sekarang lagi sakit," tambah Tante Elis kemudian.

Aku melihat ke Ferdy, dan memberinya tanda agar ia seolah-olah tidak tahu jika Rannu sakit. Untung saja, tanda yang kuberikan bisa dipahaminya.

"Rannu sakit apa Tante?" tanya Ferdy.

"Mentalnya terganggu," jawab Tante Elis.

"Apa saya boleh menjenguk Rannu, Tante?"

"Boleh kok. Kalau mau ke sana, bareng Sandri aja."

"Makasih Tante."

"Oh, ya, Tante pamit dulu. Kamu baik-baik ya," ucap Tante Elis sambil menyalami Ferdy, kemudian menepuk pundaknya. Mama mengantar Tante Elis sampai ke gerbang. Kemudian bergabung kembali di ruang tamu.

"Kita doakan saja, semoga Rannu cepat pulih kondisinya," kata Mama.

"Ma, sebenarnya tadi kami dari tempat Rannu. Tapi kami nggak info dulu ke Tante Elis, khawatir aja Tante Elis nggak suka kami ke sana."

"Owh gitu. Bisa ngomong dengan Rannu atau Rannu belum bisa di deketin?"

"Sudah bisa Tante, tapi Rannu nggak mengenali kami," jelas Ferdy ke Mama.

"Mungkin harus pelan-pelan mengembalikan kondisinya. Tapi nggak apa, sudah bisa di deketin dan ajak ngomong aja, sudah bagus. Mama tinggal dulu, kalian lanjutin aja ngobrolnya."

Di tinggal Mama ke dalam, aku melihat Ferdy belum ada tanda-tanda untuk pulang. Malah dia asik menyeruput kopinya. Aku sudah lega, setidaknya dengan adanya ijin Tante Elis ke Ferdy untuk bisa menunjungi Rannu, aku sudah tidak was-was lagi. Aku juga berharap, Tante Elis bisa menginfokan hal ini ke keluarganya. Kok jadi canggung begini ya rasanya? Aku jadi bingung mau ngomong apa.

"Mmm..Mas, kalau mau lihat Rannu, datang aja, nggak mesti dengan aku kok."

"Iya. Saya senang aja dapat ijin dari Tante Elis. Tapi tanpa itupun saya akan tetap rutin menjenguk Rannu. Banyak banget rencana saya jika Rannu sembuh. Saya ingin ajak Rannu melihat makam anak kami."

"Semoga ya Mas." Aku sangat berharap Rannu bisa pulih lebih cepat dengan kehadiran Ferdy.

"Saya juga berharap, jika ia sembuh, kami bisa bersama kembali."

Aku sangat terharu mendengarnya. Begitu dalam cintanya pada Rannu.

"Saya pamit ya Sand. Jangan lupa info jika alternatif desainnya sudah jadi."

"Baik Mas."

Begitu aku masuk kembali ke ruang tengah setelah Ferdy pulang, Mama bertanya,

"Jadi itu Ferdy, pacarnya Rannu yang dulu itu?"

"Iya Ma. Dia sayang banget sama Rannu."

"Baik ya anaknya. Tapi kok dulu Tante Elis nggak setuju ya?"

"Karena latar belakang keluarga Ferdy, Ma. Papa dan Mamanya bercerai dan ini yang buat Tante Elis dan yang lainnya nggak suka. Tadi Ferdy cerita ke Sandri."

"Ah, begitu. Nggak semua anak produk broken home tuh hidupnya jadi ikutan jelek kok. Asal keluarganya bisa memberikan kasih sayang, anaknya akan baik. Buktinya, ada yang orang tuanya tetap utuh, anaknya brengsek."

Benar apa kata Mama, semua kembali ke cara keluarga memperlakukan anaknya dan juga ke anaknya sendiri, bisa struggle atau tidak.

Selesai ngobrol dengan Mama sebentar, aku kemudian masuk kamar, mandi dan langsung duduk di meja kerjaku mencari literatur ukiran khas Toraja. Sebenarnya aku sudah tahu beberapa ukiran dari daerah tersebut, tetapi untuk bisa lebih explore desainku, aku putuskan untuk searching. Mataku membulat ketika melihat hasilnya. Ternyata banyak banget motifnya. Selain itu dijelaskan juga filosofi di balik motif tersebut. Ini baru ukiran Toraja saja, dan pastinya daerah lain juga memiliki jenis ukiran yang mungkin ratusan atau bahkan ribuan jumlahnya. Betapa kaya negeri ini dengan budaya daerahnya. Aku mencoba memilih, walaupun sulit karena semuanya bagus, yang sesuai dengan tema konsep desainku. Dari beberapa motif yang ada, aku pilih tiga saja untuk kuaplikasikan pada sketsaku. Semoga dalam waktu seminggu ke depan sudah bisa kuselesaikan. Aku mengirim pesan ke Dita, memberitahukan jika saat ini aku sudah mulai membuat alternatif desain untuk Ferdy dengan memasukkan unsur ukiran tradisional sesuai permintaannya. Dita menyerahkan sepenuhnya desain ini ke padaku.

Aku mulai asik membuat sketsa sampai tidak sadar jika jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, padahal besok siang aku harus menemani Kak Arie dan Kak Lia menjenguk Rannu. Bakalan telat bangun nih. Aku bergegas membereskan peralatanku dan bangkit menuju tempat tidur. Biasanya sebelum tidur aku cek ponsel lalu offkan. Ternyata, ada pesan dari Ferdy. Tadi saat buat sketsa, ponsel aku silent jadi tidak mendengar notif jika ada pesan yang masuk.

~Sandri, besok bisa temanin saya ke tempat Rannu?~

Waduuuhhh, besok kan jadwalnya Kak Arie dan Kak Lia. Seingatku, info ini sudah pernah kuberikan ke Ferdy. Aku reply pesannya, semoga cepat dibaca.

~Maaf Mas, besok ada Kak Arie dan Kak Lia.~

Aku sudah mau menekan power off, pesan balasan Ferdy masuk. Ehh, belum tidur juga dia. Atau mungkin masih ada yang dikerjakan, entahlah.

~Bareng ke tempat Rannu juga nggak apa Sandri.~

Aduhhh, bukan masalah barengnya, tetapi bertemu dengan Kak Arienya yang aku khawatirkan. Kalau Kak Arie sudah dengar mengenai Ferdy dari Tante Elis, nggak masalah, tetapi kalau belum, bagaimana? Juga jika Rannu melihat kami datang bareng, reaksinya seperti apa? Aku malah jadi tidak bisa tidur. Sibuk mikir.

~Bisa ya?~

Aku harus jawab apa? Atau memang sudah tidak bisa dihindari lagi keluarga Rannu satu per satu akan bertemu Ferdy? Sepertinya Ferdy sudah siap mental bertemu kembali dengan keluarga Rannu. Mungkin juga hasil pertemuannya dengan Tante Elis tadi, membuatnya punya harapan kembali. Satu yang membuatku kagum padanya, Ferdy tidak menyimpan sakit hati atas perlakuan keluarga Rannu dulu.

~Ok, Mas. Kita lihat besok aja ya.~

Aku sudah tidak menunggu balasannya, ponsel kumatikan dan tidur.

Mataku sangat berat kubuka. Rasanya masih mau lanjut tidur tapi sudah jam sembilan. Cahaya mentari sudah menerobos masuk lewat jendela. Perlahan aku bangun, aktifkan ponsel kemudian ke kamar mandi. Saat keluar dari kamar mandi, kudengar suara obrolan dari luar kamarku. Mungkin Kak Ari dan Kak Lia sudah datang. Pintu kamar kubuka, dan seperti orang bingung saat mataku melihat sofa di ruang tengah sudah duduk Papa, Mama, Kak Arie, Kak Lia dan Ferdy.

"Baru bangun Sandri?" tanya Kak Arie

"Ehhh..?" aku sampai bingung jawabnya.

"Ada yang dikerjakan kali ya?" lanjutnya

"Iya Kak, semalam tidurnya larut banget."

Aku melihat ke arah Ferdy, ekspresinya terlihat biasa saja.

*****

Next chapter