Aku pun menceritakan sedikit tentang kehidupanku dan keluargaku yang sebenarnya. Kami semua duduk di ruang tengah.
"Begitulah ..." kataku sambil tersenyum.
"Maafkan aku! aku tidak tahu tentang apa pun ... " ucap Aurel, aku menariknya dalam pelukanku. Anak-anak pun mulai mengantuk, Aurell menyuruh mereka tidur, sedangkan dia aku sendiri yang meminta.
"Engga apa-apa kan ?' katanya menunjukan kondisi kamar yang di tempati adik lelakinya, yang memang kecil, maksudnya tempat tidurnya cukup berdua.
"Ya ... lumayan lah! ha ... ha ... !" kataku.
"Tuh kan ... " ujarnya merengut. Aku mencium keningnya.
"Nanti, kita cari rumah yang lebih baik !" kataku, dia menatapku.
"Dari mana uangnya? kan, kamu masih kuliah ...!" tanyanya.
"Iya, tapi 2 tahun lagi selesai! tentu saja aku mempunyai uang! kan aku dapat uang warisan dari almarhum kakek dan nenekku yang ... meninggal waktu perang lalu ..." jawabku, dia tertegun.
"Aku ... turut berduka mas ..." ucapnya pelan, aku menatapnya dan tersenyum, itu artinya dia sudah menerimaku.
"Tidak apa-apa, oh iya kamu dimana waktu itu ?" tanyaku.
"Di rumah bibiku di desa ... " jawabnya, aku mengangguk.
"Sudah, sekarang kamu tdur dan istirahat! besok kan kita akan sibuk !" kataku, dia mengangguk sambil menguap.
"Iya, aku lelah dan cape ..." dia pamitan ke kamarnya, aku menutup pintu dan berbaring di samping Tom yang sudah tertidur pulas, dan ... tak lama tertidur.
------------
Keesokan paginya, aku terbangun dan terjadi kesibukan di luar. Ketika keluar kamar, terlihat Merry sudah datang dan membantu membereskan rumah dan menyiapkan makanan untuk para tamu nanti untuk mengucapkan duka cita.
"Apa ini cukup ?" bisik Merry, Aurel mengangguk.
"Ayolah, Merry dsini orang begitu tidak akrab !" ujarnya, Merry hanya mengangguk.
"Pagi, ada yang bisa aku bantu ?' tanyaku.
"Ya, mandilah, handuknya ada di kursi! aku sudah menyiapkannya !" jawab Aurell sambil menunjuk ke arah kursi dan di sana sudah tersedia handuk bersih dan peralatan mandi.
"Wah, sudah tinggal serumah nih! kapan menikah ?" canda Merry.
"Ayolah, Merry itu .... masih lama, dia masih kuliah .." jawab Aurell dengan muka merah. Aku hanya tersenyum dan pamitan untuk mandi.
Akhirnya kami pun berangkat ke geraja untuk upacara pemakaman ibunda Aurell, dia memakai gaun hitam dan topi yang senada, walau sederhana dia cantik dan anggun. Kedua adiknya pun sama, sedang aku di pinjamkan jas hitam milik ayahnya dulu dan itu pas di tubuhku, ada Merry dan juga mr Henrry tanpa istrinya dan beberapa tetangga yang mengenal meraka hanya itu.
Sesampainya di Gereja, kami di sambut pak pendeta. Ketika masuk sudah tertata rapih untuk upacara pemakaman, peti mati yang cukup bagus dan terbuka, dimana sosok almahumah ibunya terlihat cantik di dandani serta ornamen karangan bunga di beberapa tempat di dalam gereja. Semua tertegun, agak berbisik tapi akhirnya melirik ke arahku dan terdiam. Aurell tidak perduli, air matanya kembali tumpah, begitu pun kedua adiiknya, aku merangkul pundak dan lainnya dan membawanya duduk, untuk memulai upacara yang di pimpin pendeta gereja.
Setelah berdoa, dan pelepasan jenazah, kini kami menuju pekuburan yang terletak di belakang halaman gereja. Terlihat sebuah lubang sudah di persiapkan, Aurell, dan Merry membawa keranjang bunga tabur yang sudah disiapkan, beberapa tetangga lelaki, termasuk aku mengangkat serta membawa peti dan diletakan di samping lubang,kembali upacara dilakukan oleh pendeta. Dan kemudian meletakan peti mati di lubang sebelum nantinya di timbun tanah.
"Silahkan, untuk keluarga melemparkan bunga sebagai tanda pelepasan terakhir untuk almarhumah ..." pinta Pendeta Gereja. Di mulai oleh Aurell, adik-adiknya, aku dan lainnya.
"Apa ada yang ingn diucapkan? sebelum d tutup ?" tanya Pendeta, menatap Aurell. Dia hanya menggeleng, dan kemudian Pendeta melirik ke arahku. Aku mengangguk.
"Ehem ... kenalkan namaku Arthur, teman dekat Aurell! hanya ingin mengatakan dan mewakilinya kepada semuanya yang hadir hari ini untuk melepas jenazah ibunda Aurell, walau kita tak saling kenal dan terima kasih! hanya itu !" kataku, dan pendeta pun berdoa lalu kami mengambil tanah dan kembali kami melempar ke peti kmudian di tutup. Upacara pun selesai, yang lain beranjak pergi sedang Aurell dan adik-adiknya masih berdiri di gundukan kuburan ibundanya.
"Aku, masih tidak percaya dia tiada ... dia tak pernah mengatakan kalau dia sakit, ketika di periksa ... sudah parah sekali ..." ucapnya sambil menangis, aku memeluknya tanpa berbicara, adik-adiknya pun ikut menangis. Aku baru menyadari Merry dan Mr, Henrrry masih di sini.
"Aku, tahu Aurell! aku mohon maaf, dia sendiri yang tidak ingin kamu tahu! agar tidak sedih dan memikirkannya, kamu sudah bekerja untuk keluarga !" ujar Merry. Aurell hanya terdiam.
"Beberapa waktu lalu, dia meminta pekerjaan kepadaku, apa pun itu! mrs Thomson akhirnya menjadi pembantu di sebuah rumah di ujung rumah besar, milik Tuan John! dan ... ini uang yang di kumpulkannya, aku menyimpannya, dia memberikan ini untuk membayar kontrakan! tapi sebenarnya, tidak begitu ... kami ingin menjualnya! kami melakukan itu, hanya ... kasihan dan sementara saja, sampai rumah itu terjual! dan sekarang sudah ada yang membelinya !" lanjut Mr Henrry, semua tertegun dan dia memberikan sejumlah uang yang lumayan besar.
"Aku ... minta, maaf itu punya istriku! dan kalian ... diminta pindah, memang bukan sekarang tapi beberapa hari setelah ini !" katanya sambil membungkuk dan pamitan pergi.
"Terima kasih, mr Henrry !" seru Aurell serak, lelaki itu hanya melambaikan tangan.
"Aku tak tahu, tentang itu ..." ucap Aurell.
"Sudahlah, kita berdoa kepada beliau! dan mengucapkan terima kasih dan selamat tnggal! mungkin ini untuk kebaikanmu dan adik-adikmu juga !" kataku, dan semua mengangguk dan kami terdiam untuk berdoa.
--------
Beberapa hari kemudian, kami pun mencari rumah kontrakan baru bersamaku menggunakan mobilku. Akhirnya ada apartemen yang cukup bagus ada empat kamar d sana, Uang sewanya tidak mahal dan tidak jauh dari kampusku, serta Cafe tempat Aurell bekerja, di tambah sekolah adik-adiknya.
Aurell hanya pasrah, inginnya yang lebih murah. Tapi akhirnya setuju. Anak-anak justru senang karena punya kamar sendiri, dan tidak kedinginan, atau bocor jika hujan dan juga musim salju. Begitulah, aku sering mampir ke apartemen. Cafe, sekarang ramai. Tanpa terasa satu tahun sudah kami ... pacaran. Natal dan tahun baru pun akan tiba. Aku mengajaknya jalan-jalan, dia terkejut karena aku mengajaknya ke kawasan perbelanjaan elit.
"Kenapa. kamu membawaku kesini ?" tanyanya heran.
"Ayolah, ini kan sebentar lagi natal! aku ingin membelikanmu hadiah natal untukmu dan anak-anaknya !" jawabku tersenyum.
"Lalu untuk apa membeli yang mahal-mahal ?" tanyanya lagi.
"Aurell, mungkin suatu hari aku akan mengajakmu bertemu mereka !" jawabku sambil menatapnya.
"Apa ... maksudmu ?" mukanya mendadak merah.
"Ya, untuk meminta mereka ... merestui kita ... berdua ..." kataku lembut.
"Arthur, aku ..." aku mencium bibirnya.
"Jangan merendah lagi, sayang ... kamu cantik dan akan menjadi seorang bangsawan sejati nantinya !" kataku, Aurell memeluk erat dan mengannguk.
"Iya, maafkan ... aku tuan Arthur !" ujarnya.
"Tidak apa-apa, Lady Aurell !" kami berdua bertatapan dan tertawa kecil.
Bersambung ...