webnovel

Oh Baby (Romance)

#First_story_of_D'allesandro_klan "Kita harus bermimpi, namun tidak untuk hidup dalam mimpi" Sophia Alberta (18th) bekerja banting tulang untuk mencukupi kehidupannya semenjak ayah dan ibunya meninggal. Bukan hanya itu, Sophia juga kerap merasakan takut jika berdekatan dengan Gunner Anthony. Seorang mafia yang terobsesi dengannya. Hidup Sophia semakin susah saat seorang pemilik hotel tempat ia bekerja memperkosanya hingga hamil. Hingga suatu hari pria itu datang pada Sophia dan menawarkan pernikahan padanya. Bayi yang dikandung Sophia menjadi alasannya. Akankah pernikahan itu berjalan dengan bahagia seperti yang Sophia impikan ?? Menjadi istri dari seorang Edmund D'allesandro sang penguasa dunia bisnis ?? Sementara disisi lain ada pria yang sudah menjamin segalanya untuk Sophia, termasuk hatinya. Gunner Anthony, mafia pelindung Sophia.

Alianna_Zeena · Urbano
Classificações insuficientes
59 Chs

Bab 35

Vote sebelum membaca😘😘

.

.

"Dia tidak seperti orang yang sudah sembuh."

"Edmund." Sergío menatap anaknya yang sedari tadi menatap tajam pada Lexi dengan ucapan yang penuh dengan penekanan.

"Dia belum sembuh, Dad."

"Tidak, aku sembuh. Kau bisa tanyakan itu pada dr.Dan," ucap Lexi tidak menerima tuduhan yang diberikan Edmund. "Kau percaya padakku 'kan, Papa?" Lexi mengalihkan pandangannya pada pria tua yang rambutnya sudah memutih. Dia hanya memijat kepalanya yang terasa pusing.

Kini kedua orangtua Edmund berada ke apartemennya, disusul oleh Marxel beberapa menit yang lalu. Mereka datang setelah tahu keberadaan Lexi. Siapa pun tidak ingin wanita itu berulah kembali, apalagi sampai mempertaruhkan nyawa dirinya sendiri atau pun orang lain. Keluarga inti D'allesandro sudah mengetahui bagaimana sakitnya wanita itu, tentang obsesinya terhadap Edmund.

"Di mana dr.Dan sekarang?"

"Dia masih dalam perjalanan," ucap Rose menjawab pertanyaan suaminya.

"Kalian harus membawanya pergi." Edmund mengibaskan tangannya seolah mengusir Lexi, membuat wanita itu mendengua kesal.

Marxel menggeleng tidak setuju. "Kita tidak akan ke mana-mana sebelum dr.Dan datang dan menjelaskan semuanya."

"Lalu kalian akan membiarkannya di sini? Bersamaku? Dan istriku? Dia lebih berbahaya dari ular berbisa."

"Jaga ucapanmu, Edmund. Dia adalah bibimu, bersikaplah yang baik," ucap Marxel dengan suaranya yang berat.

"Tidak, aku tidak akan menjaga sikapku pada wanita seperti dia."

"Aku sudah sembuh, aku sudah sembuh, Edmund. Aku tidak lagi terobsesi denganmu. Berulangkali aku ucapkan, aku datang untuk terapi yang terkhirku. Aku sebaiknya tinggal selama beberapa hari dengan pria yang membuatku terobsesi."

"Kau pikir aku bodoh, huh?"

"Hentikan, kita akan tunggu dan dengan apa kata dr.Dan," ucap Sergío menghentikan percakapan dan membuat kesunyian. Namun, wajahnya yang datar itu, Sergío menyimpan banyak kekhawatiran. Tanpa terlihat tangannya menggenggam erat tangan Rose.

Begitu pun dengan Sophia yang sedari tadi hanya diam, dia menggenggam dan sesekali mengusap lengan Edmund untuk menenangkan pria itu. Dia tidak berdaya saat mata tajam milik Marxel menatapnya seolah merendahkan, Sophia hanya bisa menunduk dan berlindung di belakang bahu suaminya. Bahkan untuk bersalaman saja, Marxel terdiam beberapa detik sebelum membalas jabatan tangan Sophia. Dan itu membuatnya tidak nyaman.

Selang beberapa menit, dr.Dan datang. Rose yang pergi membukakan pintu untuk dokter pribadi Lexi itu, seorang psikiater yang sudah dipercaya Marxel bertahun-tahun untuk menangani masalah Lexi.

Sebelum duduk, dr.Dan menatap mata Lexi dengan begitu dalam. Seolah menyampaikan pesan lewat tatapan mata itu.

"Bagaimana kabarmu, dr.Dan?"

dokter yang memiliki nama asli Daniele Morgan itu membalas jabatan tangan Marxel. "Baik, Tuan."

"Jadi, dr.Dan, apa benar Lexi datang untuk melakukan terapi di sini?"

"Jangan percaya pada dokter itu, Mom."

"Edmund," ucap Sergío untuk yang kesekiam kalinya. Dia menatap mata anaknya seolah menenangkan lewat tatapan tajam itu.

"Ya, memang. Terapi yang saya lakukan padanya selama bertahun-tahun itu berhasil, dan sekarang saya harus melakukan terapi terkahir."

"Terapi terakhir itu tinggal bersamaku? Apa itu masuk akal?"

"Tapi bukankah kalian seharusnya pergi ke Singapura?" Rose memotong ucapan Edmund.

Daniele mengangguk. "Ya, kami seharusnya memang ke sana untuk memberikan suasana baru pada Lexi. Namun, setelah pengobatan yang saya lakukan berhasil hingga obsesi Lexi pada anda mulai memudar dan digantikan dengan ketertarikan pada hal-hal baru, saya rasa membiarkannya tinggal satu atap bersama orang yang pernah dia obsesikan itu masuk akal. Hal itu dilakukan agar kita tahu bagaimana sikap Lexi menghadapi anda."

"Tapi tidak dengan tinggal bersamaku, dia berbahaya."

Daniele menggeleng. "Beberapa puluh tahun yang lalu anda tinggal satu atap dengannya, dan itu tidak masalah. Begitu pun sekarang, Lexi sudah sembuh."

"Kau pikir aku bodoh?"

"Edmund, cukup," ucap Marxel menegakan bahunya. "Kita akan melalukan apa yang dr.Dan katakan."

"Apa?! Kau bercanda?! Aku beristri, dia bisa melakukan apa pun pada wanita-ku."

"dr.Dan sudah memastikan kalau Lexi sudah sembuh," ucap pria tua itu. "Katakan pada anakmu ini untuk menuruti apa yang dr.Dan katakan, Sergío. Aku ingin pergi beristirahat ke hotel."

Sergío ikut berdiri saat Marxel berdiri lalu pergi dari sana seolah tidak ada kejadiaan apa pun. Melihat punggungnya saja membuat darah Edmund mendidih karena marah, pria tua itu selalu saja melakukan apa pun seenaknya tanpa menghiraukan apa akibatnya.

"Dad."

"Lakukan saja, Lexi hanya akan di sini selama satu minggu."

"Apa? Mom!"

Rose menggeleng sebagai tanda agar Edmund tidak membantah ucapan Sergío.

"Semuanya akan baik-baik saja. Sophia akan tinggal bersama kami selama seminggu itu."

"Apa? Tidak, Mom. Aku akan di sini bersama Edmund," ucapnya mengeratkan pegangan pada tangan Edmund.

"Sophia tidak akan ke mana pun, karena Lexi tidak akan tinggal di sini."

"Lexi hanya di sini selama seminggu, ini bagian dari pengobatannya."

Edmund menatap Sergío tidak percaya. "Kau percaya itu, Dad?"

"Aku mempercayai dr.Dan, dia akan selalu mengawasi Lexi. Begitu pun dengan kami, kau tidak perlu khawatir."

"Aku akan bersikap baik, Ed. Hanya seminggu dan setelah itu aku pergi."

"Tutup mulutmu, Lexi," ucap Edmund tanpa menatap wanita itu.

"D'allesandro."

Dan akhirnya, setelah beradu argumen dengan dr.Dan juga tekanan dari Sergío, Edmund kalah. Dia mengepalkan tangan dengan wajah menahan amarah. Bisa-bisanya Sergío membiarkan Lexi tinggal di apartemennya berdasarkan kepercayaan pada dr.Dan juga kepatuhannya pada Marxel.

Tanpa bicara apa pun Edmund langsung pergi ke lantai atas saat dr.Dan masih menjelaskan, meninggalkan semua orang yang ada di bawah, salah satunya istrinya.

Melihat itu, Rose mengisyaratkan Sophia agar menyusul suaminya. Dia melangkah cepat menaiki tangga dan masuk ke kamar mereka, di mana Edmund sedang memijat pelipisnya di sana.

"Ed?"

"Jangan mendekat, Sophie, aku sedang marah."

"Aku tahu."

"Kalau begitu pergilah!"

Sophia menggeleng. "Kau butuh seseorang di saat seperti ini."

"Pergi, Sophie!" Teriak Edmund menghentikan langkah Sophia sesaat. Pria itu mengguyar rambutnya kasar dan membalikan badan membelakangi istrinya.

"Pergilah," ucapnya dengan suara melemah.

Sophia tidak menghiraukan ucapan suaminya, dia tetap mendekat dan memeluk Edmund secara tiba-tiba dari belakang. Edmund menghela napasnya, tangannya perlahan turun mengusap lengan mungil yang memeluknya. Mata Edmund terpejam, merasakan kehangatan saat Sophia semakin mengeratkan pelukannya.

Dia melepaskan pelukan Sophia dan membalikan badannya, sedetik kemudian Edmund kembali memeluk istrinya. Membawa perempuan itu ke dalam dekapannya.

"Maaf aku membentakmu."

"Tidak apa," ucap Sophia membalas pelukan Edmund.

"Aku sangat marah. Dad tahu bagaimana buruknya Lexi, tapi dia membiarkan dia tinggal di sini begitu saja."

"Mungkin dia memang sudah sembuh."

Edmund tertawa hambar. "Wanita seperti itu tidak akan sembuh."

"Tidak ada yang tidak mungkin, Ed."

Edmund terdiam beberapa detik sebelum dia mencium puncak kepala istrinya. "Pergilah ke rumah Mommy selama satu minggu ini."

Kening Sophia berkerut, dia mengadah menatap suaminya. "Untuk apa?"

"Tentu saja tinggal di sana, aku tidak ingin kau berada di atap yang sama dengan Lexi."

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. "Aku akan tetap di sini."

"Jangan membuatku kesal seperti yang lainnya, Sophie. Ikutlah bersama Mommy, Lexi wanita yang berbahaya."

"Justru itu, karena dia berbahaya kita harus tetap bersama. Jika ada salah satu dalam bahaya maka yang lainnya harus melindungi," ucap Sophia kembali memeluk suaminya.

Edmund menghela napasnya sambil mengusap kepala Sophia. "Aku takut dia akan menyakiti calon bayiku," gumam Edmund yang tanpa disadarinya itu menyakiti hati Sophia.

Perempuan itu berpikir kalau Edmund hanya memikirkan bayinya, semua yang dia khawatirkan adalah tentang bayi yang ada di dalam kandungannya. Hati Sophia terasa sangat sakit, tapi dia menutupinya dengan memeluk suaminya erat dan menghirup aromanya dalam.

Di tempat lain di waktu yang sama, seorang wanita tersenyum gembira sambil menatap pria yang ada di hadapannya.

"Kau harus membayar untuk kebohongan ini, Lexi."

"Aku tahu kau mencintaiku, Dan. Kau tidak bisa menolak permintaanku," ucap Lexi berjinjit mencium bibir pria itu. "Terima kasih."

"Tidak ada yang gratis di dunia ini."

Lexi mengangguk-anggukan kepalanya. "Aku tahu maksudmu, Sayang."

***

Pagi hari ini terasa berbeda untuk Sophia, di saat dia turun ke lantai bawah, suara denting alumunium memenuhi pendengarannya. Diiringi dengan suara musik, wanita yang sedang memasak itu meliuk-liukan badannya.

"Hai, selamat pagi, Sophie," sapanya saat menyadari keberadaan Sophia.

"Selamat pagi, Lexi," jawab Sophia dengan agak ragu. Matanya tetap menatap wanita itu secara diam-diam, mencoba mencari kebenaran dalam setiap gerakannya. Kebebaran tentang kesembuhan dan niat baiknya untuk membantu, tapi Sophia tidak menemukannya.

Dia mungkin tersenyum ramah, tapi Sophia merasa di dalam tatapannya itu menyimpan sekali banyak kebencian. Lexi memang tidak melakukan apa pun yang membahayakan dirinya, atau mungkin belum. Wanita itu selalu tersenyum ramah dan tinggal di apartemen Edmund layaknya pembantu. Lexi selalu melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan seorang asisten rumah tangga, dia selalu melakukan semua itu dengan senyuman manisnya.

"Apa ini?"

Lexi membalikan badannya. "Oh, itu jus mangga."

"Untuk siapa?"

"Untuk Edmund, dia suka itu saat masih kecil."

Sophia hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil meminum itu tanpa diketahui oleh Lexi. Dan saat wanita itu melihatnya, dia berteriak kecil dan mengambil paksa jus yang sedang di minum Sophia.

"Ada apa?"

"Kenapa kau meminumnya?"

"Maaf, aku hanya mencobanya. Tapi ternyata itu enak," ucap Sophia hendak mengambil kembali gelas yang dipegang Lexi. Namun wanita itu mengangkatnya tinggi dan menatap Sophia kesal.

"Ada apa? Kau bisa membuatnya lagi untuk Edmund."

Wanita itu menghela napasnya sebelum berbalik untuk menyimpan sisa jus di atas meja dan kembali lagi mendekati Sophia dengan membawa segelas air.

"Minum ini," ucapnya menyodorkan gelas berisi air putih penuh pada Sophia. "Cepat!"

Sophia hanya menurut, dia meminum air itu sampai habis dengan Lexi yang menatapnya tajam dari arah dekat.

"Apa yang kau rasakan?"

"Aku merasa kenyang," ucap Sophia menyingkirkan tangan Lexi yang memeganginya.

"Apa kau merasa kepanasan?"

"Apa maksudmu?"

Selang beberapa detik setelah ucapan Lexu baru Sophia menyadari ada yang salah tubuhnya. Sophia merasa kepanasan seperti yang ditanyakan Lexi, tubuhnya seakan butuh sesuatu agar bisa mendinginkannya.

"Minuman apa yang kau buat?" Sohia menatap Lexi sambil menggaruk lehernya di saat rasa panas itu mulai menjalar di tubuhnya.

"Sial," umpat Lexi sambil berjalan pergi dari sana ketika melihat Edmund menuruni tangga. Berpura-pura tidak melihat pria itu atau mendengar terikan Sophia, Lexi masuk ke dalam kamarnya.

Sophia terus menggaruk-garuk lehernya yang terasa panas, dia mengerang saat suhu tubuhnya merasa panas dan berbeda dari biasanya.

"Sophia?"

Perempuan itu membalikan badannya menatap suaminya yang mendekat dengan kening berkerut. "Ed?"

"Ada apa? Kau kenapa?"

"Entahlah, aku merasa kepanasan," ucapnya tidak berhenti mengusap bagian tubuhnya.

Edmund mendekati istrinya dan menghentikan tangannya yang menggaruk leher. Dia mengendus di sekitar wajah Sophia, rahang Edmund mengeras mengetahui apa yang Sophia minum.

"Afrodisiak," gumam Edmund membuat kening Sophia berkerut.

"Kau bilang apa?"

Tanpa menjawab, Edmund menggendong Sophia secara tiba-tiba. Membuat perempuan itu menjerit tertahan dan langsung melingkarkan tangannya di leher Edmund. Keningnya berkerut saat suaminya membawa ke dalam kamar yang ada di sebelah kamar Lexi. Dan Sophia semakin bingung saat Edmund menidurkannya di atas ranjang.

Di saat yang bersamaan, Lexi mengepalkan tangannya kuat. Obat perangsang yang terlarut dalam jus itu seharusnya diminum oleh Edmund. Agar dia bisa berduaan dengan pria itu saat sudah berhasil dan menyingkirkan Sophia agar keluar dari apartemen.

Lexi memang belum sembuh, dia masih sakit seperti yang diyakini Edmund. Namun, dia berhasil mengelabui semua orang, termasuk Marxel. dr.Dan itu berbohong demi dirinya, pria Argentina itu menyukai dirinya sejak pertama kali bertemu. Tentu saja Lexi tidak menyia-nyiakan hal tersebut. Dia memanfaatkannya hingga bisa berada di sekitar pria yang sangat dia cintai. Dan Lexi akan menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya agar bisa memiliki Edmund.

"Kau akan menyesal telah mengandung bayi Edmund-ku," ucapnya dengan gigi yang saling beradu.

---

Ig : @alzena2108💋💋