webnovel

Dendam Kaisar Archadia Kepada Rion

Taburan bintang tampak menghiasi langit malam. Istana dari Kekaisaran Archadia terlihat sangat bersinar, bermandikan cahaya emas yang berkilauan. Orang-orang berkumpul di halaman istana sambil memegang sebuah lentera yang telah dinyalakan dan siap untuk diterbangkan.

Ini adalah sebuah festival lentera yang diadakan oleh Kaisar Dario Achadale untuk memperingati kematian putri kesayangannya Rose Archadale yang meninggal karena dipenggal oleh suaminya sendiri.

Sampai detik ini, kemarahan sang kaisar kepada Rion belum padam. Dia bersumpah tidak akan membiarkan raja itu hidup tenang.

***

Pintu dari sebuah ruangan megah terbuka. Seorang wanita cantik berambut hitam nampak terbaring lemah di atas sebuah tempat tidur.

"Yang Mulia." Dia menoleh dan menatap pria tampan berambut hitam kecokelatan dan bermata amber yang berdiri di ambang pintu sambil menatap sendu ke arahnya.

Pria itu adalah Kaisar Archadia dan wanita yang terbaring lemah itu adalah Ratu Isabela, ibu dari Rose. Kematian Rose sangat membuat sang ratu terpukul dan seiring waktu kesehatannya terus memburuk.

Sang kaisar melangkah masuk dan duduk di samping istrinya.

"Yang Mulia." Ratu Isabella menangis, hatinya terasa sangat sakit saat mengingat akhir dari hidup putrinya yang sangat menyedihkan.

Dario menggenggam tangan istrinya dengan erat lalu menciumnya.

"Jangan menangis, kau harus menjaga kesehatanmu, aku sudah kehilangan Rose dan aku tidak ingin kehilanganmu juga," ucapnya sambil menghapus air mata ratunya.

Setelah itu dia membantu sang ratu untuk bangun.

"Apa kau yakin bisa melakukannya?" tanyanya merasa khawatir dan sang ratu menjawabnya dengan satu anggukan.

Dario mencium kening ratunya lalu menggendong wanita itu meninggalkan ruangan menuju salah satu menara istana. Di sana, mereka berdua akan menerbangkan lentera bersama disusul oleh semua orang yang berada di bawah.

Di dekat jendela menara, sebuah lentera besar yang bersinar sangat terang telah disiapkan.

Perhatian semua orang yang berada di bawah kini terpusat kepada Kaisar Dario dan Ratu Isabella yang telah berdiri di dekat jendela menara, bersiap untuk menerbangkan lentera pertama.

"Sang ratu terlihat sangat pucat, semoga kesehatannya segera membaik," kata seorang pelayan yang melihat sang ratu dari bawah dan pelayan lain mengangguk sambil menatap iba.

Sementara itu, dari atas menara Dario terlihat sangat khawatir, wajah Isabela lebih pucat dari biasanya. Dia berulang kali menanyakan keadaan wanita itu dan wanita itu selalu berkata bahwa dia baik-baik saja.

Dia meminta agar sang kaisar tidak terlalu mencemaskannya dan membiarkannya menerbangkan lentera.

Karena Ratu Isabella, bersikeras, sang kaisar pun menuruti tetapi mereka akan melakukannya dengan cepat setelah itu dia akan segera membawa sang ratu kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

"Rose, bagaimana kabarmu, sayang? Ibu berharap kau baik-baik saja. Ibu sangat merindukanmu." Air mata Isabela berjatuhan saat ia bicara.

"Ayah juga sangat merindukanmu, sayang. Ayah berharap kau beristirahat dengan tenang. Ayah dan ibu sangat menyayangimu."

Lentera pertama dilepaskan. Semua orang yang berada di bawah melepaskan lentera yang berada di tangan mereka dan seketika langit istana dipenuhi ratusan lentera membentuk sebuah pemandangan yang sangat indah.

Ratu Isabella menangis tersedu-sedu di pelukan suaminya. Namun, selang beberapa saat kemudian dia kesulitan untuk bernafas lalu terjatuh.

"Isabel!" Dario yang panik segera menggendong dan melarikan Isabela ke kamarnya. Saat di koridor dia berteriak memerintahkan para pelayan untuk segera memanggil dokter.

"Isabel, bertahanlah! Aku mohon," Dario berucap panik saat membaringkan Isabella di ranjang, beberapa detik kemudian seorang dokter memasuki ruangan bersama dengan dua orang pelayan lalu disusul oleh dua orang wanita cantik yang merupakan selir dari sang kaisar.

"Isabel , bertahanlah, aku mohon." Dario berkeringat dingin, jantungnya berdebar sangat cepat, dia menggenggam tangan istrinya dengan sangat erat.

"Yang Mulia berjanjilah kepadaku kalau kau tidak akan membiarkan Rion hidup tenang, berjanjilah Yang Mulia …," Isabela berucap dengan napas yang terputus-putus dan sesaat kemudian dia menghembuskan napas terakhirnya.

Deg.

Dario mematung, dia merasa jantungnya baru saja dihancurkan. Dia kehilangan istrinya di malam peringatan kematian putrinya.

Dia memeluk mayat istrinya sambil terisak, kebenciannya kepada Rion D-Panther semakin bertambah.

***

Setelah berhari-hari akhirnya Rion beserta ketiga orang lainnya sampai di Green Castle.

Malam ini Odette tidak bisa tidur, seluruh tubuhnya terasa sangat pegal karena perjalanan yang sangat panjang.

Karena merasa sangat tidak nyaman, dia pun memutuskan untuk bangun dan berjalan menuju jendela. Seketika dia terperangah ketika melihat taman mawar yang terhampar di depan sana. Mawar-mawar itu bergerak anggun ketika angin berhembus dan dia mencium aroma manis yang sangat menenangkan.

Odette tidak pernah melihat taman mawar secantik itu.

"Apakah ini … mawar yang Anwen maksud? Mawar yang bisa mengabulkan permohonan?" Odette bertanya-tanya di dalam benaknya.

Karena merasa penasaran, dia lalu melompat keluar jendela, berniat untuk melihat bunga-bunga itu dari dekat.

Odette begitu terpukau dengan pemandangan yang ada di hadapannya sehingga tanpa sadar dia mulai melamun. Namun tiba-tiba, suara langkah kaki seseorang membuatnya tersadar dari lamunan.

Kedua matanya terbelalak. Saat dia menoleh untuk melihat siapa yang datang, tiba-tiba lehernya dicekik dengan sangat kuat.

"Ri-Rion …" Dia menatap pria berambut abu-abu yang saat ini sedang mencekiknya. Kedua mata hazel pria itu menatap sangat tajam dan juga sangat dingin.

Odette masih mengingat dengan jelas tatapan itu sama persis dengan tatapan pria yang pernah menodongksn pedang ke arahnya.

"Sa-sakit." Odette meringis kesakitan ketika dia merasakan tubuhnya terangkat dan kakinya perlahan tidak berpijak di tanah.

"Le-lepaskan." Odette semakin meringis dan panik saat jalur oksigen di dalam dirinya mulai menyempit. Dia berusaha melepaskan cengkraman pria itu namun kekuatannya tidak berdaya di hadapan kekuatan pria itu.

Rion yang melihat Odette kesakitan menyeringai. "Wajah menderita yang sangat indah," ucapnya.

Odette memandang Rion dengan bola mata bergetar sesaat sebelum tubuhnya dilempar ke tembok.

"Ahk." Tengkorak kepalanya terasa bergetar saat berbenturan dengan tembok. Selang beberapa detik kemudian, cairan merah keluar dan mengubah warna rambutnya menjadi gelap.

Darah keluar banyak sekali, merembes ke kerah baju yang dia kenakan. Namun Odette masih sadar.

Dengan tangan gemetar dia berusaha bangun dari posisi tengkurapnya. Dia harus segera melarikan diri untuk menyelamatkan hidupnya, tetapi apakah dia bisa melakukan itu?

Ketika Odette baru bangun dan menoleh karena merasakan keberadaan Rion di dekatnya, dia terbelalak ketika melihat pedang terayun ke arahnya.

Odette menjerit sambil bergerak spontan melindungi kepalanya dengan tangan. Namun sekali lagi Tuhan menyelamatkan nyawanya.

Seseorang datang tepat waktu.

Dengan jantung yang berdebar sangat keras, Odette membuka matanya dan melihat dua pedang saling bersilang di hadapasnnya. Ia mendapati Trish berdiri di sebelahnya.

"Huh. Dasar anjing,” kata Rion, kembali menyeringai

Trish tidak memberikan tanggapan apa pun. Kedua matanya menatap sangat tajam ke arah mata hazel milik sang raja.