Night king : Kebangkitan Sang Kucing Hitam
Chapter 20 : Kasih Sayang.
"Salam Ayah sudah Lin Tian terima dengan baik, Ayah," kata Lin Tian langsung menjawab salam dari Lin Pan tersebut.
Dia sengaja mendekatkan dirinya pada ponsel milik Lin Hua, agar kalimatnya tersebut dapat tersampaikan dengan baik pada Lin Pan.
"Kamu ternyata di sana, Boy. Ayah kira kamu tidak bersama Lin Hua," kata Lin Pan sedikit terkejut karena kehadiran Lin Tian di sana. Dia tidak menduga sebelumnya bahwa Lin Tian menyimak pembicaraannya dengan Lin Hua.
Mendengar jawaban Lin Pan yang sedikit menyindir itu membuat Lin Hua segera berkata, "Bukankah tadi sudah, Lin Hua katakan kalau Lin Tian sedang bersama Hua di sini Ayah. Mungkin ayah saja yang tidak mendengarnya," protes Lin Hua yang langsung mengundang gelak tawa pemilik suara yang berada jauh di sana.
Lin Pan tertawa sangat keras, dia tahu betul watak asli putrinya itu, pasti saat ini dia sedang mengerucutkan bibirnya dan memang benar dugaan Lin Pan tersebut. Lin Hua memang sedang mengerucutkan bibirnya seraya menggembungkan pipinya juga.
"Ayah ... Jangan tertawa," gerutu Lin Hua. Bukan hanya berhasil mematik Lin Pan untuk tertawa, tetapi Lin Tian pun ikut menahan tawanya. Namun, dia menutup mulutnya agar tidak lebih jauh menyingung perasaan Lin Hua.
"Mengapa kau menutup mulutmu? Jika ingin tertawa, tertawalah dengan puas. Jangan menutup mulut seperti itu," bentak Lin Hua dengan nada ketusnya.
Seketika Lin Tian pun diam, tidak lagi ada tawa yang dia tunjukkan. Tatapan mata Lin Hua yang begitu dingin dan buas itu, berhasil membuat Lin Tian yang dahulunya seorang Pendekar tingkat tinggi pun menjadi takut.
Seseram itu kah seorang wanita ketika sedang marah, sehingga pria yang memiliki kemampuan tinggi pun menjadi takluk dibuatnya?
Lin Pan yang mendengar pertengkaran keduanya dari balik sambungan telepon itu, mencoba untuk melerai keduanya. Lin Pan sangat tahu betul sikap dan watak gadis ayunya itu sehingga Lin Pan buru-buru menenangkan Lin Hua agar Lin Tian tidak terkena amarah dari gadis ayunya tersebut.
"Sudah-sudah, kalian jangan bertengkar seperti itu. Tidak baik kalian bertengkar karena kalian berdua adalah saudara. Jangan ada permusuhan di antara kalian yang membuat Keluar Lin terpecah belah. Ayah tidak ingin itu terjadi," kata Lin Pan, segera membuat emosi pada diri Lin Hua pun meredam.
"Maaf, Ayah, Hua tidak akan marah lagi pada Lin Tian. Hua janji akan menjaga Lin Tian dengan baik, seperti yang sudah Hua katakan pada Ayah," balas Lin Hua sedikit merasa bersalah.
Lin Pan dapat mendengar dengan jelas permintaan maaf yang terlontar dari mulut putrinya tersebut dan dia juga dapat merasakan bahwa, Lin Hua benar-benar menyesali perbuatannya.
Hal sama pun Lin Tian katakan. Kata maaf pun terlontar dari mulutnya. Dia juga merasa menyesal atas perbuatannya yang mungkin sudah melukai perasaan Lin Hua.
Lin Pan terdiam cukup lama, dia bisa merasakan kedua anaknya itu saling menyayangi satu sama lain, sehingga akan merasa ikut terluka saat yang lainnya terluka.
Lin Hua dan Lin Tian saling berpandangan, keduanya larut dalam perasaan masing-masing. Tidak ada kalimat yang keduanya ucapkan. Lin Pan pun mendehem, mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana yang cukup tegang tersebut.
Lin Hua kembali fokus pada panggilan telpon sang Ayah dan begitu juga dengan Lin Tian. Terdengar suara tawa dari Lin Pan, sontak membuat Lin Hua dan Lin Tian sama-sama mengerutkan kening.
"Apakah ada yang Lucu, Ayah?" telisik Lin Hua penasaran. Lin Tian pun ikut penasaran karena tawa sang Ayah yang secara mendadak itu.
Lin Pan pun mengecilkan suaranya, "Tidak, Sayang. Tidak ada yang lucu. Ayah hanya merasa bahagia saya karena memiliki kalian di dalam kehidupan ini. Ayah tidak tahu bagaimana hidup Ayah jika tidak ada kalian dan juga Lin Xiao? Mungkin Ayah akan sangat kesepian."
Lin Pan pun mengelah napas berat, seketika tawa itu kembali berubah menjadi suasana yang menyayat hatinya, kala kembali mengingat bagaimana dirinya bertemu dengan anak-anaknya.
Lin Hua yang berada jauh di sini pun dapat merasakan ada getaran rindu yang menelisik di kalbu andai jaraknya dengan sang Ayah tidaklah jauh, Lin Hua ingin sekali memeluk sang Ayah yang sangat dicintainya.
"Ayah sangat menyayangi kalian semua," kata Lin Pan.
Ketika kalimat itu sedikit terjeda, tiba-tiba datang suara lainnya dari arah belakang Lin Hua dan Lin Tian.
"Aku juga sayang, Ayah," ucap seseorang yang suaranya tersebut tidak asing di telinga Lin Pan dan yang lainnya.
Lin Xiao berjalan begitu gagah mendekati Lin Hua dan Lin Tian. Dia tampak terburu-buru untuk sampai pada kedua saudaranya itu.
"Aku juga sangat menyayangi, Ayah." Lin Xiao kembali mengutarakan rasa sayangnya yang tentu saja langsung terdengar dengan jelas oleh Lin Pan.
"Ayah, tentu tidak melupakan diriku bukan?" selidik Lin Xiao seraya mendekatkan wajahnya pada benda pintar milik Lin Hua.
Lin Pan bisa mendengar dengan jelas ucapan tersebut. Dia kembali tertawa riang tatkala satu lagi putranya hadir di sana. Biarpun tidak memiliki seorang istri, tapi Lin Pan merasa bahagia. Hidupnya tetap sempurna karena memiliki putra dan putri yang begitu menyayanginya.
"Ayah sangat senang hari ini karena kalian begitu akur dan kompak," tutur Lin Pan, yang dapat dirasakan oleh Lin Hua dan lainnya sebagai bentuk rasa bahagianya.
"Kami juga sangat bahagia karena memiliki dirimu, Ayah," ucap Lin Hua dan yang lainnya pun sepemikiran dengannya.
Lin Xiao merangkul bahu Lin Tian, "Benarkan, Kak. Kita akan menjadi keluarga yang bahagia di kehidupan ini ataupun nanti. Atau, mungkin di kehidupan sebelumnya kita adalah saudara sehingga di kehidupan ini kita dipertemukan kembali."
Kalimat terakhir Lin Xiao seketika membuat Lin Tian terpaku, diam tidak bergeming. Pikirannya seolah menjelajah kembali ruang dan waktu.
Jika diingat-ingat kembali, pada kehidupan sebelumnya Lin Tian sama sekali tidak memiliki saudara. Kedua orang tuanya terbunuh saat Desanya musnah karena para perampok.
Lin Tian masih mengingat betul bagaimana dirinya hampir dijual sebagai budak oleh para perampok, tetapi akhirnya dia bisa meloloskan diri dan lari ke tengah-tengah hutan. Semenjak saat itu kehidupan Lin Tian berubah terutama ketika dirinya bertemu dengan seseorang yang telah mengubah kehidupannya.
"Kak, ada apa denganmu?" telisik Lin Xiao, seraya merangkul bahu Lin Tian.
Lin Xiao dan Lin Hua bertanya-tanya saat Lin Tian terdiam untuk waktu yang cukup lama sesaat setelah Lin Xiao menyingung tentang kehidupan yang lalu.
"Aku tidak apa-apa," balas Lin Tian berusaha untuk kembali meraih ketenangannya.
"Aku baik-baik saja. Memangnya aku ini kenapa? Ayo, kita bicara lagi dengan ayah."
Lin Tian mengalihkan topik pembicaraannya dan menjadikan Lin Pan sebagai kambing hitam agar dirinya tidak lagi dicecar banyaknya pertanyaan. Namun, sambungan telepon tersebut sudah Lin Pan akhirnya sehingga tidak ada lagi pembicaraan antara anak dengan ayahnya.