"Tidak ada! Mimpi itu sudah tidak bisa dihentikan oleh siapapun kecuali kehendak-Nya. Kamu harusnya bersyukur dan menggunakan dengan baik kemampuan yang diberikan."
Kata-kata mbah Suripah terus terngiang ditelinga Aya. Bersyukur bagaimana? Selama ini Aya selalu menderita karena melihat satu persatu kejadian yang merenggut nyawa orang terdekatnya menjadi kenyataan.
Aya tersentak saat orang yang disebelahnya menepuk keras bahu Aya. Aya berdecak sebal, merasa kesibukannya sedang terganggu. Namun setelah menyadari hal yang saat ini dihadapinya, Aya meringis dan meminta maaf kepada seluruh orang yang ada diruang rapat.
"Bagaimana Ya? Kalau kamu gak sanggup, aku serahkan ke tim lain." Aya membelalakan matanya, tidak sanggup apa? Aya melirik rekan setimnya yang berbicara tanpa suara.
"Saya sanggup bu." Ucap Aya segera setelah berhasil membaca ucapan dari rekan setimnya. Aya tersenyum bahagia saat tahu timnya dipilih untuk menjalankan proyek besar ini.
"Baiklah, proyek Theo corp. jadi milik tim Aya. Saya tunggu hasilnya ya." Aya mengangguk menjawab Wati, masih tak percaya timnya diberi kesempatan sebesar ini.
"Sudah pukul dua belas siang. Waktunya istirahat, selamat beristirahat semua."
Seharusnya Aya merasa sangat bahagia karena berhasil mendapat proyek yang jadi incaran timnya dari awal. Tapi melihat Citra yang langsung keluar dari ruang rapat tanpa memberi selamat atau sekadar sapa tegur, membuat Aya sedih.
Tidak bisa, Aya harus segera memberitahu Citra tentang mimpinya. Citra boleh saja berusaha menghindarinya tapi Aya akan berusaha seribu kali lipat untuk mendekatinya.
Dengan cepat Aya membereskan berkas-berkas yang ada didepannya setelah Wati keluar ruangan.
Aya mengejar Citra yang sudah berjalan mendahuluinya. Kali ini Citra tidak boleh menghindarinya.
"Eh, apa-apan sih?"
"Ikut gue bentar ke rooftop." Aya segera menarik Citra ikut bersamanya sebelum menghilang darinya lagi.
*
Aya memberikan sebuah susu kotak rasa coklat pisang kesukaan Citra, namun Aya tak menduga bahwa Citra terlihat tidak berminat dan hanya memainkan kotak susu itu ditangannya.
"Ada apa sih Ya? Cepet! Aku masih ada kerjaan."
Hati Aya sakit saat melihat sikap Citra yang tidak biasa ini.
"Kamu marah Cit sama aku? Aku ada salahkah sama kamu?"
"Lo kira?"
Aya mengerutkan dahi, menahan tangisnya.
"Aku gak tahu aku salah apa, tapi aku minta maaf kalau emang salah aku sampai bikin sikap kamu berubah ke aku jadi kayak gini."
"Udahlah, mau ngomong apa bawa aku kesini?!"
"Aku mau bilang, tapi kamu harus siap dengerin ini." Aya menelan ludahnya, merasa kesulitan untuk jujur kepada Citra.
"Kamu tahu, aku punya mimpi yang jadi kenyataan kan?"
"Terus?"
"Aku mimpiin kamu, ceritanya... kamu di perkosa sama Farhan." Citra tertawa dengan keras, membuat Aya khawatir.
"Konyol."
"Tolong Cit, dengerin aku. Jauhin Farhan, banyak laki-laki lain selain dia. Aku gak mau lihat orang yang aku sayangi mati karena mimpi aku untuk sekali lagi."
"Hah? Kamu gila Ya! Aku masih sehat, gak mungkin mati! Gak mungkin ada yang namanya mimpi jadi kenyataan. Kamu cenayang? Dukun? Atau paranormal?"
"Kok kamu ngomong gitu sih Cit? Selama ini aku selalu cerita sama kamu soal mimpi aku ini dan kamu selalu percaya."
Citra tersenyum miring. "Itukan dulu. Setelah aku fikir, kamu pinter banget ngarang cerita. Karena semuanya itu cuma omong kosong."
"Citra, aku mohon. Aku gak mau kehilangan kamu. Pliss, jauhin Farhan. Ya?" Aya terkejut saat Citra menghempaskan tangannya yang menggenggam tangan Citra.
"Kamu tu ya. Jangan ngaco! Farhan itu udah berubah. Aku malah lebih milih jauhin kamu, karena kamu yang bocorin ke Abi aku kalau aku pergi ke club."
"Ha? Aku gak ada omong sama Abi soal itu. Sumpah Cit, aku gak ceritain ke siapapun, bahkan ke Abi."
"Yaaaah, walau bukan kamu pasti si Tian. Sahabat tercinta lo."
"Jangan nuduh Tian sembarangan kayak gitu. Tian bahkan belum pernah ketemu Abi."
"Siapa yang tahu?" Citra mengangkat kedua bahunya, meninggalkan Aya dengan segala kesedihan yang Aya miliki.
*
"Ya! Woi!" Aya terkejut saat rekan setimnya meneriakinya dengan keras. Membuat nafasnya naik turun tidak teratur. Melamun mungkin akan jadi hobi baru bagi Aya.
"Eh, maaf. Gimana?"
"Tolong Ya! Yang fokus, apalagi kali ini lo ketua tim kita. Lebih lagi proyek yang kita bahas sekarang itu bukan proyek kecil. Jadi pliss, tolong kita." Aya mengangguk pasrah, melamun di tengah diskusi memang salahnya.
"Maaf, janji gak ngulangin lagi." Semua anggota timnya mengangguk, percaya pada Aya.
Aya menghembuskan nafas, memulai aktivitasnya kembali dengan fokus. Menjalankan tugas sebagai seorang ketua tim yang hebat, mengalihkan fikirannya dari mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya.
*
Aya menghela nafas berat, menatap satu manusia yang hampir seluruh hidupnya selalu mengusik Aya. Aya menghampiri Tian dan bersiap memberikan sebuah tinju di bahu kokoh Tian.
"Sakit Ya." Aya menjulurkan lidahnya tidak peduli, langsung masuk kedalam mobil yang hari ini berwarna putih itu, agar tidak menjadi sasaran tatapan tajam para wanita yang iri dengannya.
"Eh, kamu udah cerita sama Citra?" Tanya Tian begitu masuk ke mobilnya. Aya menggeleng lemah. "Udah Yan. Tapi Citranya gak percaya."
"Bukannya kamu udah sering cerita ke Citra tentang mimpi kamu? Bahkan dia juga maksa temenan sama kamu bahkan sesudah kamu ceritain sama kamu kan Ya?"
"Aku gak tahu Yan. Mungkin aja dia mau temenan juga karena gak percaya sama mimpi aku? Dia bilang sendiri kalau dia gak percaya. Cuma nganggep cerita aku omong kosong. Makanya dia berani temenan sama aku." Aya mengacak rambutnya frustasi.
"Udah jangan buruk sangka dulu."
"Dia tuh yang fitnah aku. Citra nuduh aku ngasih tau Abinya kalau dia pergi ke club. Dia nuduh kamu juga."
"Hah? Kok bisa gitu?"
"Aku beneran gak tahu, gimana Abinya bisa tahu soal itu?" Aya memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Berfikir keras siapa yang menuduh Aya melakukan itu dan berhasil mempengaruhi Citra?
Aya segera memakai sabuk pengamannya saat Tian menghidupkan mesin mobilnya.
"Kamu sabar ya Ya, kamu tetep harus ngingetin Citra tentang mimpi kamu. Jangan sampai mimpi itu jadi kenyataan."
"Eh Yan! Jangan jalan dulu." Aya menghentikan Tian yang hampir menginjak gas. "Lihat deh. Citra sama Farhan." Aya menunjuk kearah dua orang yang sedang berjalan beriringan, menuju sebuah mobil sedan. Dari jauhpun Aya bisa tahu bahwa perempuan itu memanglah Citra. Mau kemana Citra pergi berdua bersama Farhan?
Pikiran Aya mulai melayang kesana kemari. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi.
Kenapa Citra tidak percaya dengan perkataannya? Kenapa Citra tidak menghiraukan ingatan Aya untuk menjauh dari Farhan? Aya harus bagaimana supaya Citra percaya padanya?
"Yan ikutin!" Tanpa babibu, Tian segera menginjak pedal gas mengikuti mobil sedan yang sudah melaju jauh didepannya.