webnovel

Obat Mujarab

Nyai Dhira terlihat mondar mandir memikirkan obat apa yang bisa diberikan pada penderita wabah. Jika benar penularan penyakit itu disebabkan oleh tikus, hal pertama yang harus dilakukan tentunya menghindari hewan pengerat itu. Tapi, sudah jamak di rumah setiap orang ada tikus yang berdiam di lumbung padi. Bagaimana caranya mengusir mereka?

Tikus sendiri bukanlah penyebab utama wabah itu, melainkan bakteri yang dibawanya dan kemudian termakan oleh manusia. Artinya dari tubuh manusia itu sendiri harus bisa melawan sumber penyakit.

Nyai Dhira melirik pada Eyang Guru yang juga sedang sibuk dengan sebuah buku kuno. Lembar demi lembar dibacanya dengan teliti. Apa yang sedang dicarinya? Benar kata Nalini, andai mereka bisa membaca, tentu akan lebih mudah mendapatkan pengetahuan baru.

"Guru, apa yang anda cari?" tanya Nyai Dhira memberanikan diri bertanya. Eyang Guru berhenti cukup lama di halaman yang bergambar seperti bawang. Ia membaca berulangkali keterangan yang ada di bawahnya.

"Mbok, lihat ini. Menurutmu ini apa?" Eyang Guru balas memberikan pertanyaan lain. Ia menyodorkan buku itu pada Nyai Dhira.

Perempuan itu menyambutnya dan sekilas mengamati gambar itu. "Bukankah ini bawang putih, Guru?" Nyai Dhira ingin menyamakan pendapatnya dengan apa yang diketahui oleh Eyang Guru.

Lelaki itu kemudian mengangguk. "Iya, kamu benar. Itu bawang putih. Apa kamu tahu apa saja khasiat dari bawang putih?" Eyang Guru tampaknya mulai menguji apa yang sudah diketahui oleh tabib itu.

"Bawang putih biasa dipergunakan untk memasak, Guru. Bisa juga untuk mengobati bisul," jawab Nyai Dhira dengan polosnya. Ia sedikit merasa aneh kenapa Eyang Guru malah membahas tentang bawang.

"Nyai, kamu tahu bawang putih ini sebenarnya banyak sekali khasiatnya. Tidak hanya untuk bumbu, tapi bisa juga sebagi obat. Obat bisul katamu tadi?" Eyang Guru berusaha memahamkan Nyai Dhira dengan penjelasan yang sederhana.

Nyai Dhira mengangguk. "Betul, Guru. Lalu apa kaitannya bawang putih dengan wabah yang merajalela ini? Apa bisa digunakan untuk mengobati orang yang sakit? Bagaimana caranya?" Tabib itu mengajukan pertanyaan beruntun.

Eyang Guru tersenyum dengan sabar. Ia lalu mencoba memberikan penjelasan sederhana. "Nyai tahu apa penyebab bisul? Makhluk yang sangat kecil dan tak terlihat oleh mata kita. Ia membuat kulit menjadi radang dan membengkak. Begitupun dengan wabah ini yang asalnya dari kuman-kuman yang sangat kecil dan dibawa oleh tikus. Saya punya keyakinan, bawang putih ini bisa mengendalikan makhluk-mahkluk kecil dalam tubuh kita," papar Eyang Guru panjang lebar.

Nyai Dhira terlihat mengangguk-angguk. Ia sekarang mulai paham. Bawang putih bisa digunakan sebagai antibiotika alami yang mujarab. "Lalu, bagaimana cara menggunakannya, Guru?"

Eyang Guru menutup bukunya, jemarinya disatukan dan bertumpu di atas meja. "Gampang, Nyai. Orang-orang bisa langsung mengunyahnya, atau menumbuk dan mencampurkannya dengan air hangat, lalu meminumnya. Sehari cukup 2 siung bawah putih."

"Baik, Guru. Saya sekarang paham. Lantas, ramuan jamu apa yang harus saya buat sekarang?" Nyai Dhira kembali bertanya. "Saya pikir, orang-orang yang sakit juga membutuhkan tenaga dan pertahanan tubuh yang lebih kuat."

"Benar, Nyai. Orang yang sakit juga harus memperkuat daya tahan tubuhnya. Menurutmu, mereka harus meminum jamu apa? Pakai bahan yang mudah ditemukan di pekarangan rumah penduduk," pesan Eyang Guru. Ia tahu persis, saat krisis begini mereka yang bermental pedagang akan menukar barang yang dicari dengan harga yang mahal.

Nyai Dhira tampak berpikir sejenak. Ia kemudian melengkungkan bibirnya ke atas, pertanda sudah tahu jawabannya. "Wedang jahe, Guru. Rata-rata orang menanam jahe di pekarangan rumahnya. Minuman itu sangat berkhasiat untuk menghangatkan badan dan memperkuat daya tahan tubuh."

Eyang Guru mengacung ibu jarinya. "Kamu pintar, Nyai Tabib. Sekarang, buatlah ramuan jahe untuk kita sebelum kembali ke kotapraja," ujar Eyang Guru.

Nyai Dhira membungkuk dan menghaturkan sembah, Ia segera membawa beberapa ruas jahe dan gula merah ke tempat perapian. Dilihatnya di sana Nalini sedang sibuk meniup-niup kayu dan menyalakan api.

Perhatian Eyang Guru kemudian beralih pada Arya Dipa. Ia juga mempunyai tugas khusus untuk murid itu. "Ke sini, Arya. Ada tugas rahasia yang harus kamu lakukan," ucap Eyang Guru sembari memberi isyarat pada pemuda itu agar mendekat.

Arya Dipa yang sedang mempelajari peta kerajaan dan persebaran wabah mendekat ke tempat gurunya berada. "Sendiko dawuh. Guru. Saya siap melaksanakan perintah," ujarnya. Kedua tangannya tak lupa disatukan di depan dada dan menunduk takdzim menunggu perintah.

Eyang Guru menuliskan sebuah pesan di atas daun lontar. Tak terlalu panjang perintahnya, tapi cukup jelas dan tegas. "Serahkan pesan ini pada Panglima Jayeng Sura, mulai besok kita harus menutup jalan-jalan dan membatasi pergerakan orang-orang. Tempatkan pasukan di tempat-tempat strategis. Pastikan semua orang menuruti aturan, yang melanggar akan diberi hukuman."

Arya Dipa menerima daun lontar kemudian menyimpannya di balik baju rompi hitam yang dikenakannya. "Pesan ini akan saya sampaikan pada panglima setibanya di kotapraja nanti."

Eyang Guru menampakkan raut wajah senang. Hatinya kini sedikit lega, masalah besar yang sedang dihadapiya perlahan menemukan titik terang. "Kita akan bawa kedua tabib itu ke kotapraja. Aku masih membutuhkan mereka. Lagipula, mereka tak ada tempat tujuan."

"Baik, Guru. Dengan senang hati, saya akan mengawal perjalanan ini," ujar Arya Dipa seraya kembali menyembah. Pemuda itu kemudian membereskan perbekalan. Ia membungkus bermacam obat-obatan yang dibutuhkan selama di perjalanan nanti.

Tak berapa lama, Nyai Dhira dan Nalini datang membawa ramuan jahe yang sudah masak. Asap masih mengepul dari cangkir yang terbuat dari tanah liat. Aroma minuman itu tercium segar dan menggugah selera.

Nalini menyodorkan cangkir minuman di hadapan Eyang Guru dan Arya Dipa. "Silakan diminum selagi hangat. Ramuan ini biasa dibuat oleh ibu saya untuk daya tahan tubuh," ucapnya sambil perlahan undur diri.

Eyang Guru buru-buru mencegahnya. "Apa kalian juga sudah meminumnya?" tanyanya. Lelaki itu urung mengangkat cangkirnya saat melihat kedua perempuan di depannya menggelengkan kepala.

"Kalian juga harus meminumnya. Ingat, sebelum menolong banyak orang, kalian harus menjaga tubuh sendiri agar tetap sehat." Eyang Guru mengingatkan Nyai Dhira dan Nalini.

"Baik, Guru. Kami akan membuatnya lagi," ucap Nyai Dhira seraya menghaturkan sembah dan undur diri, kembali ke tempat perapian. Mereka segera membuat ramuan yang sama dan memperbanyaknya sebagai bekal selama di perjalanan nanti.

Selesai dengan semua persiapan dan perbekalan, Eyang Guru mengajak mereka bertiga meninggalkan tempat itu. Nalini berulangkali menengok ke belakang, hatinya terasa berat meninggalkan tempat persembunyian yang indah itu.

"Eyang Guru, apakah kapan-kapan saya diperbolehkan ke sini lagi?" tanya Nalini dengan malu-malu. Gua itu memang sepi dan terpencil, tapi Nalini menyukai suasana nyaman dan tenang di sana.

Eyang Guru tak segera menjawab. Ia justru tertawa lalu menjawab dengan jelas. "Tak usah dipikirkan lagi, Nduk. Aku akan membawamu ke tempat yang lebih baik untuk kalian. Tempat ini biarlah menjadi rahasia, dan kuharap kalian tak menceritakannya pada siapa pun."

"Ampun, Guru. Maafkan saya yang telah lancang. Kami akan menyimpan rahasia ini dengan rapat." Nalini menjura hormat sambil terus menundukkan wajahnya. Ia merasakan apa saja yang dikatakan oleh lelaki itu membuat orang tak bisa membantah.

Arya Dipa lalu menekan tombol pembuka pintu. Perlahan dinding bergetar dan celah terbuka. Langit terlihat gelap, satu dua bintang berkelipan di balik awan hitam. "Rupanya sudah malam lagi," ujarnya.

Mereka berempat kemudian beriringan keluar. Celah kembali menutup dengan rapat. Eyang Guru berjalan paling depan, disusul Nyai Dhira dan Nalini. Sementara Arya Dipa berjalan paling belakang sebagai pengawal.

Dua kuda meringkik kegirangan saat melihat majikannya muncul kembali dari dalam gua. Mereka yang tadinya berbaring di atas rerumputan sontak berdiri dan menghentak-hentakkan kakinya. Arya Dipa kemudian melepaskan tali-tali kuda dari ikatannya.

"Mereka sudah cukup beristirahat dan makan. Saya rasa kita sudah siap melakukan perjalanan, Guru." Pemuda itu berkata sambil tangannya menenangkan kudanya. Ia lalu menata tumpukan perbekalan di punggung kuda. "Kau ikutlah, denganku." Arya Dipa menunjuk Nalini.

Gadis itu tak segera menjawab. Ia menoleh pada ibunya meminta persetujuan. "Mbok, apa tidak apa-apa aku naik kuda dengan dia?" bisik Nalini. Seumur hidup, dia belum pernah berdekatan dengan lelaki manapun kecuali bapaknya.

"Sudah, Nduk. Tidak apa-apa. Ikuti saja," bujuk Nyai Dhira menenangkan putrinya. Ia paham, anak gadisnya itu malu sekaligus takut. Ia sendiri menyimpan kegamanan yang sama karena mau tak mau harus membonceng kuda Eyang Guru.

Tanpa membuang banyak waktu, Eyang Guru meloncat ke atas kudanya dengan sekali hentak. Gerakannya lincah dan mendarat dengan mulus di atas punggung kuda coklat. Ia lalu memerintahkan Arya membantu Nyai Dira agar bisa duduk di belakangnya.

Kuda yang terlatih itu menekuk kaki belakangnya sehingga Nyai Dhira bisa naik dan duduk dengan mudah. Ia berdiri menyamping dan berpegangan erat pada kantong perbekalan yang ada di sisi kanan dan kiri kuda.

"Tenang saja, Nyai. Aku hanya akan jalan pelan-pelan," ucap Eyang Guru sembari mulai menghela tali kekang kudanya. Kuda itu mulai berjalan meninggalkan tempat itu.

Di belakang mereka, Nalini kebingungan melihat kuda Arya Dipa yang begitu besar dan tinggi. Bagaimana bisa dia melompat ke atas punggungnya? Ia melirik pada kain jarit yang melilit tubuhnya dengan ketat.

Arya Dipa mengerti kesulitan Nalini. Tapi ia justru tersenyum kecil melihat kegelisahan gadis cantik itu. Pemuda berambut ikal sebahu itu meloncat ke atas punggung kuda sembari bersiul kecil.

Nalini masih diam saja. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Arya Dipa lalu mengulurkan tangan kanannya pada Nalini. "Peganglah tanganku, aku akan menarikmu," ucapnya dengan santai.

Nalini menggelengkan kepalanya. Telapak tangannya mulai berkeringat dingin. Ia ingin mencari bantuan pada ibunya, tapi sia-sia. Nyai Dhira sudah berjalan jauh di depan bersama Eyang Guru.

"Cepatlah. Kalau tidak mau kamu akan ditinggal sendirian di sini dan jadi mangsa harimau." Arya Dipa menakut-nakuti Nalini. Mukanya dibuat sedatar mungkin, meskipun dalam hati ia tertawa.

Mendengar kata harimau, Nalini ketakutan. Tempat itu sangat berbahaya dan ia tak mau ditinggal sendirian. Maka diraihnya tangan kokoh Arya Dipa.

Pemuda itu lalu menggenggam dan menariknya dengan kuat. Nalini merasakan tubuhnya melayang ke atas punggung kuda. Sedetik kemudian ia mendarat tepat di depan tubuh Arya Dipa.

Jantung Nalini berdetak tak karuan. Kenapa lelaki itu menempatkannya di depan dan setengah memeluknya?