webnovel

Babak Baru Sang Tabib

"Bagaimana? Apa kau sanggup memenuhi permintaanku?" Eyang Guru mengulang pertanyannya kembali. Ia memandang lurus pada Nyai Dhira.

Perempuan itu cepat-cepat mengangguk, menyanggupi syarat dari lelaki itu. "Baik, Guru. Saya akan berusaha semampu saya untuk membuat ramuan obatnya."

Mendengar itu Eyang Guru terlihat senang. Tapi kemudian ia mengangkat sebelah alisnya melihat gadis muda di depannya tidak sedang melihatnya, tapi justru terus menatap ke arah lain. Lelaki tua itu kemudian mahfum.

"Hmm, apa yang kau lihat, Nduk?" tanyanya mengagetkan Nalini. Ia sebenarnya tahu apa yang membuat gadis muda di depannya bertingkah sedemikian rupa.

"Apa kau belum pernah melihat seorang pemuda sebelumnya?" imbuhnya. Eyang Guru lalu memberi isyarat pada Arya Dipa agar maju mendekat.

Nalini seketika tersadar dan malu sekali. Pipinya bersemu merah. "Am-ampun, Eyang Guru. Saya terkejut saja," jawab Nalini lirih dan cepat-cepat menunduk. Lalu didengarnya langkah kaki pemuda itu mendekat ke arah mereka. Debaran di jantungnya semakin tak karuan.

"Guru, apa yang selanjutnya akan kita lakukan?" tanya Arya Dipa yang sudah berdiri di samping gurunya. Sesekali matanya juga mencuri pandang pada dua perempuan yang ada di sana. Pemuda itu bertanya-tanya, bagaimana bisa mereka masuk itu masuk ke tempat rahasia junjungannya.

"Kau lihat dua wanita ini? Mereka aku bawa ke tempat ini karena dikejar-kejar orang desa yang sedang terjangkit wabah. Aku rasa dia sudah tahu jenis penyakit itu, hanya saja belum menemukan obatnya," jelas Eyang Guru. Lelaki itu kemudian melangkah ke arah lemari yang berisi tumpukan obat.

"Apa kalian sudah memeriksanya?" tanyanya pada Nyai Dhira dan Nalini tanpa menoleh. Ia sendiri sibuk membaca tulisan yang tertera di masing-masing kotak.

"Ampun, Guru. Kami sudah melihatnya sebagian, tapi belum tahu apa isi yang ada di semua kotak itu." Nyai Dhira memberi jawaban, masih sambil tertunduk di belakang Eyang Guru.

"Bukankah ada keterangan di setiap kotaknya? Kalian tinggal membacanya, tak perlu memeriksa satu persatu," ujar Arya Dipa. Kedua tangannya bersedekap di depan dada, khas gaya seorang prajurit. Otot di pangkal lengannya menyembul, menunjukkan fisik yang kuat dan biasa berlatih ilmu kanuragan.

"Tidak bisa baca." Nalini bersuara pendek. Ia melirik pemuda itu, entah kenapa dia memberanikan diri untuk menyahut. Dalam hati ia juga merasa kesal, mungkin pemuda itu mengira semua orang sama dengannya. Padahal, kebanyakan orang desa tidak pernah belajar aksara, termasuk dirinya. Berbeda dengan kaum bangsawan dan terpelajar.

Arya Dipa merendahkan kepalanya dan menatap lekat pada Nalini cukup lama. "Jadi kau tidak bisa membaca?" ujarnya dengan memberikan nada penekanan. Ia mengira gadis itu cukup pintar jika dilihat dari wajahnya yang cantik, tapi ternyata ia tak bisa membaca. Arya menahan senyumnya.

"Bagaimana bisa membaca kalau tidak ada gurunya. Kisanak mau jadi guruku?" tanya Nalini meradang. Ia merasa harga dirinya terluka.

Ucapan Nalini justru membuat Arya tertawa. Ia mengamati lagi gadis di depannya. Usia mereka sepertinya tidak terpaut jauh. Gadis itu berkulit putih dan berhidung mancung. Ia pasti sudah jadi rebutan para pemuda jika hidup di kotapraja.

"Kenapa malah tertawa? Aku serius." Nalini memasang muka masam kala menatap Arya. Ia sejak dulu memang ingin sekali belajar, tapi anak perempuan sederhana sepertinya tak memiliki kesempatan itu.

"Nduk!" Nyai Dhira mengingatkan putrinya. Nalini paham, ibunya menyuruhnya berlaku sopan pada orang yang baru dikenalnya. Maka ia kemudian menjauh dari Arya dan beralih membuntuti ibunya.

"Ampun, Guru. Saya mau bertanya, apa wabah itu semakin meluas?" tanya Nyai Dhira pada Eyang Guru. Ia sendiri sudah menduga, penyakit yang menyerang warga desanya bukan kasus biasa. Penyakit itu cepat sekali menyebar, terutama pada keluarga terdekatnya.

Eyang Guru mengangguk mendengar pertanyaan Nyai Dhira. "Iya, Mbok. Wabah itu sudah semakin meluas. Waktu bertemu dengan kalian, aku sedang dalam perjalanan untuk melihat situasi di desa-desa. Sudah banyak korbannya dan semakin meresahkan, harus segera diatasi. Jika tidak bisa menimbulkan kekacauan," paparnya. Tangan kiri Eyang Guru mengelus jenggot kelabunya, ia berpikir keras.

"Jadi, saat itu Guru tahu kalau kami bukan penjahat seperti yang dituduhkan orang desa?" tanya Nalini. Rasa haru tak ayal menyeruak dari dalam hatinya. Mereka bahkan belum sempat bercerita pada lelaki yang seperti pandita itu, ternyata ia sudah tahu duduk persoalannya.

"Iya, Nduk. Aku sudah tahu, maka aku membawa kalian ke tempat ini. Tempat yang sejatinya sangat rahasia. Aku harap kalian nanti juga menyimpan rapat rahasia ini." Lelaki tua berkata dengan tulus. Sorot matanya teduh sekaligus tegas.

"Terima kasih, Eyang. Kami akan merahasiakan tempat ini." Mata Nalini berkaca-kaca , berulangkali tangannya disatukan di depan dada dan menghaturkan sembah hormat.

"Eyang? Kamu memanggilnya Eyang? Hai, gadis muda, apa kau tidak tahu siapa orang yang ada di hadapanmu itu?" Arya Dipa keheranan dan menganggap panggilan Eyang pada junjungannya terdengar sedikit kurang ajar.

"Arya ..." Kali ini Eyang Guru yang menegur muridnya. Ia tak ingin identitasnya diketahui terlalu cepat oleh dua perempuan yang ada di depannya.

"Ampun, Guru." Arya Dipa segera menunduk dan menghentikan celetukannya. Sesekali ia masih mencuri pandang pada Nalini yang langsung memasang muka jutek. Arya Dipa menggeleng-gelengkan kepala. 'Dasar gadis yang aneh,' ujarnya dalam hati.

Arya Dipa lalu mendekati Eyang Guru. Ia membantu mengambilkan kotak-kotak obat sesuai yang diperintahkan.

"Guru, kenapa Anda tidak menyuruh tabib yang biasanya saja?" tanya Arya Dipa tak bisa lagi menyembunyikan rasa herannya. Ia tahu, gurunya mampu memerintah siapa saja, tapi kenapa malah meminta tabib perempuan yang baru dikenalnya? Wabah yang sedang melanda pun termasuk yang berat, apa benar dia bisa membuat ramuan obatnya?

"Arya, apa kau tak tanggap dengan situasi di kotapraja? Para pejabat justru memanfaatkan kekacauan ini untuk mengejar kepentingannya sendiri. Yang ingin berkuasa saling sikut dan menjatuhkan, yang ingin mendapatkan kekayaan menjual obat-obatan dengan harga selangit. Sementara orang sakit tak bisa menunggu, terlambat sedikit nyawa mereka jadi taruhannya," terang Eyang Guru dengan gamblang. Lelaki itu sudah jelas sangat menguasai bidang politik.

Arya Dipa kemudian manggut-manggut mendengarnya. Alasan yang dikemukakan gurunya itu sangat masuk akal.

Nalini yang ikut menyimak perlahan kembali mendekati Arya. "Tuan, apa kondisinya separah itu? Di tempat-tempat lain juga banyak orang yang mati karena wabah itu?" tanyanya.

Arya Dipa mengangguk cepat. "Iya, banyak sekali yang sudah mati. Sepanjang kami melakukan perjalanan ke sini, kami bahkan menemukan mayat yang belum dikuburkan bergelimpangan di jalanan."

Nalini bergidik ngeri. Ia tak pernah pergi dari desanya, jadi tak tahu apa saja yang terjadi di tempat yang jauh.

"Guru, apakah anda sudah tahu apa penyebab wabah ini?" Nyai Dhira ganti bertanya sembari tangannya terampil memilah tumpukan herbal.

Eyang Guru menggeleng sembari mengangkat tangan kanannya. "Aku belum tahu. Beberapa orang sudah aku tugaskan untuk meneliti dan mencari penyebabnya."

Nyai Dhira berpikir keras. Dahinya berkerut berulang kali. "Jika belum tahu penyebabnya, bagaimana kita bisa membuat obat penawarnya?"

Eyang Guru menganggukkan kepala. "Iya, kamu benar. Apa kamu sudah punya dugaan apa penyebabnya? Mari kita duduk dan bertukar pikiran," ajakan yang bijaksana.

Mereka berempat lalu duduk bersila dan saling berhadapan.

Nyai Dhira menoleh pada Nalini. Ia berharap anak gadisnya itu membantu memecahkan persoalan pelik itu. "Kalau melihat dari kasus-kasus yang saya tangani, korban berasal dari satu keluarga atau rumah yang berdekatan."

"Apa penyakit itu menular? Memang benar ada yang sekeluarga jadi sakit semua," ucap Nalini. Ia teringat pada tetangganya di ujung desa, mereka satu rumah sakit semua.

"Jika itu menular, kita harus segera membatasi pergerakan orang-orang, Guru." Arya Dipa ikut menambahkan. Pemuda itu tak mau kalah dengan Nalini.

Eyang Guru masih menyimak dan mendengarkan pembicaran orang-orang di depannya dengan seksama.

"Guru, tapi banyak yang menganggap wabah itu sebagai serangan makhluk halus. Apa itu benar?" Nalini kembali bersuara. Orang desa yang kurang pengetahuan memang paling mudah menyimpulkan jika wabah itu akibat ulah makhluk yang tak kelihatan.

Arya Dipa tertawa mendengar perkataan Nalini. Merasa ditertawakan gadis itu merengut dan memelototkan matanya. Tatapannya jelas menyimpan kekesalan karena merasa terus diremehkan.

Bukannya berhenti, Arya justru semakin ingin membuat kesal Nalini. "Menurutmu, makhluk halus seperti apa yang membuat bencana dimana-mana? Suruh keluar biar aku hadapi," ucapnya jumawa seraya berkacak pinggang.

Nalini memalingkan mukanya dengan marah. Ia tahu pemuda itu sengaja mencari gara-gara dengannya.

"Sudah, sudah. Kalian baru saling kenal kenapa ribut terus?" bisik Nyai Dhira menasehati putrinya. "Tuan Arya benar, jika itu pekerjaan makhluk halus, tak mungkin korbannya akan sebanyak itu."

Nalini masih memasang muka masam. Tatapan matanya masih mengancam Arya. "Jika Tuan tahu itu bukan disebabkan oleh makhluk halus, lalu apa?" tanya Nalini setengah mendesak. Ia yakin Arya Dipa juga belum bisa menjawabnya.

Pemuda itu tersenyum samar. Ia lalu menyatukan kedua telapak tangannya hormat pada gurunya. "Guru, aku punya dugaan wabah itu berasal dari tikus." Arya Dipa mengatakan itu dengan muka serius.

Nalini bengong mendengarnya. "Hah? Tikus? Mana mungkin?" ucap Nalini seraya menahan tawa. Ia mengira Arya Dipa pasti sedang melucu.

"Aduh!" Nalini merasakan lengannya tersengat. Nyai Dhira mencubitnya, tanda ia harus diam dan jaga sikap. "Maaf, Mbok."

"Kita dengarkan dulu penjelasan dari Tuan Arya," ajak Nyai Dhira dengan sopan. Sebagai seorang tabib yang biasa berhadapan dengan banyak orang, ia tahu Arya Dipa berasal dari kaum berada. Anaknya bisa bermasalah jika terus berseteru dengannya.

Arya Dipa membetulkan posisi duduknya sebelum berbicara. "Begini, Guru. Saya dengar wabah seperti ini pernah terjadi di manca negara. Penyebabnya adalah tikus. Hewan itu merusak tanaman padi dan menyebarkan penyakit. Manusia yang memakan berasnya jadi sakit," terangnya. Ia mengamati satu persatu orang yang mendengarkan penjelasannya.

Semuanya masih terdiam sampai Arya kembali memberi penjelasan. "Daerah yang pertama terkena musibah musim ini gagal panen. Tanaman padi mereka terendam air dan tikus berkembang biak tak terkendali. Kemudian ada laporan masuk, orang-orang terkena penyakit aneh," tambahnya.

"Iya betul, memang aneh sekali. Mereka yang terserang wabah, tiba tiba akan merasakan lemas, demam tinggi, kejang, bahkan bisa batuh darah. Dalam beberapa hari, jika tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat, tak akan bisa bertahan." Nyai Dhira menimpali. Ia menyetujui penjelasan Arya.

Eyang Guru mengangguk, sekarang mulai gamblang masalahnya. Lelaki itu kemudian berdiri dan mengambil batu kapur. Ia menggambar peta wilayah kerajaan di lantai.

"Yang pertama kita lakukan adalah membatasi pergerakan orang-orang. Daerah yang sudah jelas terkena wabah akan ditutup agar penyakit tidak semakin menyebar. Bersamaan dengan itu kita mengobat orang-orang yang sakit dan menjaga yang sehat." Eyang Guru memaparkan langkah-langkah yang akan mereka lakukan.

"Betul, Guru. Kita dikejar waktu, harus segera mengatasinya," timpal Arya Dipa. "Saya siap menggerakkan orang-orang untuk menutup jalan-jalan," lanjutnya dengan penuh semangat.

"Lalu kami harus bagaimana?" tanya Nalini. Ia masih belum tahu apa yang harus dikerjakannya.

"Kamu bantulah ibumu meracik contoh jamu untuk obat wabah itu, Nduk." Eyang Guru menanggapi pertanyaan Nalini.

Nalini mengangguk dan beranjak ke arah dapur. "Aku akan memanaskan air untuk menyeduh ramuan," ujarnya cepat. Ia mengangguk pada Nyai Dhira yang mulai mengumpulkan bahan-bahan obat.

"Setelah selesai, kita akan akan kembali ke kotapraja. Kebetulan ada dua kuda tunggangan. Kita bisa membonceng tabib-tabib ini. Bagaimana Arya?" tanya Eyang Guru. Ia sudah merencanakan untuk membawa Nyai Dharmi dan Nalini keluar dari sana dengan berkuda.

Nalini yang belum jauh melangkah berhenti dan menoleh lagi. "Aku dan ibuku akan ikut pergi bersama kalian?" tanyanya setengah terkejut. Segalanya dirasakannya begitu cepat dan mendadak.

"Iya, nanti kamu bisa membonceng kudaku. Jika mau," sahut Arya Dipa kalem. Seulas senyum tersungging di sudut bibirnya.

Nalini melotot. Berkuda berdua dengan pemuda menyebalkan itu? Yang benar saja.