webnovel

Satu Lembar (September)

Hari-hari berlalu dengan perasaan melankolis yang terus menyelimuti Kahfi. Setiap langkahnya terasa berat, dan dia merasa seperti sedang berjalan di dalam kabut tebal yang tak kunjung berakhir. Hidupnya terasa hampa, dan rasa kehilangan terhadap ibunya semakin mendalam.

Setelah kepergian ibunya, rumah itu terasa begitu sunyi. Kahfi merasa sepi, seperti kehilangan satu bagian dari dirinya. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada kenangan manis bersama ibunya. Dia merindukan senyum hangat sang ibu, pelukan penuh kasih, dan suara lembutnya yang menghampiri di setiap waktu.

Setiap kali dia membuka lembaran naskah novelnya, dia merasa kosong. Ide-ide yang dulu begitu mengalir, kini terasa mati. Dia kesulitan menemukan semangat dan inspirasi untuk melanjutkan cerita yang pernah dia ciptakan. Rasa frustasi terus menghantuinya, dan dia merasa semakin jauh dari impian untuk menyelesaikan buku pertamanya.

Haris yang selalu mendukungnya juga merasa khawatir. Dia mencoba membantu Kahfi dengan memberikan beberapa buku referensi dan saran untuk mengatasi blokade kreatifnya. Namun, semakin Haris mencoba membantu, semakin Kahfi merasa tertekan. Perbedaan pandangan mereka tentang cara menulis buku semakin menyulitkan Kahfi untuk menemukan arah yang tepat.

Dalam perjalanan pulang, Kahfi sering melewati mini market tempat Kejora bekerja. Setiap kali dia melihat Kejora, hatinya berbunga-bunga, tetapi juga penuh kebingungan. Dia tidak tahu bagaimana cara mendekati perempuan itu. Dia merasa rendah diri dengan penampilannya yang tak terurus dan kisah hidupnya yang penuh kesedihan.

Kahfi ingin sekali berbicara dengan Kejora, memberitahunya tentang perasaannya. Namun, ketika dia sudah berada di depan Kejora, kata-kata itu terasa terjepit di tenggorokannya. Dia takut ditolak, takut Kejora melihatnya sebagai pria yang lemah dan hancur. Akhirnya, dia hanya bisa tersenyum kecil dan berpura-pura seperti biasa.

Sementara itu, di tempat kerja Haris, Bapak Raiz semakin kesal dengan kurangnya naskah bagus yang dia terima. Dia menuntut Haris untuk segera menemukan naskah yang berkualitas, dan mendesaknya untuk memperbaiki hubungannya dengan Kahfi. Haris merasa tertekan dengan tuntutan bosnya, tetapi dia juga tahu bahwa dia harus membantu Kahfi menyelesaikan naskahnya.

Fadel yang terus menangani konseling Kahfi juga merasa semakin kewalahan. Perasaan iri yang tak terkendali semakin mengganggu pikirannya. Setiap kali dia bertemu dengan Kahfi, dia merasa ingin melupakan perasaan itu, tetapi semakin dia mencoba, semakin besar perasaan itu tumbuh.

Malam itu, dalam sesi konseling, Kahfi mencurahkan perasaannya yang kacau kepada Fadel. Dia merasa takut dengan perasaannya yang bergejolak, takut dengan pikirannya yang tak stabil, dan takut dengan kehilangan ibunya yang tak pernah berhenti merasanya.

Fadel mencoba memberikan dukungan dan nasihat, tetapi dia merasa bahwa dia tak layak untuk menjadi konselor Kahfi. Dia merasa bahwa dia sendiri adalah pria yang hancur, dan bagaimana dia bisa membantu Kahfi yang sedang terpuruk?

Malam itu, Kahfi terus berjalan-jalan di gang-gang sempit dekat rumahnya. Dia merasa hampa, dan hatinya dipenuhi dengan gelap. Setiap langkahnya terasa berat, tetapi dia terus berjalan tanpa arah.

Tiba-tiba, langit mulai memunculkan cahaya yang redup. Bintang-bintang mulai bersinar di langit malam, menciptakan semburat keindahan di tengah gelapnya malam. Kahfi berhenti sejenak dan memandang langit dengan mata yang berkaca-kaca.

Dia merasa bahwa ada keajaiban dalam kegelapan, seperti bintang-bintang yang menyala meski di tengah malam yang kelam. Kehidupan juga begitu, meski penuh penderitaan dan kesedihan, ada keindahan yang tersembunyi di baliknya.

Kahfi merenungkan arti dari kehidupannya sendiri. Dia menyadari bahwa hidup adalah tentang menerima kegelapan dan kecerahan, kesedihan dan kebahagiaan, kemenangan dan kegagalan. Dia tidak bisa menghindar dari kenyataan, tetapi dia bisa memilih cara bagaimana dia menghadapinya.

Dalam perjalanannya pulang, Kahfi bertemu dengan Rahman, seorang penulis yang dikenalnya dari internet. Dia bercerita tentang perasaannya, tentang betapa hancurnya dirinya. Rahman mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dia memberikan beberapa saran yang bijaksana.

"Kahfi, setiap orang punya perjuangannya masing-masing. Jangan biarkan kegelapan membutakanmu terhadap cahaya di dalam dirimu. Biarkanlah dirimu mekar seperti bunga yang indah, meski harus melewati masa-masa sulit," kata Rahman dengan bijaksana.

Kahfi merenungkan kata-kata Rahman. Dia merasa bahwa ada kebenaran di dalam kata-kata itu. Dia menyadari bahwa dia harus menerima dirinya apa adanya, termasuk kesedihan dan kegelapan yang ada di dalam dirinya.

Kahfi duduk sendiri di kamar kecilnya yang sunyi. Di tangannya, ia memegang satu lembar naskah yang belum selesai. Cahaya remang-remang dari lampu meja menyinari wajahnya yang lelah, dan matanya berkaca-kaca karena perasaan campur aduk yang sedang dia rasakan.

Dalam keheningan malam, suara jam dinding berdetak pelan seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan. Cahaya rembulan menyusup masuk dari jendela kecil, menambah kesan dramatis suasana di kamar itu. Kahfi merenung sejenak, mencoba mencari semangat yang telah hilang dalam dirinya.

Perlahan, tangan Kahfi mulai bergerak lagi, dan pena di tangannya mulai meluncur di atas kertas naskah. Ia menulis dengan penuh perasaan, mencurahkan segala emosinya ke dalam setiap kata yang terukir. Setiap goresan pena mengalir begitu indah, seolah menceritakan kisah hidupnya sendiri.

Dia menulis tentang rindu yang tak terobati, tentang kehampaan yang melingkupi hatinya, tentang cinta yang terluka, dan tentang kegelapan yang menyelimutinya. Tulisannya begitu jujur dan penuh dengan perasaan yang dalam, seakan mengungkapkan isi hatinya yang selama ini terpendam.

Seiring waktu berlalu, tulisannya semakin mengalir seperti sungai yang tenang. Dia merasa bahwa dia menemukan semangat baru dalam menulis. Meski masih ada kesedihan yang merayap di dalam hatinya, dia menyadari bahwa menulis adalah cara baginya untuk menyampaikan apa yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.

Setelah beberapa jam, satu lembar naskah itu akhirnya selesai. Kahfi menatapnya dengan bangga, merasa puas dengan apa yang telah dia ciptakan. Lembaran naskah itu bukan hanya sekadar cerita, tapi juga jejak dari perjalanan hidupnya yang penuh liku dan tantangan.

Dalam perjalanan menuju ranjangnya, Kahfi merenungkan kembali perjalanan hidupnya. Dia tahu bahwa hidup tidak selalu mudah, tapi dia bersedia untuk menghadapinya dengan keberanian dan keteguhan hati. Setiap kegelapan akan dia hadapi, dan dia yakin bahwa di baliknya akan ada cahaya yang menyinari jalan hidupnya.

Dengan penuh keyakinan, Kahfi berbaring di ranjangnya. Meski hatinya masih dipenuhi dengan rasa melankolis, dia juga merasa optimis dengan apa yang akan datang. Dia tahu bahwa hidupnya mungkin tak selalu indah, tapi dia akan terus berjuang untuk mencari arti dari setiap hal yang terjadi.

Malam itu, Kahfi tidur dengan tenang, menatap langit bintang di luar jendela. Dia tahu bahwa kegelapan takkan berlangsung selamanya, dan cahaya akan selalu menyinari hidupnya. Dia siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang, karena dia tahu bahwa dia adalah sang penulis dari kisah hidupnya sendiri.