webnovel

Selingkar (Oktober)

Hari-hari berlalu dengan lambat bagai aliran sungai yang mengalir tenang. Di setiap langkahnya, Kahfi merenungkan pemikiran-pemikiran yang menghantui pikirannya. Kehidupan terasa seperti satu lingkaran yang tak kunjung berhenti, selalu kembali ke titik awal. Setiap orang mempunyai pandangan masing-masing, tetapi apa penyebabnya? Darimana asal muasalnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya.

Pandangan Kahfi tentang dunia semakin melankolis. Dia merasa seakan tenggelam dalam lautan pikiran, tak mampu lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Semua terasa samar dan tak berarti. Peradaban manusia terlihat seperti satu sandiwara besar, dengan setiap orang berperan sesuai skenario yang telah ditentukan.

Terkadang, dia berjalan-jalan di taman kota, mengamati orang-orang yang sibuk beraktivitas. Mereka tertawa, berbicara, berlalu-lalang, tanpa menyadari kehampaan yang mengendap di hati Kahfi. Dia merasa seperti orang asing yang tersesat di tengah keramaian.

Tak ada yang bisa mengerti betapa bingungnya dirinya. Setiap malam, dia berbicara pada langit, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Namun, bintang-bintang tak memberikan jawaban, hanya senyap yang menyergapnya.

Kehidupan di sekitarnya terus berjalan, sementara dia terasa terjebak dalam waktu yang tak bergerak. Dia merasa seperti pecahan-pcahan kaca yang terhempas, tidak mampu lagi menemukan bentuk dan makna yang utuh.

Di satu sisi, ada bagian dalam dirinya yang ingin menyerah dan menenangkan kegelisahan yang merayap di dalam hatinya. Dia ingin berhenti mencari arti dari semua yang terjadi dan menerima bahwa hidup memang tak selalu adil.

Namun, di sisi lain, ada semangat yang membisikkan untuk tetap berjuang. Dia tahu bahwa dia tak boleh menyerah begitu saja. Ada kekuatan yang terus mendorongnya untuk mencari jawaban, untuk mencari arti dari setiap pengalaman yang dialaminya.

Setiap hari, dia berbicara dengan Kejora dalam hati. Dia ingin mengatakan segala perasaannya, memberitahunya tentang betapa spesialnya perempuan itu baginya. Namun, kata-kata itu masih terhenti di bibirnya. Rasa takut akan penolakan dan pandangan negatif membuatnya ragu untuk membuka hati.

Pada suatu malam, saat sesi konseling dengan Fadel, dia merasa ingin mengatakan segalanya. Dia ingin membuka diri tentang perasaannya yang campur aduk, tentang perasaan iri dan cemburu yang mengganggunya. Tapi kata-kata itu tak mampu keluar, dia masih terjebak dalam ketidakmampuannya untuk mengungkapkan diri.

Fadel yang cerdas seolah merasakan gelisah di dalam diri Kahfi. Dia mencoba memberikan dukungan, menyatakan bahwa setiap orang punya perjuangan masing-masing dan dia tak sendirian. Namun, kata-kata itu tak mampu menghapus keruh di hati Kahfi.

Malam itu, setelah sesi konseling selesai, Kahfi terus berjalan sendiri di gang-gang sempit dekat rumahnya. Dia merenung tentang hidup dan makna sejatinya. Hati dan pikirannya berbenturan, menghasilkan rasa bingung dan penuh keraguan.

Tiba-tiba, langit mulai turun hujan. Tetes-tetes air jatuh dari langit-langit, seolah mencerminkan air mata yang mengalir dari matanya. Dia merasa bahwa langit turut merasakan penderitaannya, turut menangis bersamanya.

Dia berhenti di tengah jalan, membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Setiap tetes hujan terasa seperti pelukan lembut dari sang ibu. Dia merenung tentang perasaan rindu yang tak kunjung usai, dan dia merasa semakin hancur oleh kehilangan yang selalu mengikutinya.

Tapi di balik hujan, ada juga keindahan yang tersimpan. Cahaya lampu di sekitarnya memantul di genangan air, menciptakan jejak cahaya yang indah. Kahfi menyadari bahwa kehidupan juga begitu, meski penuh dengan penderitaan, ada keindahan yang tersembunyi di dalamnya.

Malam itu, dalam hujan yang turun dengan lembut, Kahfi merasa dirinya menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Dia merasa seperti seorang penulis yang tengah menulis kisah hidupnya sendiri, dengan setiap hujan yang jatuh adalah setiap kata yang terukir di dalamnya.

Kahfi berjalan pulang dengan langkah mantap, meski tubuhnya basah kuyup oleh hujan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang mendorongnya untuk terus maju, terus menulis kisah hidupnya, meski tak selalu indah, tapi itu adalah kisah yang menjadi miliknya.

Di rumah, dia menemui bapaknya yang sedang menunggu di ruang tamu. Dalam tatapan mata sang ayah, dia melihat kekhawatiran yang tak terucapkan. Tapi dia tak bisa mengatakan apa-apa, dia tak mampu membuka hati pada siapapun, termasuk bapaknya.

Bapaknya menyambutnya dengan senyuman lembut. "Bagaimana harimu, Nak?"

Kahfi tersenyum kecil, "Baik, Ayah."

Tak ada yang menyadari bahwa senyum itu hanyalah topeng dari rasa melankolis yang menyelimuti hati Kahfi. Hidup terus berjalan, setiap hari adalah perjuangan untuk mencari makna dan arti dari setiap langkah yang diambilnya.

Dan sembari berjalan dalam hujan, Kahfi berjanji pada dirinya sendiri. Dia akan terus menulis kisah hidupnya, menemukan arti dari setiap peristiwa yang dialaminya, dan menjalani hidup dengan penuh semangat dan optimisme, sekaligus penuh dengan rasa melankolis yang menyertainya. Karena itulah dia, Kahfi, sang penulis dari kisah hidupnya sendiri.