webnovel

MIMPI: Takdir Yang Hadir

[Buku kedua dari trilogi "MIMPI"] . Haruki Yamada berada di titik terendah dalam hidupnya. Kehilangan harta, keluarga, dan dikhianati istrinya sendiri yang selingkuh dengan pasangan suami istri Richard dan Aleysha. Dia diculik, dibawa ke suatu tempat rahasia dengan kedua mata tertutup, tangan-kaki terikat, dan mendengar suara Sheila sebelum kehilangan kesadaran. Sang anak pertama terancam dilecehkan lagi! Haruki pun berusaha keluar dari cengkeraman Richard dan Aleysha dengan segala cara. Namun siksaan mereka terlalu parah hingga membuatnya sering lupa bagaimana rasanya bernafas. Saat itu, nama yang dia sebut-sebut hanya satu: "Renji... Renji... Renji..." Renji Isamu. Pria yang telah pergi dari hidupnya di masa lalu. Renji Isamu. Pria yang telah memiliki takdirnya sendiri. Renji Isamu. Pria yang takkan pernah datang lagi untuk membawanya pergi. ….Akankah berlebihan jika Haru masih berharap sosok itu kembali? . . . PENGUMUMAN! Ini adalah kelanjutan dari novel "MIMPI" yang sudah TAMAT. Buku ini akan dibagi jadi 3/trilogi. Buku 1: MIMPI (Isi 220 bab) Buku 2: MIMPI: Takdir Yang Hadir (On Going) Buku 3: MIMPI: Akhir Sebuah Takdir (Belum) . . . IG: @Mimpi_Work

Om_Rengginnang · LGBT+
Classificações insuficientes
61 Chs

BAB 3 Bagian 6

Ginnan pun tidak menjawab dan hanya berjuang menghabiskan sarapannya meski lidah tidak lagi bisa merasakan apa-apa. Dia didekap dengan lengan kuat tersebut. Dia diminumi segelas susu yang hangat, kemudian mulutnya diusapi tisu selesai.

Benar-benar diperlakukan secara aneh, tapi juga spesial di saat yang sama. Dia sampai bingung harus bagaimana, sebab selama ini tidak pernah begitu.

Ginnan jadi rindu Renji yang akan selalu berhati-hati padanya. Tapi, lihat? Kedua mata biru Robert bukanlah sang kekasih hati. Dia menatap bagian itu dengan hati tercubit, tapi diam saja ketika dicium lagi.

"Umnhh ... umnn ...."

Yang semula duduk di pangkuan, Ginnan pun direbahkan di sofa panjang itu perlahan. Mungkin karena gemasnya tak bisa ditahan, Robert bahkan langsung melepasi celana pendeknya tanpa menunggu. Dia juga tak peduli kalau Ginnan sempat menghentikan tangannya.

"Umn, ugh—jangan ...."

Namun, kau pasti apa yang terjadi selanjutnya.

Celana pendek itu dilempar, begitu pun celana bagian dalamnya yang tipis. Robert sepertinya tidak sabaran, tapi dia sempat berhenti hanya untuk memandangi fitur indah Ginnan.

Wajahnya yang sangat gelisah. Penuh ketakutan dalam matanya, tapi kini memiliki leher dan jari yang sudah dipasangi perhiasan darinya.

Ha ha ha. Robert tahu dia tidak salah pilih. Saat bertemu Ginnan pertama kali, dia sudah memperhatikannya dengan baik. Lalu bertemu yang kedua kali, Robert makin senang karena benda-benda glamor justru pantas dipakaikan di tubuh lelaki itu.

Semua adalah selera dia. Robert sampai memaki kenapa baru menemukan Ginnan sekarang, tapi dia tak masalah. Toh lelaki ini sudah ada di genggamannya sekarang.

"Jangan atau jangan, huh? Aku tahu kau suka bercinta," kata Robert. Lelaki itu membelai perut rata Ginnan sebelum meremas pinggulnya. "Jika tidak, mana mungkin seseorang jadi pelacur? Tapi aku pasti bisa memuaskan kapan saja. Bagaimana?"

Ginnan pun membuang muka karena tak mau beradu napas. Dia terpejam karena menahan rasa gugupnya. Kemudian menatap pintu yang kuncinya entah di mana.

"Tapi ini ruang tamu. Serius jangan—"

"Ginnan ...."

Si empunya nama pun mendorong Robert meski usahanya tak berefek banyak. Dia tersentak sesekali karena penisnya dimanja. Dan tiap kali Ginnan menutup kaki, Robert akan melebarkannya lagi untuk menyentuh bagian itu dengan piawai.

"Ahh ... nnhh ...." Ginnan menendang-nendang sofa perlahan. Kaki rampingnya bergeliatan, dan Robert makin terhibur. Padahal, misal Ginnan bisa lebih tahan, dia takkan ragu melakukan permainan yang parah. Hmm ... mungkin sekarang memang waktunya untuk mulai menjinakkan.

Ribert pun menahan dua pergelangan tangan Ginnan atas kepala. Dia kesal karena tendangan Ginnan menjadi, lalu menyesapi bibirnya yang kenyal.

Lupa diri. Robert menikmati tubuh itu sekali lagi, kali ini sambil memandangi kelap-kelip mata Ginnan.

Bagaimana kedipan putus asanya terlihat. Bagaimana bibirnya mendesah. Dan otot-otot liangnya meremas jari Robert yang sudah di dalam.

"Ahhh. Ahhnnh ...."

Namun, meski di awal melawan, lama-lama, lelaki itu seperti raga tanpa nyawa. Sebab dia membayangkan, kalau pun keluar dari sini pun, dia takkan bisa pulang dengan mudah.

Ginnan tidak bodoh untuk mengetahui rumah ini bukan di Jepang. Ada banyak tulisan yang tak dia mengerti, belum lagi Robert membawanya mungkin tanpa visa. Lelaki itu pasti memasukkan tubuhnya entah di benda apa sebelum mengangkutnya kemari, dan mengetahui Renji tak lagi ada, dia lemah.

Tujuan hidupnya tak lagi ada.

Api di mata Ginnan meredup, lebih-lebih membayangkan dia tidak lagi memiliki "rumah". Tidak di rusun, tidak dalam bagian hidup sang kekasih, bahkan di tanah airnya.

Hei, apa yang akan dilakukan seluruh haters Renji jika melihat wajahnya di Jepang?

Dalam kondisi seperti ini, mungkin mereka akan makin membenci. Atau mengeroyoknya entah dengan apa.

"Robert, please ... henti ... kan ...." pinta Ginnan terakhir sebelum bajunya ikut dilepas. Dia menggigit bibir karena penis lelaki itu sudah di dalam, lalu meraba perutnya yang amat mual.

Demi Tuhan. Ukurannya terlalu tak manusiawi. Ginnan malah lebih kepada tersiksa, daripada merasakan nikmat dari penyatuan mereka.

"Ugh ...."

Robert pun ikut meraba bagian itu. Dimana dirinya bersarang, hangat, dan Ginnan menahan sakit karena menerima dia.

"Kau sungguh luar biasa," puji Robert. Lelaki itu tampak puas dengan tonjolan penisnya yang di dalam sana. "Seksi sekali, Ginnan. Aku jadi sulit membayangkan orang lain sekarang."

Ginnan pun menutup bibir karena tak ingin muntah. Tiap sodokan yang dia terima, rasanya naik ke ulu hati, bahkan tenggorokannya yang pedas.

Ginnan tidak ingin mengeluarkan isi perutnya. Jangan! Atau dia makin jijik dan benci pada diri sendiri.

"Nikmat, bukan?"

"Unnghh ... unghh ...." Ginnan menggeleng pelan. Namun, di mata Robert itu hanya tampak seperti kebohongan.

"Alah, bilang saja tidak mengakui," kata Robert, lalu merebut penis Ginnan agar dia kocok perlahan.

"Ahhh ...."

"Bagaimana dengan sekarang, enakan?"

Memang iya, tapi, ugh ....

Ginnan bingung harus klimaks atau muntah dulu saat gejolaknya memaksa naik.

"Uh, uh—mnnn ...."

Robert pun mempercepat gerakannya. Dia membuat Ginnan memekik perih, tapi juga nikmat karena penis itu pasti menyodok titik pusatnya.

Terlalu sesak.

Terlalu besar.

Ginnan pun muntah sungguhan ke samping sofa saat dibanjiri di dalam.

Ahh ... Kenapa sekarang begitu? Padahal kemarin tidak sampai separah ini. Apa mungkin karena meraka sudah sama-sama tahu?

Ginnan bisa melihat seringai puas Robert. Begitu pula Robert bisa menikmati keindahan bola matanya.

"AHHHH ....!!"

Begitu muncrat, Robert pun mengocok penis Ginnan semakin cepat. Dia suka melihat cairan putih menyembur dari ujung kemerahan itu, lalu keluar untuk menjilati hasil kerjanya.

"Renji—"

Ini terasa persis sekali.

Bagaimana Robert memanjakannya di sana. Menggigitnya. Hanya saja lebih menjijikkan karena Ginnan tak suka lawan bercintanya.

"Ahhh ... mmnhh ..."

Lebih gilanya lagi, baru saja Ginnan menikmati sentuhan yang satu itu, seseorang tiba-tiba memutar kunci rumah itu dari luar.

DEG

"Umhh—R-Robert, tunggu dulu, sudah—"

Suara kenop pun semakin riuh. Ginnan sampai berdebar keras dan kelabakan, tapi Robert nyata-nyata tak peduli. Dia memeluk perut Ginnan sekuat tenaga, membuatnya tetap di posisi tersebut, lalu melanjutkan jilatannya hingga "si tamu" masuk.

CKLEK!

"AHH ... nnh," desah Ginnan tidak tahan. Momen itu bersamaan dengan seseorang yang masuk melihat, tetapi sosok itu justru memandangi mereka sebelum berkata.

"Oh, Robert? Kau dapat mainan baru?" tanya wanita yang lebih tua tersebut. Penampilannya seperti wanita karir, duduk di sofa tak jauh dari mereka, lalu meletakkan botol bir yang dia bawa. "Padahal aku kemari untuk hal bagus. Tapi, ya sudahlah lanjutkan saja. Kutunggu kalian selesai."

DEG

APA KATANYA BARUSAN?!

Ginnan langsung merasa paling kotor sedunia. "Ahh ... Robert, kumohon—"

PLAKH!