Mansion Grinson
"Cucu kurang ajar!"
Plak!
Suara tamparan itu menggema dan memenuhi setiap sudut di ruangan utama. Suaranya terdengar tidak main-main, hingga mereka yang mendengarnya tidak tahan meski hanya sekedar meringis seakan ikut merasa sakit.
Itu yang mendengar. Lalu, bagaimana dengan Gretta sebagai korban tamparan sang nenek?
Wajah Gretta meneleng ke samping, masih dalam posisi awal sang nenek menamparnya. Ia masih memproses kejadian yang dialaminya, hingga sebuah denyutan sakit yang mulai menjalar di pipinya, pipi putih yang kini mulai memerah.
"Dari mana saja kamu, hah! Dasar cucu tidak tahu terima kasih!"
Lagi, sang nenek mencercanya dengan pertanyaan dan juga nada yang masih sama, murka. Sedangkan Gretta, ia diam membisu dengn netra berkaca-kaca kembali menumpahkan muatannya.
"Jawab! Apa kamu mendadak bisu, hah!"
Karina masih saja berteriak murka kepada sang cucu—Gretta disaksikan langsung oleh barisan maid dan juga ibu cucunya sendiri—Esmeriana yang terdiam kaku.
"Grett-
"Apa kamu memang ingin membuat wajahku ini tercoreng karena kenakalanmu, hah! Nasib baik Adrean memaklumi kelakuanmu ini, Gretta Grinson!" sela Karina marah.
Ia menatap cucunya dengan netra memerah, menyampaikan jika saat ini ia sangat amat marah akan kelakuan cucunya.
Tidak ada kesempatan bagi Gretta menjawabnya meski hanya sekedar satu kata. Padahal jelas, jika neneknya meminta ia untuk menjawab apa yang ditanyakan kepadanya.
Denyutan sakit di pipinya kian terasa sakit. Namun sungguh, rasanya tidak sebanding dengan sakit yang dirasakan hatinya saat ini.
Ya, hatinya sakit saat kembali merasakan kurungan setelah sempat merasa bebas bersama seorang asing, yang bahkan baru diketahui namanya.
"Lihat! Pulang malam keluyuran tidak jelas, mau jadi apa kamu, hah!"
Karina murka, di depan calon cucu menantunya ia harus meminta maaf karena perbuatan sang cucu yang membuatnya kembali kesal. Seorang Karina meminta maaf, kalau bukan demi mendapatkan dukungan agar keluarga Grinson semakin jaya, mana sudi ia meminta maaf meskipun ia salah.
Harga dirinya terinjak, saat harus bersikap manis dan mengucapkan kata maaf seperti tadi siang.
Semua ini gara-gara cucu dari si miskin, batin Karina seketika benci saat mengingat mantan menantunya yang miskin.
"Maaf." Gretta mencicit takut, dengan linangan air mata yang semakin deras.
"Tidak akan kumaafkan, hingga kamu menikah dengan Adrean dan menjadi Nyonya besar waylee. Apa kamu paham?" hardik Karina tanpa peduli dengan cicitan takut cucunya.
Deg!
Gretta terdiam menatap lantai di bawahnya dengan roh melayang dari raganya. Terdiam saat mendengar perintah sang nenek yang mutlak dan tak ingin dibantah. Terdiam saat kalimat ini lagi yang terdengar oleh telinganya.
Apa yang harus Gretta lakukan? Apa ia harus mengorbankan masa remajanya demi sang nenek dan keluarga Grinson yang sudah membuatnya terpisah dengan adik serta ayahnya?
"Tidak, Grett-
"Jangan membantahku. Jika kamu masih ingin jadi pemimpin keluarga Grinson, kamu harus menikah dengan keluarga Waylee, suka atau tidak suka. Titik."
Karina lagi-lagi menyela ucapan Gretta dengan satu keputusannya, kemudian meninggalkan ruangan saksi pertama kali seorang Karina menampar cucu yang selalu dijaganya.
Sepertinya, Karina sudah semakin gelap mata hanya karena sebuah harta.
Langkah menggema mengiringi kepergian Karina, si Nyonya besar keluarga Grinson. Tidak ada yang bersuara bahkan setelah kepergiannya dan langkah kaki itu kian menjauh.
Brukh!
Hiks!
Gretta terduduk dengan isakan yang kembali terdengar, terasa menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya. Tidak ada yang mampu menolongnya, sekalipun sang ibu yang diam-diam menangis seraya membalik tubuh ikut meninggalkan ruangan, meninggalkan sang putri yang harus menjadi korban ibunya sendiri.
"Gretta…," bisiknya lirih.
Kini, ruangan semakin sunyi setelah kepergian Esemeriana, menyisakan para barisan maid yang akhirnya pun satu per satu mulai meninggalkan ruangan itu.
Bukan tidak ingin menolong, mereka terlalu takut dengan sang sepuh yang terkenal dari zaman dulu seseorang yang tegas, keras kepala tepatnya. Hingga menyisakan seorang nanny, si pelayan yang sudah mengurus Gretta dari kecil, Anna.
Gretta mengepalkan tangganya, seiring dengan lelehan air mata yang semakin deras membasahi lantai yang didudukinya saat ini.
Anna berjalan pelan menuju Gretta yang duduk sambil menangis, kemudian ikut duduk bersimpuh di samping nonanya dan memeluk bahu bergetar itu erat.
Grep!
"Nona," bisik Anna ketika sang nona balas memeluknya.
"Gretta hanya ingin bahagia, apakah Gretta tidak boleh bahagia bahkan dengan suami pilihan sendiri?"
Hati Anna kian terisi mendengar kalimat tergugu dari anak majikannya. Anna menengadahkan wajahnya, berharap air matanya tidak ikut tumpah saat mendengar ucapan nonanya.
"Sebaiknya kita pindah, Nona. Nanny akan membuatkan Nona susu madu, mau ya," bujuk Anna berharap sang nona mau berhenti menangis.
Gretta mengangguk dengan segukan sesekali terdengar. Ia juga menurut saat Anna membantunya berdiri dan menuntunnya menaiki satu per satu anak tangga menuju kamar. Meskipun susah, saat Gretta merasa tubuhnya lemas, namun keduanya berhasil mencapai atas dan memasuki kamar milik Gretta.
Ceklek!
"Nona duduk dulu, Nanny buat minum dulu ya," ucap Anna lembut, merayu saat Gretta justru memeluk lengannya erat.
"Tidak, semua akan meninggalkan Gretta. Ayah dan Grey juga meninggalkan Gretta saat Gretta menangis. Tidak, Gretta tidak mau minuman. Hiks…"
Gretta kembali menangis sejadinya, ia memeluk Anna yang kini justru ikut menangis dengannya. Keduanya pun menenagis saling berpelukan, dengan Gretta yang meracau menyebut nama ayah dan saudaranya yang kini entah ada di mana.
Entah berapa lama Gretta menumpahkan kesedihan yang dipendamnya lama kepada Anna. Yang jelas, Gretta terlihat bukan seperti si nona muda angkuh seperti orang luar kenal. Namun di hadapan Anna, hanya ada Gretta si nona muda yang kesepian tinggal di mansion mewah.
Ya, Gretta memang kesepian, belum lagi dengan perlakuan menuntut dari neneknya yang ingin kesempurnaan darinya, menjadikan Gretta yang dulunya anak periang menjadi dingin dan sombong.
Tak lama kemudian, tidak ada lagi isakan mengiringi sebuah cerita, yang ada hanya dengkuran halus yang didengar Anna dan wajah lelap Gretta yang terlihat cantik meski matanya sembab.
Merasa jika nonanya sudah pulas tertidur, Anna perlahan memindahkan kepala Gretta yang ada dipangkuan pahanya di bantal bulu angsa yang ada di sampingnya, kemudian dengan perlahan juga turun dari atas ranjang.
Selimut tebal ditariknya hingga bawah dagu, kemudian tangannya terulur mengusap pipi berhiaskan jejak air mata lembut dan juga surai cerah turunan sang majikan, tepatnya ayah dari nonanya.
"Semoga kelak kamu mendapatkan kebahagian, Gretta. Jangan menyerah," bisik Anna dan kemudian memutuskan untuk keluar dari dalam kamar, membirkan sang nona terlelap dalam tidur dengan mimipi indahnya.
Pintu ditutupnya, Anna berjenggit kaget kala menemukan seseorang di depan pintu. Namun tidak lama, karena ia segera mengangguk kecil dan permisi setelah menjawab pertanyaan orang itu yang juga ikut meningalkan depan kamar Gretta.
Bersambung