webnovel

PERTEMUAN DUA KELUARGA

Cahaya matahari masuk melalui celah-celah korden, seorang lelaki terbangun karena merasakan tidurnya terusik oleh kilauan cahaya matahari. Ia melihat kearah jam yang tertempel di dinding sudah menujukkan pukul 8 pagi.

"Kenapa bisa telat bangun sih," gumam lelaki itu yang tak lain adalah Arsya.

Dengan cepat ia bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas ke kamar mandi. 20 menit kemudian Arsya sudah rapi dengan kemeja berwarna tosca, bukan tanpa alasan ia memakai baju berwarna tosca. Warna itu kesukaan Sera, karena hari ini ia dan keluarganya akan pergi ke kediaman Louwen membicarakan tentang pernikahannya.

"Sudah siap?" tanya Arsya saat dirinya sudah sampai diruang tamu.

Semua orang yang ada di ruang tamu mengangguk, mereka sudah rapi dengan pakaian formal walapun wajah 2 orang terlihat datar yang tersenyum hanya bundanya saja. Tapi Arsya tak memperdulikan itu semua, yang terpenting pernikahannya dengan Sera semakin cepat.

Reta menghampiri sang anak. "Apakah Arsya senang?" tanyanya, ia sedikit menggulung kemeja Arsya.

Perempuan berumur hampir setengah abad itu membujuk suaminya sampai mulutnya berbusa supaya memberikan restu kepada Arsya. Sampai akhirnya Alif mau menuruti keinginan sang anak atas paksaan Reta.

"Bunda emang terbaik." Arsya mengecup singkat pipi Reta.

"Jangan sakitin Sera," ucap Reta, walapun Sera anak dari musuh keluarganya ia tak ingin jika Arsya menyakiti perempuan.

Arsya mengangguk. "Tak akan. Arsya janji akan selalu jaga Sera dan tak akan membiarkan Sera menangis," ucapnya yakin, mana mungkin ia menyakiti perempuan sama seja itu menyakiti hati bundanya.

Mereka berangkat, Alfi dan Reta satu mobil bersama Wisnu mengendarai mobil sendiri. Arsya, tentunya lelaki itu menaiki mobil mewah keluaran terbaru yang harganya sangat mahal. Bisalah ia mau pamer kepada, calon istri.

Ha? Calon istri? Lelaki itu geli sendiri menyebut Sera calon istri. Mereka berangkat pagi dikarenakan jarak mansion Giory dan mansion Louwen cukup jauh, 1 jam perjalanan bahkan bisa 2 jam perjalanan kalau macet.

***

Sementara di kediaman Louwen tampak sibuk. Semua maid mendekorasi mansion, karena hari ini hari yang bersejarah. Akan diadakannya rencana pernikahan antar musuh, lucu sekali sebutan ini. Kini Sera tengah bersiap-siap, mamanya sudah membelikan dirinya dress mewah berwarna Navy.

Oh iya, aset-aset keluarganya sudah di kembalikan oleh Arsya dan semua aset-aset itu sudah berganti menjadi atas nama Louwen. Tentunya posisi keluarganya berada diurutan nomor 2, tak apa yang terpenting aset keluarganya balik.

Tok

Tok

Tok

Pintu kamarnya diketuk oleh seseorang, Sera berteriak menyuruh orang itu masuk karena pintuya tak dirinya kunci. Munculah mamanya yang sudah rapi dengan pakaian formalnya. Citra menghampiri Sera yang duduk di depan kaca riasnya.

"Putri mama seneng banget," ucap Citra, ia mengelus rambut berwarna abu-abu milik sang anak.

Sera hanya menanggapinya dengan senyuman, di hati kecilnya ia merasa senang karena Arsya lah yang akan menjadi suaminya. Setidaknya lelaki itu tak mengincar hartannya saja, bukankah Arsya sudah kaya darilahir?. Biasanya jika ada lelaki yang mendekati dirinya semata-mata hanya mencari harta kekayaannya saja, mengingat ia penerus tunggal keluarga Louwen generasi ke 5.

Sering kali ia temui baru saja lelaki itu dekat dengan dirinya eh udah minta barang-barang mahal darinnya. Perempuan itu sangat sulit mencari seseorang yang sangat tulus dengannya kecuali Lita sahabat masa kecilnya. Saat ini Lita tak berada disini, sahabatnya itu berada di Jepang dalam waktu yang tak bisa ditentukan.

"Hei, anak mama kok ngelamun sih?" tanya Citra, Sera terperanjak kaget kangen dengan Lita membuat dirinya melamun.

"Kangen Lita mah. Biasanya Lita selalu ada disaat acara-acara penting seperti ini," balas Sera.

Citra menempelkan kepalanya tepat di samping kepala Sera, mereka sama-sama melihat ke arah cermin. "Lita pasti akan pulang, atau kamu susul saja kesana," ucap Citra tertawa geli, ia tau Sera dan sahabatnya itu tak bisa pisah lama-lama.

"Semoga berhasil rencana kamu dengan Arsya. Jika ingin bertanya tanyakan saja kepada mama," bisik Citra tepat di samping telinga Sera.

Sera mengangguk ia berdiri dan merapikan dress nya, nanti keluarganya dan Arsya akan melakukan makan siang bersama. Perempuan itu tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi ke depannya, mengingat semua orang setuju hanya karena paksaan. Semoga saja semua berjalan dengan lancar.

"Sini, rambut kamu mama rapiin, gini aja anak mama udah cantik," ucap Citra memuji, Sera kembali duduk.

Citra mulai menata rambut sang anak dengan telaten dan hati-hati. Perempuan berumur hampir setengah abad itu tak mau jika sang anak merasa kesakitan, baginya sera adalah kaca yang mudah sekali pecah jadi ia harus menjaganya dengan hati-hati.

Setelah merapikan rambut Sera, Citra pamit untuk pergi melihat kesiapan di luar, Sera tetap berada di dalam kamarnya. Perempuan itu berdiri dan berjalan ke arah jendela kaca yang menjulang tinggi keatas.

Sera menyingkap sedikit korden yang menutupi kaca itu, seketika pemandangan depan mansinya terlihat. Kenapa ada wartawan lagi? Batin Sera bertanya-tanya. Sial! Dia lupa pasti para wartawan itu mencari informasi atas naiknya posisi Louwen. Bagaimana Arsya akan masuk kemansion jika di depan gerbang banyak sekali orang?!.

Untung saja mereka tertib tak sampai merusak pagar rumahnya, yang ada mereka akan kesakitan kalau sampai merusak pagarnya. Karena pagar itu terbuat dari bahan-bahan yang jika ada seseorang memukul maka orang itu akan merasakan sakit yang luar biasa.

Belum lagi pagar itu di kelilingi oleh bodyguard jadi sangat aman, beberapa hari terakhir para wartawan itu tak muncul namun sekarang muncul lagi.

Sera beranjak dari tempatnya, ia mengambil HP yang ia cas di atas meja. Perempuan itu menghubungi asistenya. Tak perlu menunggu lama, Anton mengangkat panggilannya.

"Paman, jika Arsya dan keluarganya sudah datang hubungi mereka jangan sampai membuka kaca mobil. Aku ngak mau para wartawan itu curiga, kalau sampai mereka memaksa masuk usir saja mereka," ucap Sera, setelah mendengar jawaban dari orang yang ia telfon Sera mematikan sambungan telfonnya.

"Semua baik-baik saja Sera," batin Sera menyemangati dirinya sendiri. Ini momen sepesial, tak seharusnya ia merasa cemas dan sedih seperti ini. Yakin saja jika semua aman terkendali.

Perempuan itu melirik ke arah jam yang tertempel di dinding berwarna tosca, ternyata sudah menujukkan pukul 9 pagi. Sera keluar dari kamarnya guna melihat seperti apa keadaan mansionnya sekarang. Matanya tak sengaja melihat opanya yang kini tengah mengobrol dengan beberapa orang bodyguard.

Namun yang membuat Sera sedih raut wajah Fikri biasa saja dan tetap datar. Apakah opanya memberikan restu hanya karena terpaksa? Sera ingin di saat pernikahannya semua orang akan senang dan bahagia. Ia tak mau dengan adanya pernikahan ini anggota keluarganya akan merasa sedih.